Sabtu, 22 Februari 2014

Mempertimbangkan Pinangan Bagian 1

Suatu  waktu,“  demikian  seorang  akhwat  dalam  suratnya  menuturkan, "(saya) bertemu dengan beberapa akhwat yang sedih dengan godaan dari sekian ikhwan dalam sekian perjumpaan."

“Apa  jawab  atas  masalah  ini?”  kata  akhwat  tersebut  melanjutkan,  “Ada kesamaan dalam jawaban, bahwa ketika seorang akhwat sudah menikah, maka insya- Allah kemungkinan digoda lebih kecil karena si penggoda akan lebih mikir-mikir kalau ia sudah bersuami.”

Akhwat itu kemudian melanjutkan, Sampai-sampai, ada yang berencana untuk memakai cincin nikah walaupun belum menikah, demi menghindari godaan. Karena ternyata berkerudung pun  masih  sering digoda. Sehingga nikah  dipandang dapat digunakan sebagai kerudung keamanan.”

Ketika usia semakin bertambah, orang semakin peka terhadap dorongan untuk berumah-tangga. Pada diri manusia, memang terdapat naluri untuk mengikat persahabatan dengan lawan jenis. Dorongan ini muncul pada diri laki-laki maupun perempuan. Seorang wanita yang matang, mengekspresikan kebutuhannya terhadap lawan jenis sebagai teman hidup dengan cara-cara yang dewasa dan mempersiapkan diri baik-baik untuk menyambutnya, jauh-jauh hari sebelumnya. Kerinduan terhadap teman hidup yang membantunya bertakwa kepada Allah, ditunjukkan dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk menata hati dan tujuan.

Sementara itu, wanita yang belum matang orientasi hidupnya lebih banyak menunjukkannya melalui bentuk-bentuk lahiriah. Kurang matangnya kondisi psikis, membuat ia kurang mempercayai daya tarik psikis. Apalagi ikatan-ikatan yang lebih bersifat ideologis atau menyentuh kedalaman aqidah. Ia akan lebih mempercayai daya tarik badaniah. Bahkan, pada taraf ini pun ia sering mengalami keraguan, sehingga memilih kosmetik untuk membuatnya lebih menarik. Ini di satu sisi. Di sisi lainnya, ketika  ia  mulai  menginjak usia yang layak baginya untuk menjadi istri  dan ibu, terkadang ia “harus disibukkan oleh laki-laki yang juga sudah mulai menginjak masanya. Sebagian laki-laki hanya merasakan dorongan, tetapi belum memiliki keberanian untuk sungguh-sungguh menemaninya sebagai suami yang setia dan bertanggung jawab. Sebagian telah memiliki niat dan keinginan untuk bersungguh- sungguh menjalin ikatan pernikahan dengan seorang akhwat yang siap dan qanitat, tetapi  masih  ada  kendala-kendala psikis.  Masih  ada  keraguan, sehingga  ia  lebih memilih untuk melemparkan godaan-godaan halus atau godaan-godaan yang agak lebih terang-terangan dengan harapan bisa bersambut dengan pertanyaan serius dari akhwat (siapa tahu?).


Sebagian ikhwan mengalami kejutan beitu mendengar kajian tentang pentingnya menyegerakan nikah, sehingga ia menghadapi akhwat dengan semangat meluap-luap, apakah  ia  siap  dikhitbah.  Sayang,  dorongan  yang  meluap-luap  itu  kadang  tidak disertai  dengan kesiapan dalam  hal-hal lain,  terutama  dalam  hal  ilmu  berkenaan dengan tugas kerumahtanggaan maupun dalam memenuhi kebutuhan istri. Di antara tiga kebutuhan yang harus dipenuhi, ada kalanya baru satu yang ia miliki, yaitu kesiapan memenuhi kebutuhan biologis. Sedang kebutuhan psikis dan  kebutuhan ma’isyah (nafkah), lazimnya kurang diperhatikan. Seorang ikhwan bahkan sempat mengemukakan pendapatnya, bahwa orangtua mestinya membiasakan diri menumbuhkan budaya yang memungkinkan anak laki-lakinya segera menikah dengan jalan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang akan terbentuk itu. Padahal kewajiban memenuhi  kebutuhan ekonomi  ada  pada  suami,  bukan  pada  orangtua suami.

Sebagian  ikhwan  telah  menyiapkan  bekal  secara  sungguh-sungguh sehingga betul-betul bisa menjadi pendamping istri yang insya-Allah diridhai Allah. Pada diri mereka barangkali masih banyak kekurangan, meskipun demikian mereka dengan serius berikhtiar untuk memperbaiki diri dalam hal kesiapannya memenuhi tiga kebutuhan  istrinya  maupun  dalam  hal  kesiapan  memikul  tanggungjawab sebagai ayah, anak, dan menantu. Kemampuannya mencukupi ma’isyah barangkali belum memadai,  walaupun  begitu  mereka  memiliki  kesungguhan  untuk  memenuhinya sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Yang demikian ini, insya-Allah lebih siap untuk mengemban tanggungjawab besar di balik mitsaqan-ghalizha. Mudah-mudahan Allah ‘Azza wa Jalla memberikan pertolongan kepada mereka. Allahumma amin.

Situasi psikis yang berbeda-beda, juga jenjang kedewasaan yang tak sama, melahirkan sikap yang beragam dalam menghadapi dorongan untuk mencari teman hidup.  Ada  yang  berkeinginan sekedar  untuk  melegitimasi  keinginan bersebadan dengan lawan jenis, tanpa harus jatuh ke dalam dosa. Tetapi, mereka menghendaki untuk tidak tinggal satu rumah. Sebagian berkeinginan kuat untuk terikat secara resmi melalui pernikahan yang sah di hadapan agama, negara, dan dalam pandangan masyarakat, walaupun kondisi yang mereka hadapi tidak jauh berbeda dengan yang pertama. Mereka memilih ini karena di dalamnya ada kemaslahatan yang lebih besar dan kedudukan wanita lebih mulia, karena agama menghendaki suami yang memuliakan istrinya dengan seutama-utama kemuliaan yang mampu ia berikan. Keutamaan ini terutama berkait dengan sikap dan perlakuan. Di sini, ada mujahadah. Ada perjuangan besar yang insya-Allah mulia di hadapan Allah dan mempesona di hati istri. Kelak, insya-Allah kita akan merasakan keindahannya, di dunia maupun di akhirat.

Ada banyak mujahadah (perjuangan) pada masa-masa ini. Perjuangan untuk menyiapkan sekaligus menambah bekal dalam mendampingi suami dan menyusui anak dengan tenang di tengah malam. Perjuangan untuk menegakkan prasangka yang baik (husnuzhan) kepada Allah. Pasti Ia menolong, sebagaimana Ia mempertemukan Zulaikha sebagai istri Yusuf a.s. setelah bertahun-tahun Zulaikha berdoa karena tidak kuat menahan sakitnya merindukan Yusuf yang dicintainya. Perjuangan untuk tetap menjadi   muslimah   yang   memiliki   komitmen   terhadap   agamanya.   Dan   juga, perjuangan untuk tetap mempertahankan busana muslimah beserta identitas keislamannya ketika dilanda keraguan, sedang pada saat yang sama mereka yang menanggalkan hijab juga mengalami masalah yang sama.

Apakah engkau mengira mereka yang berlepas diri, yang bergandengan tangan dengan pemuda yang ia  inginkan, tidak  mengalami ketidakpastian? Tidak. Sama sekali tidak. Insya-Allah engkau lebih tenang. Ketika saya sedang mengerjakan buku ini,  saya  menerima  berbagai  surat.  Salah  satunya  mengeluhkan”  masalah  ini. Seorang cewek mempunyai teman laki-laki. Selama ini keinginannya tak terlalu jauh”. Akan tetapi suatu ketika, teman laki-laki itu menginginkan hubungan suami- istri. Cewek itu menangis terus. Ia bingung (ada saran?).

Zaman memang telah berubah. Gadis-gadis sekarang semakin lambat dewasa. Padahal mereka mengalami menstruasi (haid) pada usia yang lebih dini dibandingkan dengan wanita-wanita sebelum mereka. Para lelaki juga tidak banyak dipersiapkan oleh  keluarganya  ataupun  mempersiapkan  dirinya  sendiri  untuk  menjadi  dewasa secara  penuh  ketika  mereka  telah  melewati  usia  20  tahun.  Padahal,  mereka mengalami mimpi indah (ihtilam) pada masa yang lebih awal dibandingkan dengan generasi  orangtua  mereka.  Sementara  ihtilam  seharusnya  --begitu  kalau   kita menengok fiqih-- menjadi pertanda datangnya masa ‘aqil-baligh (akalnya sampai, kedewasaan intelektual). Segera sesudah mengalami ihtilam (mimpi indah), mereka seharusnya sudah siap untuk memikul taklif (pembebanan tanggung-jawab). Salah satunya, membiayai hidupnya sendiri dan anak orang lain (jika sudah menikah) bagi laki-laki, selambat-lambatnya pada usia 18 tahun.

Berbagai informasi yang diberikan melalui media massa, penataran, serta iklim yang tumbuh dalam keluarga, juga banyak yang tidak mendorong mereka untuk siap mencapai kedewasaan dalam arti yang utuh ketika mereka telah mencapai kemasakan seksual  (sexual  maturation).  Akibatnya,  kedewasaan  sekaligus  tanggungjawab mereka terlambat beberapa tahun dibanding kemasakan seksualnya. Apalagi banyak di antara mereka yang tidak mempunyai bekal ilmu, orientasi, dan misi yang kuat sebelum mereka mengalami kemasakan seksual. Keadaan ini, acapkali, menimbulkan reaksi-reaksi impulsif terhadap lawan jenis. Ini menimbulkan beban psikis, meskipun banyak di antara mereka yang tidak menyadari apa yang terjadi pada dirinya.

Media massa juga kerap menyampaikan informasi yang timpang, searah, tidak adil,  dan  kadang  bahkan  menyesatkan.  Media  massa  menjadikan  informasinya sebagai alat eksploitasi bagi satu kepentingan tertentu (maaf, saya menggunakan kata “tertentu”) terhadap pembacanya yang berada pada masa rawan ini. Alasan psikologis dan  medis  sering  digunakan, meskipun  tidak  sungguh-sungguh memiliki  pijakan ilmiah, sehingga para gadis dan pemuda berada dalam situasi ketakutan ketika akan melangkah ke pernikahan yang tergolong dini tanpa tahu bagaimana mesti menyikapinya.  Variabel  pengaruh  seolah-olah  hanya  terletak  pada  faktor  usia, padahal usia  tidak  bisa  mengindikasikan tingkat  kedewasaan dan  tanggungjawab seseorang. Banyak yang sudah hampir jadi sarjana, usia sudah menginjak 25 tahun, tetapi pola pikirnya masih sama dengan pola pikir anak SMA.

Saya sering tidak paham (mungkin karena saya tidak tergolong orang jenius) dengan  apa  yang  berlangsung di  sekeliling. Menikah  usia  muda  dikecam dalam berbagai kesempatan (bahkan melalui jalur ilmiah), akan tetapi kondom dijual bebas dengan harga murah. Sementara itu, ekspos sumber-sumber rangsang seksual pun dibiarkan meningkat, terutama melalui TV dan tabloid-tabloid. Kampanye anti pelecehan digelar habis-habisan, namun demikian pada saat yang sama wanita dipakai sebagai  alat  untuk  menarik  perhatian  di  berbagai  kesempatan  resmi.  Ironisnya, kadang-kadang malah dilakukan oleh mereka yang menyerukan sikap anti-pelecehan terhadap wanita.

Melalui engineering of consent (rekayasa persetujuan) diciptakan image (citra) -- sekaligus rasa takut-- bahwa menikah muda hanya dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki intelektualitas   tinggi. Menikah   muda   adalah   tindakan orang yang berpendidikan  rendah.  Sehingga  mereka  tidak  memiliki  kesiapan  yang  memadai (coba, apa ukurannya sehingga disebut memadai) untuk menjadi istri dan ibu. Sementara itu,  pada  saat  yang  sama,  sekolah  dan  perguruan tinggi  tidak  pernah menyiapkan mereka untuk mengerti dan mencintai tanggungjawab sebagai istri dan ibu. Ironisnya, berlawanan dengan pernyataan sebelumnya, berkembang citra “untuk apa berpendidikan tinggi-tinggi sampai jenjang perguruan tinggi kalau hanya untuk mendidik anak?” Alhasil, mereka menjumpai suami, anak, dan rumahtangganya sebagai “hanya”. “Hanya” bangunan yang disebut rumah. “Hanya”....

Jadi, ada yang perlu kita cermati dengan kecerdasan tinggi. Ada yang perlu kita pikirkan di sini.

Sekarang pinangan telah datang. Jawaban atas pinangan itu sedang dinantikan. Maka pertimbangkanlah matang-matang, dengan melihat berbagai kondisi yang ada di sekeliling, serta kondisi yang ada di dalam keluarga dan diri sendiri. Ayah perlu memikirkan kemaslahatan anak gadisnya, sebelum mengambil keputusan. Engkau pun perlu mempertimbangkan pinangan itu. Catatan bagi Ayah

Rasulullah pernah bersabda, “Pukullah anak-anak karena meninggalkan sholat pada usia tujuh tahun, pisahkan tempat tidurnya pada usia sembilan tahun, dan kawinkanlah pada usia 17 tahun jika memungkinkan. Apabila perkawinan dilakukan, maka suruhlah si anak duduk di hadapan bapaknya, kemudian katakanlah, ‘Mudah- mudahan Allah tidak menjadikan kamu dalam fitnah di dunia, tidak pula di akhirat’.”

Anak gadis sudah memungkinkan untuk dinikahkan kalau ia dipersiapkan untuk memasuki masa dewasa sejak awal. Seorang gadis bahkan dapat memiliki kesiapan dan kedewasaan lebih dini dibanding anak laki-laki. Wanita memang cenderung lebih cepat matang dibanding laki-laki.

Dari Anas r.a., Rasulullah al-ma’shum bersabda, “Barangsiapa mempunyai anak perempuan yang telah mencapai usia dua belas tahun, lalu ia tidak segera mengawinkannya, kemudian anak perempuan tersebut melakukan suatu perbuatan dosa, maka dosanya ditanggung oleh dia (ayahnya).” (HR. Baihaqi).

Pebuatan   dosa.   Perbuatan   dos apakah   yang   menyebabkan   ayah   ikut menanggung dosanya? Wallahua’lam bishawab. Jika kita perhatikan, insya-Allah kita akan mendapat pengetahuan bahwa perbuatan dosa yang seorang ayah ikut menanggung dosanya bila  tidak segera mengawinkan anak perempuannya adalah dosa-dosa yang berkait dengan dorongan gharizah (naluri) untuk berdekat-dekat dengan lawan jenis. Pada usia-usia yang rawan ini, gejolak mudah membakar dada. Akan tetapi, apakah ia sudah memungkinkan untuk dikawinkan?

Saya tidak bisa menjawab. Anda yang lebih tahu siapa anak Anda. Anda yang lebih tahu bagaimana Anda mempersiapkan anak Anda memasuki masa ‘aqil-baligh. Apakah persiapan yang Anda berikan melalui pendidikan semenjak kecil telah mengantarkannya menjadi wanita yang betul-betul mencapai ‘aqil-baligh, taklif (dewasa dan bertanggungjawab) dan sekaligus telah memiliki keterampilan untuk menasharufkan harta (manajemen anggaran) di rumah?

Sekarang ia sudah memasuki masa taklif. Jika ia belum terampil, insya-Allah kelak akan memiliki keterampilan yang diperlukan. Sedang saat ini, yang diharapkan adalah kepekaan ayah untuk cepat tanggap terhadap apa yang dirasakan oleh anak gadisnya.

Ketika seorang laki-laki datang meminang, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh seorang ayah.



Memperhatikan Agama

Pernah, ada orang bertanya kepada Al-Hasan r.a. mengenai calon suami putrinya. Kemudian Al-Hasan r.a. menjawab, “Kamu harus memilih calon suami (putrimu) yang taat beragama. Sebab, jika dia mencintai putrimu, dia akan memuliakannya. Dan jika dia kurang menyukai (memarahinya), dia tidak akan menghinakannya.”

Dalam sebuah hadis yang sangat terkenal, Rasulullah bersabda:
“Jika datang kepada kalian (hai calon mertua) orang yang kalian sukai (ketaatan) agamanya dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia (dengan putrimu). Sebab, jika kamu sekalian tidak melakukannya, akan lahir fitnah (bencana) dan akan berkembang kehancuran yang besar di muka bumi.”

Kemudian ada yang bertanya,

“Wahai Rasulullah, bagaimana jika orang (pemuda) itu mempunyai (cacat atau kekurangan-kekurangan)?”

Maka, Rasulullah Saw. menjawab, (mengulangnya tiga kali)

“Jika datang kepada kalian orang yang bagus agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia (dengan putrimu)! (HR Imam Tirmidzi dari Abu Hatim Al- Mazni).

Pada hadis ini --sampai-sampai Rasulullah Saw. mengulang jawaban tiga kali-- seorang ayah diperingatkan agar memperhatikan orang yang beragama dan berakhlak bagus. Akhlak yang bagus adalah sebagian tanda-tanda bagusnya agama seseorang. Tanda  ini  lebih  kuat  daripada  tanda  lainnya,  misal  pengetahuan  agama  dan lingkungan. Dua  hal  yang  disebut  terakhir  ini  menjadi pertimbangan pendukung mengenai agama dan akhlak orang yang berniat menjadi suami putri Anda.

Seorang ayah bisa mencari pengetahuan mengenai laki-laki yang meminang anak gadisnya dengan seksama sebelum mengambil keputusan. Antara lain, ia dapat menanyai orang yang dekat dengan calon menantunya. Ia juga bisa menanyakan kepada orang-orang yang dapat dipercaya (tsiqah).

Sebelum membicarakan masalah lain, marilah kita renungkan peringatan Rasulullah Saw. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang menikahkan (putrinya) karena silau akan kekayaan laki-laki itu meskipun buruk agama dan akhlaknya, maka tidak pernah pernikahan itu akan dibarakahi-Nya.”





Meminta Izin Anak

Pernikahan berkaitan langsung dengan perasaan anak gadis yang insya-Allah akan  mendampingi  suaminya  seumur  hidup.  Dialah  nanti  yang  akan  merasakan manis-indahnya pernikahan ataupun pahit-getirnya perpisahan, kalau ternyata cinta tak bisa tumbuh juga. Oleh karena itu, seorang ayah perlu meminta izin kepada anak gadisnya sebelum menikahkan. Islam menolak pemaksaan orangtua atas anak gadis agar  mau  menikah  dengan  laki-laki  pilihan  orangtua,  sedang  ia  sendiri  tidak menyukai. Pemaksaan dapat menjerumuskan anak kepada dosa besar. Minimal dosa karena tidak taat pada suami, termasuk dalam melayani keinginan suami di tempat tidur, karena tidak ada kehangatan cinta di hatinya. Padahal, penolakan istri untuk melakukan hubungan intim termasuk perkara yang sangat dilaknat oleh agama.

Dari Ibnu Abbas, bahwa ada seorang hamba sahaya yang masih gadis datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dia melaporkan bahwa dia  dikawinkan  oleh  ayahnya,  padahal  dia  tidak  suka  terhadap  laki-laki  pilihan ayahnya itu. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pilihan terhadapnya. Demikian hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Adz-Dzaruquthni.

Dan dari ‘Aisyah, bahwa ada seorang remaja putri dikawinkan dengan seorang laki-laki kemudian dia berkata, “Sesungguhnya ayah telah mengawinkanku dengan anak saudaranya agar kehinaannya dapat terangkat karena aku. Sedangkan aku tidak menyukainya.”

Kemudian  ‘Aisyah  berkata,  Duduklah”,  sehingga  Ra-sulullah  shallallahu
‘alaihi wa sallam datang. Lalu aku mengabarkannya. Kemudian Rasulullah mengutus seseorang kepada ayahnya untuk mengundangnya ke rumah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah menyerahkan perkara itu terhadap sang gadis tersebut. Lalu gadis itu berkata, Ya Rasulullah, sebenarnya aku telah rela terhadap
apa yang telah diperbuat ayahku terhadapku, akan tetapi aku berkeinginan untuk memberitahukan kepada wanita-wanita tentang sesuatu dalam masalah ini.” (HR An-Nasa’i).

Maka, sebelum memberi jawaban kepada peminang, tanyakanlah kepada anak gadis  Anda.  Rasulullah  Saw.  bersabda,  Tidaklah  seorang  janda  dikawinkan, sehingga  dia  dimintai  persetujuannya dan  tidak  pula  seorang  gadis  hingga  dia dimintai persetujuannya.”
Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimanakah persetujuannya?” Rasulullah  menjawab,  “Persetujuannya  adalah  pada  saat  dia  diam.”  (HR Bukhari dan Muslim).

Al-Bukhari dan Muslim juga pernah meriwayatkan dari ‘Aisyah, dia berkata, “Ya Rasulullah, apakah wanita-wanita harus dimintai persetujuannya jika mereka akan dikawinkan?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya.

Aku bertanya lagi, “Sesungguhnya seorang gadis jika dimintai persetujuannya, kemudian dia diam, karena malu?” Rasulullah bersabda:

“Diamnya itu adalah persetujuannya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Syaikh Yusuf Qardhawi mengingatkan, seorang gadis kadang-kadang merasa malu untuk menjelaskan tentang persetujuannya itu dan dia juga malu untuk menampakkan bahwa  dia  sudah  berkeinginan  untuk  melangsungkan  perkawinan. Sedangkan diamnya itu menunjukkan kebersihannya dari segala penyakit yang dapat mencegahnya dari hubungan seksual, atau adanya sebab lain yang tidak baik untuk melangsungkan pernikahan dengan laki-laki itu, di mana sebab-sebab itu tidak ada seorang pun yang mengetahuinya, kecuali  dia  sendiri. Wallahu A’lam. Demikian kutipan saya dari Ruang Lingkup Aktifitas Wanita Muslimah (Al-Kautsar, 1996).

Selain meminta izinnya, berikanlah kesempatan kepadanya untuk mengetahui siapa calon suaminya, terutama jika calon suami itu pilihan Anda sedang anak gadis Anda belum mengenalnya. Biarkanlah anak gadis Anda untuk menilai sendiri calon suaminya, apakah ia menyukai atau tidak. Anda bisa memberikan informasi, memberi keterangan seperlunya tentang si calon. Tetapi sebaiknya tidak banyak mempersuasi (membujuk) dengan menampakkan yang baik-baik saja. Sebab persuasi dapat menimbulkan harapan-harapan yang akan ia peroleh ketika akad nikah telah dilak- sanakan. Sehingga bisa jadi ia mengalami kekecewaan justru karena terlalu tingginya harapan yang muncul lantaran persuasi Anda. Padahal, pada mulanya ia tak banyak mengharapkan hal-hal yang tidak mendasar.

Sebagian gadis menikah dengan orang yang  belum pernah dikenalnya sama sekali dan baru melihat laki-laki yang menikahinya ketika akad nikah telah selesai, yaitu saat pertama kali memasuki kamar pengantin. Mereka ridha dengan suaminya. Tetapi ini tidak berlaku umum. Sehingga Anda tidak bisa mengambilnya sebagai hukum yang Anda terapkan begitu saja kepada anak gadis Anda. Anda perlu bersikap tengah-tengah dan memahami kebutuhan anak gadis Anda, kecuali jika dia telah ridha dengan pilihan Anda tanpa mensyaratkan apa pun mengenai laki-laki  yang akan menjadi suaminya.

Seorang gadis yang tidak diberi kesempatan untuk mengetahui dan mempertimbangkan calon  suaminya, berhak  untuk  memutuskan hubungan perkawinan apabila ia tidak rela terhadap suami pilihan ayahnya. Kesempatan mengetahui ini meliputi hal-hal yang berkenaan dengan segi lahiriah maupun segi- segi yang lebih bersifat psikis dan agama dari si calon suami.

“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (QS Al-Baqarah: 229).

Kasus  gagalnya  perkawinan  karena  istri  belum  mengetahui  calon  suaminya pernah terjadi di masa Rasulullah. Ketika menikah, Hadiqah tidak pernah bertemu dengan Tsabit bin Qais kecuali pada malam pengantin mereka. Sang istri sangat terkejut  dengan  suami  yang  dijumpainya  pada  malam  pengantin  itu  dan  secara spontan timbul keinginan untuk berpisah.

Hadiqah berkata kepada Rasulullah, “Tampaklah apa yang tidak saya ketahui pada malam pengantin kami. Saya pernah melihat beberapa orang laki-laki, namun suami saya adalah laki-laki yang paling hitam kulitnya, pendek tubuhnya, dan paling jelek wajahnya. Tidak ada satu kebagusan pun yang saya temui pada dirinya. Saya tidak mengingkari kebagusan akhlaknya dan agamanya, ya... Rasulullah, tetapi saya takut menjadi kafir jika tak bercerai darinya. Saya takut jika terus-menerus maksiat padanya karena ketidaktaatan saya pada  suami, dan  saya tahu itu menyalahi perintah Allah Swt.”

Rasulullah  Saw.  memanggil Tsabit  dan  berkata  kepadanya, Temui  istrimu, Hadiqah dan ceraikan ia sebagaimana layaknya, biarkan mahar itu menjadi haknya.”

Kisah Hadiqah dan Tsabit bin Qais ini juga disampaikan oleh Imam Bukhari dalam shahihnya. Sesungguhnya, kata Ibnu Abbas, istri Tsabit bin Qais telah menghadap  kepada  Nabi  Saw.  Ia  berkata,  “Ya  Rasulullah, saya  tidak  mencela akhlak dan agamanya, tetapi saya tidak mau kufur dalam Islam." Maka Rasulullah Saw. bersabda, Maukah Anda mengembalikan kebun-kebunnya?” Ia menjawab, Ya.”
Maka Rasulullah Saw. bersabda (kepada Tsabit), “Terimalah kebun itu, dan talaklah istrimu itu satu kali.”

Ada hadis lain yang meriwayatkan kisah Tsabit bin Qais ini. “Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya r.a. dalam riwayat Ibnu Majah; Sesungguhnya Tsabit bin Qais itu adalah orang yang buruk rupa dan bentuknya, dan istrinya berkata, “Kalau saya tidak takut pada Allah, tentu saya ludahi muka suami saya itu apabila mendatangi saya”. Dan dalam riwayat Ahmad dari hadis Sahal bin Abi Hasmah, “Dan kejadian itu adalah permulaan khulu’ dalam Islam."

Khulu’ merupakan hak istri untuk meminta cerai karena sebab tertentu yang kuat.

Jadi, sebelum menikahkan anak gadis Anda dengan laki-laki yang meminangnya, tanyakan dulu apakah ia setuju atau tidak. Berikan kesempatan padanya untuk mengetahui calon suaminya agar lebih dapat mengekalkan hubungan kalau ia ternyata rela dan menyukai. Ada pun kalau ia tidak menyukai, ini lebih baik daripada terlanjur menikah. Kalau sudah terlanjur, silaturrahmi bisa rusak.



Meminta Pertimbangan Istri

“Berkonsultasilah  terhadap  wanita-wanita  dalam  masalah  anak-anak perempuan,” kata Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Abu Daud. Dalam hadis ini terdapat rawi yang majhul, tetapi banyak hadis yang maknanya senada dengan hadis ini. Begitu Syaikh Yusuf Qardhawi memberi keterangan.

Al-Imam Abu Sulaiman Al-Khaththabi memberikan beberapa catatan penting dalam menyampaikan kesimpulan mengenai hadis-hadis tersebut.

Beliau mengatakan, “Berkonsultasilah dengan kaum ibu dalam masalah perkawinan anak-anak perempuan mereka, bukan berarti bahwa mereka mempunyai wewenang terhadap akad nikah tersebut. Akan tetapi dipandang dari segi kebaikan dan perbaikan terhadap diri mereka dan dalam segi menggauli mereka dengan baik. Dan karena upaya itu lebih dapat mengekalkan persahabatan dan akan dapat menimbulkan rasa cinta kasih di antara anak-anak gadis mereka dengan sang suami.

Hal ini dapat terjadi jika akad nikah itu atas dasar kerelaan dari ibu-ibu mereka dan sesuai dengan keinginan mereka. Dan jika akad pernikahan itu di luar kerelaan ibu-ibu mereka, maka bisa jadi ibu-ibu mereka merongrong suami mereka. Dia juga akan menimbulkan kerusakan terhadap hati anak gadisnya. Sedangkan anak-anak perempuan, biasanya lebih cenderung terhadap ibu-ibu mereka dan akan lebih menerima perkataan yang datangnya dari ibu-ibu mereka.

Pernikahan itu sangat sensitif.

Apa saja yang ada dalam proses menuju pernikahan maupun fase-fase awal pernikahan, mudah membangkitkan perasaan yang kuat, negatif maupun positif.---

Dengan adanya permasalahan yang seperti ini, maka berkonsultasi dengan sang ibu adalah sunnah hukumnya dalam  masalah  akad pernikahan anaknya. Wallahu A’lam.”

Beliau juga pernah berkata, “Dan terkadang juga hal itu menjadi penting oleh karena adanya alasan-alasan tertentu, selain apa yang telah kita sebutkan di atas. Dan hal itu karena mungkin seorang wanita lebih mengetahui tentang masalah- masalah khusus yang terdapat pada diri anak-anak perempuan, atau juga dapat mengetahui tentang kejadian-kejadian yang rahasia, di mana (kalau) anak perempuannya itu melangsungkan pernikahan dengan orang tersebut, maka hal itu tidak akan berlangsung lama atau tidak akan memberikan kebaikan. Sedang alasan- alasan itu berada pada ibunya tersebut. Dan adanya penyakit dapat menggagalkan terlaksananya hak-hak pernikahan. Pendapat ini adalah sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Jangan kamu kawinkan seorang gadis, kecuali dengan seizinnya. Sedangkan persetujuannya adalah diamnya.”

Ketika bertemu Musa a.s., Syafura sangat terkesan oleh sikap dan perilakunya. Ia tidak  menunjukkan perasaannya kepada Musa  a.s.  karena rasa  malu  yang  besar. Tetapi ia menceritakan kepada ayahnya, Nabiyullah Syu’aib a.s. Kelak, Nabi Syu’aib menikahkan putrinya dengan Musa a.s. yang di kemudian hari juga menjadi Nabi.

Putri Anda barangkali juga mempunyai perasaan-perasaan serupa. Ada seseorang yang memiliki tempat khusus di hatinya. Ada laki-laki yang begitu berarti baginya, meskipun ia tidak menunjukkan gelagat di hadapan Anda maupun di hadapan laki- laki  yang  telah  memunculkan  kesan  membekas  dalam  jiwanya.  Ada  halangan kejiwaan yang membuatnya tidak berani menceritakan kepada Anda. Meski masih ada rasa malu, kadang-kadang ia berani terbuka pada ibunya atau neneknya tentang rahasia-rahasia yang ia simpan rapat-rapat. Ia berani mengungkapkan bahwa hatinya telah terpaut dengan seorang laki-laki, yang barangkali berbeda dengan laki-laki yang sempat dipikirkan ayahnya untuk dijodohkan dengannya.

Dan jika laki-laki yang disukainya itu datang untuk mengawini anak perempuan itu, kata Syaikh Yusuf Qardhawi, maka orang itulah yang akan didahulukan dan diterima pinangannya. Sebagaimana yang diisyaratkan di dalam sebuah hadis shahih:



Belum pernah terlihat bagi dua orang yang bercinta seperti pernikahan.



Kuatnya ikatan perasaan antara dua hati, dapat kita baca pada kisah pernikahan Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. dengan Atikah binti Amr bin Nufail. Abu  Bakar  pernah  mengkhawatirkan anaknya  sehingga  khawatir  kalau  perasaan anaknya yang begitu kuat terhadap istrinya, Atikah, akan mengalahkan pikiran dan agamanya. Ia kemudian menyuruh Abdurrahman untuk menceraikan Atikah, tetapi Abdurrahman tidak sanggup melakukan. Abu Bakar terus mendesak, sampai akhirnya Abdurrahman tidak mampu menghadapi perintah ayahnya. Tetapi perceraian tidak pernah bisa melemahkan ikatan perasaan dua orang yang diliputi kerinduan. Perpisahan tidak mematikan perasaan Zulaikha kepada Yusuf dan tetap menantikan perjumpaan dengan Yusuf, meskipun kecantikannya telah banyak dimakan usia. Perceraian Abdurrahman juga demikian. Ia tidak bisa melupakan kelembutan dan ketinggian akhlak Atikah. Ia mengadukan cekaman perasaannya kepada Allah dengan bersyair:

“Demi Allah tidaklah aku melupakanmu

Walau matahari kan terbit meninggi

“Dan tidaklah terurai air mata merpati itu kecuali berbagi hati
“Tidak pernah kudapatkan orang sepertiku mentalak orang seperti dia,
Dan tidaklah orang seperti dia

Ditalak karena dosanya

"Dia berakhlak mulia, beragama dan bernabikan Muhammad, Berbudi pekerti tinggi
bersifat pemalu dan halus tutur katanya



Perpisahan tidak melemahkan ikatan perasaan. Ia justru semakin kuat dengan disirami air mata. Melihat rintihan tangis anaknya, Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak tega hatinya. Kepada anaknya ia mengatakan, "Wahai anakku, rujuklah engkau kepadanya kalau memang engkau tidak dapat melupakannya."

Maka, rujuklah Abdurrahman kepada Atikah, istri yang sangat dicintainya. Mereka hidup dalam rumah tangga yang penuh dengan kebahagiaan hingga Abdurrahman mencapai syahid pada perang Tha'if. Konon, ketika mendengar kabar syahidnya Abdurrahman, Atikah sangat sedih disebabkan dalamnya rasa cinta kepada


Abdurrahman. Tetapi  kecintaannya terhadap Abdurrahman, tidak menghalanginya untuk melepas Abdurrahman pergi berjihad. Inilah ketinggian Atikah. Wallahu A'lam bishawab.

Ikatan perasaan demikian kuat. Anak gadis Anda barangkali telah terpaut hatinya kepada seseorang yang ia rela terhadapnya. Ia berharap dapat menemani hidupnya sebagai  istri  shalihah,  sekalipun  ia  belum  pernah  bertegur  sapa.  Ia  mempunyai perasaan itu, mempunyai cita-cita tentang rumah tangga yang akan dibangunnya. Sekali saat, barangkali ia menceritakan isi hatinya kepada neneknya, kepada ibunya saat ia menemukan kesempatan untuk berbicara dari hati ke hati, kepada saudara perempuan yang lebih tua, atau kepada bibinya. Seringkali, seorang gadis mempercayakan rahasia hatinya kepada mereka. Karena itu, bertanyalah kepada mereka agar keputusan Anda lebih dekat kepada maslahat dan jauh dari madharat dan mafsadah (kerusakan).


Musyawarah

Banyak hadis yang menunjukkan keutamaan musyawarah. Al-Qur'an juga memberi perhatian kepada pentingnya musyawarah. Allah Swt berfirman, "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah." (QS Ali Imran: 159).

Ada musyawarah. Kemudian, ada tawakal yang mengikuti. Yang disebut terakhir ini seringkali tertinggal, tidak mengikuti hasil musyawarah.

Tak mudah memang. Karena itu, silakan Anda mencari sendiri pembahasan mengenai tawakal ini.

Ada syarat-syarat musyawarah. Musyawarah dengan orang yang memenuhi syarat, dapat memberi manfaat dan lebih dekat dengan maslahat dan keselamatan akhirat, bahkan keselamatan dunia. Tetapi musyawarah dengan orang yang tidak memenuhi syarat, justru lebih dekat kepada madharat dan mafsadat. Imam Abu
'Abdillah mengingatkan, musyawarah dengan orang  yang  tidak  memenuhi syarat lebih besar bahayanya dibanding manfaatnya.

Pembahasan lebih lanjut tentang musyawarah, silakan Anda cari di buku lain. Saya kira, cukuplah pembahasan saya tentang musyawarah. Semoga bermanfaat.



Catatan bagi Wanita yang Dipinang

"Suatu hari yang lain," begitu cerita seorang akhwat dalam suratnya, "Allah mempertemukan saya dengan seorang akhwat yang sedih dengan setumpuk masalahnya. Dengan sedih ia berkata, 'Alangkah enaknya kalau saat ini ada  suami...' Mengapa? Dan bagaimana suami dapat meringankan kesedihannya?"

"Mengapa suami? Karena adanya keyakinan bahwa suami dapat membimbing untuk mencintai Allah. Dan karena pendekatan suami lebih dari hati ke hati, dengan kasih sayang, maka lebih menyentuh untuk dilakoni.”


"Masalahnya, bagaimana kriteria suami yang seperti itu?”

Saya kadang-kadang menerima pertanyaan tentang bagaimana memilih suami yang baik, suami yang dapat membimbing istri dalam menjalani kehidupan bersama sebagai  satu  keluarga  yang  saling  mencintai.  Pada  suatu  seminar,  pertanyaan mengenai ini berkembang ke arah yang lebih mendasar lagi. Pertanyaan itu dikaitkan dengan janji Allah bahwa wanita yang baik adalah bagi laki-laki yang baik dan begitu pula sebaliknya.

Allah Swt berfirman:



"Dan  perempuan-perempuan yang  keji  adalah  diperuntukkan bagi  laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji juga diperuntukkan bagi perempuan yang keji, sedangkan perempuan-perempuan yang baik diperuntukkan bagi laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik juga diperuntukkan bagi perempuan-perempuan yang baik..." (QS An-Nur:26).

Pembahasan tentang ini memerlukan ruang yang khusus. Pada kesempatan ini insya-Allah saya membahas sedikit saja sejauh yang saya mampu. Dan sesungguhnya, pengetahuan yang haq hanya di sisi Allah. Wallahul Musta'an.

Sekarang,  ketika  pinangan  telah  datang,  apa  yang  perlu  engkau  perhatikan sebagai bahan pertimbangan.



Agama Calon Suami

Baik  laki-laki  maupun  perempuan,  diperingatkan  agar  memilih  pendamping hidup atas dasar agama calonnya. Sebagian orang menempatkan peringatan ini dalam derajat yang paling ringan. Asal seagama, dianggap telah memenuhi ketentuan untuk memilih berdasarkan agama calonnya. Sebagian orang bertanya, "Kenapa agama?"

"Kadang-kadang, orang yang agamanya baik memperlakukan istri dengan cara yang buruk. Sikapnya kepada orang lain juga tidak menyenangkan. Padahal, ia rajin ke masjid, shalat, puasa, dan banyak mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan. Tetapi, mereka tidak memperlakukan istri dan anak-anaknya dengan baik."

"Sebaliknya, orang-orang yang tidak begitu mengenal agama, sikapnya kepada istri justru sangat baik. Perhatiannya kepada istri, besar sekali. Kadang mereka malah bisa menjadi sahabat yang enak diajak bicara oleh istri dan anak-anaknya."

Pertanyaannya, apakah yang dimaksud dengan beragama? Apakah mereka yang lebih utama agamanya adalah mereka yang luas pengetahuan agamanya? Jika ini yang dimaksud, sesungguhnya para orientalis memiliki pengetahuan agama yang lebih luas daripada  kebanyakan  kita  saat  ini.  Penulis  kamus  bahasa  Arab  yang  menjadi pegangan standar sekarang, Al-Munjid, adalah Louis Ma'luf, seorang orientalis.


Kalau begitu, bagaimana menentukan ukuran bahwa calon suami yang datang meminang termasuk laki-laki yang beragama? Wallahu A'lam bishawab. Agama meliputi tauhid yang merupakan intinya dan syari'at sebagai aturan-aturan baku yang lebih bersifat zhahir. Tauhid hidup dalam iman. Iman adalah perkara qalbiyyah (rahasia hati). Orang tidak dapat melihat derajat iman seseorang. Orang tidak bisa menilai aqidah-qalbiyyah (urusan keyakinan dalam hati) orang lain.

Tetapi, keyakinan hati mempengaruhi sikap dan perilaku. Keagamaan seeorang insya-Allah dapat dilihat  melalui  amal  perbuatannya. Ada berbagai petunjuk As- Sunnah yang dapat dipakai untuk "menerka" agama dari laki-laki yang datang meminang Anda.

Rasulullah Saw. bersabda, "Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya." (HR Ahmad dan Abu Daud).

Dalam hadis lain yang bersumber dari 'Aisyah r.a., dari Nabi dikatakan, "Sesungguhnya kelembutan tidak menghinggapi sesuatu kecuali memperindahnya dan tiada dicabut dari sesuatu melainkan memperburuknya." (HR. Muslim).

Rasulullah Saw. juga bersabda:

"Sesungguhnya seorang hamba yang berakhlak baik akan mencapai derajat dan kedudukan yang tinggi di akhirat, walau ibadahnya sedikit." (HR Thabrani dengan sanad baik).

Masih banyak hadis yang menunjukkan tanda-tanda keimanan melalui sikap, perilaku dan ketinggian moral. Tanda-tanda ini yang dapat engkau perhatikan ketika seorang  pemuda  meminangmu.  Ada  tanda  lain  yang  dapat  engkau  perhatikan, terutama berkait dengan tanggungjawabnya kelak sebagai kepala rumah keluarga. Misal, bagaimana sikapnya terhadap upaya mencari nafkah pada saat ini, sedang ia masih menuntut ilmu di perguruan tinggi.

Pembahasan lebih lanjut insya-Allah kita lakukan pada sub judul Kemandirian
Ekonomi.

Seorang ulama mengatakan bahwa, tidak mungkin mengetahui keberagamaan seseorang melalui shalat dan puasa serta sebagian ritual agama. Keimanan dalam beragama, dapat diketahui melalui aspek-aspek akhlak, penjagaan hak-hak orang lain, dan sikap menghindarkan orang lain dari kezaliman-kezaliman dirinya. Adakalanya ketika seseorang berpuasa, sangat takut kemasukan air setetes sehingga tidak berani berkumur. Tetapi ia tidak takut melanggar hak-hak orang lain. Begitu KH. Abdurrahman Wahid pernah mencontohkan.

Peringatan  Imam  Abu  'Abdillah  dapat  Anda  pertimbangkan  ketika  menilai agama calon suami Anda. Beliau pernah berkata, "Janganlah kalian tertipu dengan shalat mereka dan puasa mereka. Sesungguhnya mungkin ada seseorang yang mengerjakan shalat dan puasa sampai-sampai seandainya ia meninggalkannya, ia merasa takut. Tetapi, amatilah mereka dalam kebenaran bicara dan penunaian amanat."


Ada  contoh  yang  ekstrem  tentang  masalah  ini.  Abu  Said  Al-Khudri, salah seorang sahabat terkenal, mengatakan bahwa Abu Bakar pernah bercerita di hadapan Nabi. Saat itu Abu Bakar menuturkan pengalamannya ketika melintasi padang pasir dan  melihat  seorang  lelaki  berwajah  tampan  sedang  melakukan  shalat  dengan khusyuk.

"Pergi dan bunuhlah orang itu," tukas Nabi.

Abu Bakar segera pergi menemukan lelaki yang itu masih dalam keadaan seperti semula, shalat dengan khusyuk. Abu Bakar jadi ragu untuk membunuhnya. Akhirnya ia kembali.

Nabi kemudian memanggil Umar bin Khaththab.

"Pergilah ke sana dan bunuhlah lelaki itu!" perintah Nabi kepada Umar.

Umar pun segera pergi ke sana. Umar melihat lelaki itu sedang larut dalam ibadah. Umar tidak sampai hati membunuhnya. Akhirnya ia pun kembali menghadap Nabi.

"Wahai Nabi, yang aku lihat adalah lelaki yang sedang shalat dengan sangat khusyuk. Aku tidak tega membunuhnya," ujar Umar.

Nabi akhirnya menyuruh Ali untuk membunuhnya.

Ali segera pergi ke sana, tetapi ia tidak menemukan lelaki itu. Ali kembali menghadap Nabi, lalu memberitahukan hal itu kepada beliau.

Nabi  berkata,  "Orang  itu  dan  kawan-kawannya membawa  Al-Qur'an  hanya sampai tenggorokan. Mereka telah keluar dari agama bagai anak panah melesat dari busurnya. Bunuhlah mereka! Karena mereka adalah seburuk-buruk makhluk di muka bumi." (Shahih Muslim).

Ketika mendapatkan pinangan, engkau juga  bisa  memperhatikan tanda-tanda membekasnya agama pada diri calon suami berkait dengan kewajiban-kewajibannya terhadapmu kelak.

Ketika seseorang bertanya kepada Rasulullah tentang hak istri, beliau bersabda:

"Memberikan makanan kepadanya apabila engkau makan, memberikan pakaian apabila engkau berpakaian, jangan memukul wajah, jangan mengatakan wajah engkau buruk, dan jangan menghukum (tidak menanyainya) kecuali di dalam rumah, yakni jangan memindahkannya ke rumah lain kemudian tidak ditanyainya di dalam rumah tersebut." (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Hibban, dan dishahihkan oleh Al- Hakim).

Penjelasan Al-Fakhrurrazi mengenai fazhzhan dan ghalizhal-qalbi ketika menjelaskan surat 'Ali Imran ayat 159-160, menarik untuk kita simak. Asbabun nuzul (sebab turunnya) ayat ini sebenarnya sama dengan ayat-ayat sebelumnya surat ini, yaitu berkenaan dengan perang Uhud. Tetapi, kali ini kita akan mengambil pelajaran dari  Al-Fakhrurrazi  mengenai  fazhzhan  dan  ghalizhal-qalbi  untuk  mengetahui


keberagamaan   calon   suami,   orang   yang   akan   memimpinmu   jika   engkau menerimanya.

Kata Al-Fakhurrazi, "Kalau kita belum paham perbedaan antara fazhzhan dan ghalizhal-qalbi, perhatikanlah contoh ini. Mungkin ada orang yang akhlaknya tidak jelek. Tidak pernah mengganggu orang lain. Lidahnya tidak pernah menyakiti orang lain. Hanya saja, dalam hatinya tidak pernah ada rasa kasihan kepada orang lain. Orang ini tidak kasar, namun dalam hatinya tidak ada rasa kasih-sayang. Ia tidak fazhzhan, tetapi ghalizhal qalbi. Kedua sifat ini tidak boleh menempel pada diri seorang pemimpin. Dia tidak boleh berperilaku yang menganggu orang lain dan juga tidak boleh mempunyai hati yang keras. Karena itu, Sekiranya kamu ini bertingkahlaku kasar dan hati kamu keras, maka orang-orang itu akan lari darimu."

Seorang yang beragama, tidak bersifat fazhzhan. Juga tidak ghalizhal qalbi. Jika dua sifat ini tidak ada pada dirinya, insya-Allah dia akan memiliki akhlak yang lemah lembut. Meskipun begitu, ada perbedaan yang besar sekali antara sifat lemah lembut dengan  menampakkan  kelembutan.  Mengenai  hal  ini,  hatimu  yang  lebih  tahu. Wallahu A'lam bishawab.

Insya-Allah, engkau juga bisa melihatnya ketika meminang. Kalau ia meminangmu dalam rangka berpoligami, engkau dapat menilai alasannya dari alasannya berpoligami, sikapnya terhadap istri dan keseimbangannya antara harapan terhadapmu dan sikapnya terhadap istrinya terdahulu. Jika ia  berpoligami karena menurutnya istri terdahulu tidak memiliki akhlak yang baik sebagai istri, engkau dapat menilainya dari bagaimana ia mengungkapkan hal itu kepadamu. Sebagian di antara caranya menceritakan, merupakan tanda apakah ia akan menjaga rahasiamu ataukah menunjukkan tidak ada rasa cemburu di hatinya kalau rahasia istrinya diketahui orang lain.

Tanda-tanda keberagamaan yang bersifat akhlaqi insya-Allah lebih utama, termasuk di dalamnya sikap dan semangatnya terhadap agama. Seorang yang bersemangat dan memiliki sikap yang baik, insya-Allah lebih mudah menyerap ilmu- ilmu agama yang belum ia punyai.


Akhir-akhir ini, sebagian orang telah menyempitkan batasan agama kepada yang dianggap sefikrah saja. Atau bahkan lebih sempit lagi se-harakah atau se-halaqah. Padahal, kesamaan harakah  atau  halaqah  tidak  menandakan tingkat  kematangan dalam beragama. Ada banyak aspek yang perlu diperhatikan. Saya sempat khawatir, pola interaksi pada sebagian kelompok cenderung mengarah kepada kerahiban.



Dikutip dari buku Kado Pernikahan Untuk Istriku
Karya Muhammad Fauzil Adhim






Artikel Terkait

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes