Suatu waktu,“
demikian seorang akhwat dalam suratnya menuturkan, "(saya) bertemu dengan beberapa
akhwat yang sedih dengan godaan dari sekian ikhwan dalam sekian perjumpaan."
“Apa jawab atas masalah ini?” kata akhwat
tersebut melanjutkan,
“Ada kesamaan dalam jawaban,
bahwa ketika seorang akhwat sudah menikah,
maka insya- Allah kemungkinan
digoda lebih kecil karena si penggoda akan lebih mikir-mikir
kalau ia sudah bersuami.”
Akhwat itu kemudian melanjutkan, “Sampai-sampai,
ada yang berencana untuk memakai cincin nikah walaupun belum menikah, demi menghindari
godaan. Karena ternyata berkerudung pun masih
sering digoda. Sehingga nikah
dipandang dapat digunakan sebagai kerudung
keamanan.”
Ketika usia semakin
bertambah, orang semakin peka terhadap
dorongan untuk berumah-tangga. Pada diri manusia, memang terdapat naluri untuk mengikat persahabatan dengan lawan jenis. Dorongan
ini muncul pada diri laki-laki
maupun perempuan. Seorang wanita yang matang, mengekspresikan kebutuhannya terhadap lawan jenis sebagai teman hidup dengan cara-cara yang dewasa
dan mempersiapkan
diri baik-baik untuk menyambutnya,
jauh-jauh hari sebelumnya. Kerinduan terhadap teman hidup yang membantunya
bertakwa kepada Allah, ditunjukkan dengan usaha
yang sungguh-sungguh untuk menata
hati dan tujuan.
Sementara itu, wanita yang belum matang orientasi
hidupnya lebih banyak
menunjukkannya melalui bentuk-bentuk lahiriah. Kurang matangnya kondisi psikis,
membuat ia kurang mempercayai daya tarik psikis. Apalagi ikatan-ikatan yang lebih bersifat ideologis atau menyentuh kedalaman aqidah.
Ia akan lebih mempercayai daya tarik badaniah. Bahkan, pada taraf ini pun ia sering mengalami
keraguan, sehingga memilih kosmetik untuk membuatnya
lebih menarik. Ini di satu sisi. Di sisi lainnya,
ketika ia mulai
menginjak usia yang layak baginya
untuk menjadi istri dan ibu,
terkadang ia “harus” disibukkan oleh laki-laki yang juga sudah mulai menginjak
masanya. Sebagian laki-laki
hanya merasakan dorongan, tetapi belum memiliki
keberanian untuk sungguh-sungguh
menemaninya sebagai suami yang setia dan bertanggung jawab. Sebagian telah memiliki
niat dan keinginan untuk bersungguh- sungguh menjalin ikatan pernikahan
dengan seorang akhwat yang siap dan qanitat, tetapi masih ada kendala-kendala psikis. Masih ada keraguan, sehingga ia lebih
memilih untuk melemparkan godaan-godaan halus atau godaan-godaan yang agak
lebih terang-terangan dengan harapan bisa bersambut dengan pertanyaan serius dari
akhwat (siapa tahu?).
Sebagian ikhwan mengalami kejutan beitu mendengar
kajian tentang pentingnya menyegerakan nikah, sehingga ia menghadapi
akhwat dengan semangat meluap-luap,
apakah ia siap dikhitbah.
Sayang,
dorongan
yang
meluap-luap itu kadang tidak disertai dengan kesiapan dalam hal-hal lain, terutama dalam hal ilmu berkenaan dengan tugas kerumahtanggaan
maupun dalam memenuhi kebutuhan istri. Di antara tiga kebutuhan yang harus dipenuhi,
ada kalanya baru satu yang ia miliki, yaitu kesiapan memenuhi kebutuhan biologis. Sedang kebutuhan psikis dan kebutuhan ma’isyah (nafkah), lazimnya kurang diperhatikan. Seorang ikhwan bahkan sempat mengemukakan pendapatnya, bahwa orangtua mestinya membiasakan
diri menumbuhkan budaya yang memungkinkan
anak laki-lakinya segera menikah dengan jalan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang akan terbentuk
itu. Padahal kewajiban memenuhi
kebutuhan ekonomi ada pada suami,
bukan
pada
orangtua
suami.
Sebagian ikhwan telah menyiapkan bekal
secara
sungguh-sungguh sehingga betul-betul bisa menjadi pendamping istri
yang insya-Allah diridhai Allah. Pada diri
mereka barangkali masih banyak kekurangan, meskipun demikian
mereka dengan serius berikhtiar untuk memperbaiki
diri dalam hal kesiapannya memenuhi tiga kebutuhan istrinya maupun
dalam hal kesiapan
memikul
tanggungjawab sebagai ayah, anak, dan menantu.
Kemampuannya mencukupi ma’isyah barangkali belum memadai, walaupun
begitu
mereka
memiliki
kesungguhan untuk memenuhinya sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Yang demikian ini, insya-Allah
lebih siap untuk mengemban tanggungjawab besar di
balik mitsaqan-ghalizha. Mudah-mudahan Allah ‘Azza wa Jalla memberikan pertolongan kepada mereka.
Allahumma amin.
Situasi psikis yang berbeda-beda,
juga jenjang kedewasaan yang tak sama,
melahirkan sikap yang beragam dalam menghadapi dorongan untuk mencari teman hidup. Ada yang berkeinginan sekedar untuk melegitimasi keinginan bersebadan dengan lawan jenis, tanpa harus jatuh ke dalam dosa. Tetapi, mereka menghendaki
untuk tidak tinggal satu rumah. Sebagian
berkeinginan kuat untuk terikat
secara resmi
melalui pernikahan yang sah di hadapan agama, negara, dan dalam pandangan masyarakat, walaupun
kondisi yang mereka
hadapi tidak jauh berbeda
dengan yang pertama. Mereka memilih ini karena di dalamnya ada kemaslahatan yang lebih besar dan kedudukan wanita lebih mulia, karena agama menghendaki suami yang memuliakan istrinya
dengan seutama-utama
kemuliaan yang mampu ia berikan.
Keutamaan ini terutama berkait dengan sikap dan perlakuan. Di sini, ada mujahadah. Ada perjuangan besar yang insya-Allah mulia di hadapan
Allah dan mempesona di hati
istri. Kelak, insya-Allah kita akan merasakan keindahannya, di dunia maupun di akhirat.
Ada banyak mujahadah (perjuangan) pada masa-masa ini. Perjuangan untuk menyiapkan sekaligus menambah bekal dalam mendampingi suami dan menyusui
anak dengan tenang di tengah malam. Perjuangan
untuk menegakkan prasangka
yang baik (husnuzhan) kepada Allah. Pasti Ia menolong,
sebagaimana Ia mempertemukan Zulaikha sebagai istri Yusuf a.s. setelah bertahun-tahun Zulaikha
berdoa karena tidak kuat
menahan sakitnya merindukan
Yusuf yang dicintainya. Perjuangan untuk tetap
menjadi muslimah yang
memiliki komitmen
terhadap agamanya. Dan juga, perjuangan untuk tetap mempertahankan busana muslimah
beserta identitas keislamannya
ketika dilanda keraguan, sedang pada saat yang sama mereka yang
menanggalkan hijab juga mengalami
masalah yang sama.
Apakah engkau mengira mereka yang berlepas
diri, yang bergandengan tangan dengan pemuda
yang ia inginkan, tidak
mengalami ketidakpastian? Tidak. Sama sekali tidak. Insya-Allah
engkau lebih tenang. Ketika saya sedang mengerjakan buku
ini, saya
menerima berbagai surat. Salah
satunya “mengeluhkan” masalah
ini.
Seorang cewek mempunyai teman laki-laki. Selama ini keinginannya tak “terlalu jauh”. Akan tetapi suatu ketika, teman laki-laki itu menginginkan hubungan suami- istri. Cewek itu menangis terus. Ia bingung
(ada saran?).
Zaman memang telah berubah.
Gadis-gadis sekarang semakin lambat dewasa. Padahal mereka mengalami menstruasi (haid) pada usia yang lebih dini dibandingkan dengan wanita-wanita sebelum mereka. Para lelaki juga tidak banyak dipersiapkan
oleh keluarganya
ataupun
mempersiapkan dirinya sendiri
untuk
menjadi
dewasa
secara penuh ketika mereka telah
melewati
usia
20
tahun.
Padahal, mereka mengalami mimpi indah (ihtilam)
pada masa yang lebih awal dibandingkan dengan generasi orangtua
mereka.
Sementara
ihtilam seharusnya --begitu kalau kita menengok fiqih-- menjadi pertanda datangnya
masa ‘aqil-baligh (akalnya sampai,
kedewasaan intelektual). Segera sesudah mengalami
ihtilam (mimpi indah), mereka
seharusnya sudah siap untuk memikul taklif (pembebanan tanggung-jawab). Salah satunya, membiayai hidupnya sendiri dan anak orang lain (jika sudah menikah) bagi laki-laki, selambat-lambatnya pada usia 18 tahun.
Berbagai informasi
yang diberikan melalui media massa, penataran, serta iklim yang tumbuh dalam keluarga, juga banyak yang tidak mendorong
mereka untuk siap mencapai kedewasaan dalam arti yang utuh ketika mereka telah mencapai kemasakan seksual
(sexual
maturation). Akibatnya,
kedewasaan sekaligus tanggungjawab mereka terlambat beberapa
tahun dibanding kemasakan seksualnya. Apalagi banyak di antara mereka yang tidak mempunyai
bekal ilmu, orientasi, dan misi yang kuat sebelum mereka mengalami kemasakan
seksual. Keadaan ini, acapkali, menimbulkan reaksi-reaksi impulsif terhadap
lawan jenis. Ini menimbulkan
beban psikis, meskipun banyak di antara
mereka yang tidak menyadari apa yang terjadi
pada dirinya.
Media massa juga kerap menyampaikan informasi yang timpang, searah, tidak adil, dan kadang bahkan
menyesatkan. Media
massa menjadikan informasinya sebagai alat eksploitasi
bagi satu kepentingan tertentu
(maaf, saya menggunakan kata “tertentu”) terhadap pembacanya yang berada
pada masa rawan ini. Alasan psikologis
dan medis
sering
digunakan, meskipun
tidak sungguh-sungguh memiliki pijakan
ilmiah, sehingga para gadis dan pemuda berada dalam situasi ketakutan ketika
akan melangkah ke pernikahan yang tergolong dini tanpa tahu bagaimana mesti menyikapinya. Variabel
pengaruh
seolah-olah
hanya
terletak
pada
faktor
usia,
padahal usia tidak bisa
mengindikasikan
tingkat kedewasaan dan
tanggungjawab seseorang. Banyak yang sudah hampir jadi sarjana, usia sudah menginjak 25 tahun, tetapi pola pikirnya
masih sama dengan pola pikir
anak SMA.
Saya sering tidak paham (mungkin karena
saya tidak tergolong orang jenius) dengan apa yang berlangsung di sekeliling. Menikah usia muda
dikecam dalam berbagai kesempatan (bahkan melalui jalur ilmiah), akan tetapi kondom dijual bebas dengan harga murah. Sementara itu, ekspos sumber-sumber rangsang seksual pun
dibiarkan meningkat, terutama
melalui TV dan tabloid-tabloid.
Kampanye anti pelecehan digelar
habis-habisan, namun demikian pada saat yang sama wanita dipakai sebagai alat untuk menarik
perhatian di berbagai kesempatan resmi. Ironisnya, kadang-kadang malah dilakukan oleh mereka yang menyerukan sikap anti-pelecehan
terhadap wanita.
Melalui engineering
of consent (rekayasa persetujuan) diciptakan image (citra) -- sekaligus rasa takut-- bahwa menikah muda hanya dilakukan
oleh
mereka yang tidak memiliki intelektualitas tinggi. Menikah muda adalah
tindakan orang yang berpendidikan
rendah. Sehingga mereka tidak
memiliki
kesiapan
yang
memadai
(coba, apa ukurannya sehingga disebut memadai) untuk menjadi istri dan ibu.
Sementara itu, pada
saat
yang
sama,
sekolah dan perguruan tinggi tidak pernah
menyiapkan mereka untuk mengerti
dan mencintai tanggungjawab sebagai istri dan ibu.
Ironisnya, berlawanan dengan pernyataan sebelumnya, berkembang citra “untuk apa berpendidikan tinggi-tinggi sampai jenjang perguruan
tinggi kalau hanya untuk
mendidik anak?” Alhasil, mereka menjumpai suami, anak, dan rumahtangganya sebagai “hanya”.
“Hanya” bangunan
yang disebut rumah. “Hanya”....
Jadi, ada yang perlu kita cermati dengan kecerdasan tinggi. Ada yang perlu kita
pikirkan di sini.
Sekarang pinangan telah datang. Jawaban atas pinangan
itu sedang dinantikan. Maka pertimbangkanlah matang-matang, dengan melihat berbagai
kondisi yang ada di sekeliling,
serta kondisi yang ada di dalam keluarga dan diri sendiri. Ayah perlu
memikirkan
kemaslahatan anak gadisnya, sebelum
mengambil keputusan. Engkau pun perlu mempertimbangkan
pinangan itu. Catatan bagi Ayah
Rasulullah pernah bersabda, “Pukullah anak-anak
karena meninggalkan sholat pada usia tujuh tahun, pisahkan
tempat tidurnya pada usia sembilan tahun, dan
kawinkanlah pada usia 17 tahun jika memungkinkan. Apabila perkawinan
dilakukan, maka suruhlah si anak duduk di hadapan bapaknya, kemudian
katakanlah, ‘Mudah- mudahan Allah tidak menjadikan kamu dalam fitnah di dunia, tidak
pula di akhirat’.”
Anak gadis sudah memungkinkan
untuk dinikahkan kalau ia dipersiapkan untuk
memasuki masa dewasa sejak awal. Seorang
gadis bahkan dapat memiliki kesiapan
dan kedewasaan lebih dini dibanding
anak laki-laki. Wanita memang cenderung lebih cepat matang dibanding laki-laki.
Dari Anas r.a., Rasulullah al-ma’shum bersabda, “Barangsiapa mempunyai anak perempuan
yang telah mencapai usia dua belas tahun, lalu ia tidak segera mengawinkannya, kemudian anak perempuan tersebut melakukan
suatu perbuatan dosa, maka dosanya
ditanggung oleh dia (ayahnya).” (HR. Baihaqi).
Pebuatan dosa.
Perbuatan dosa apakah yang
menyebabkan ayah ikut
menanggung dosanya? Wallahua’lam bishawab. Jika
kita perhatikan, insya-Allah kita akan mendapat pengetahuan bahwa perbuatan dosa yang seorang ayah ikut menanggung dosanya bila tidak segera mengawinkan anak perempuannya adalah dosa-dosa yang berkait dengan dorongan
gharizah
(naluri) untuk berdekat-dekat dengan lawan jenis. Pada usia-usia yang rawan ini, gejolak mudah membakar dada. Akan tetapi, apakah ia sudah memungkinkan
untuk dikawinkan?
Saya tidak bisa menjawab. Anda yang lebih tahu siapa anak Anda. Anda yang
lebih tahu bagaimana Anda mempersiapkan anak Anda memasuki masa ‘aqil-baligh.
Apakah persiapan yang Anda berikan melalui pendidikan
semenjak kecil telah mengantarkannya
menjadi wanita yang betul-betul
mencapai ‘aqil-baligh, taklif (dewasa dan bertanggungjawab)
dan sekaligus telah memiliki keterampilan untuk
menasharufkan harta (manajemen anggaran)
di rumah?
Sekarang
ia sudah memasuki masa taklif.
Jika ia belum terampil, insya-Allah kelak akan memiliki keterampilan yang diperlukan. Sedang saat ini, yang diharapkan
adalah kepekaan ayah untuk cepat tanggap terhadap apa yang dirasakan oleh anak
gadisnya.
Ketika seorang laki-laki datang meminang, ada
beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan oleh seorang
ayah.
Memperhatikan Agama
Pernah, ada orang bertanya kepada Al-Hasan r.a. mengenai calon suami putrinya.
Kemudian Al-Hasan r.a. menjawab, “Kamu harus memilih calon suami (putrimu)
yang taat beragama. Sebab, jika dia mencintai putrimu,
dia akan memuliakannya. Dan jika dia kurang
menyukai (memarahinya), dia tidak akan menghinakannya.”
Dalam sebuah hadis yang sangat terkenal, Rasulullah bersabda:
“Jika datang kepada kalian (hai calon mertua)
orang yang kalian sukai (ketaatan) agamanya dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia (dengan
putrimu). Sebab, jika kamu sekalian tidak melakukannya, akan lahir fitnah (bencana) dan akan
berkembang kehancuran yang besar di muka bumi.”
Kemudian ada yang bertanya,
“Wahai Rasulullah, bagaimana jika orang (pemuda)
itu mempunyai (cacat atau kekurangan-kekurangan)?”
Maka, Rasulullah
Saw. menjawab, (mengulangnya tiga kali)
“Jika datang kepada kalian orang yang bagus agama dan akhlaknya,
maka nikahkanlah dia (dengan putrimu)!” (HR Imam Tirmidzi dari Abu Hatim Al-
Mazni).
Pada hadis ini --sampai-sampai
Rasulullah Saw. mengulang jawaban tiga kali-- seorang ayah diperingatkan agar memperhatikan orang yang beragama dan berakhlak
bagus. Akhlak yang bagus adalah sebagian tanda-tanda
bagusnya agama seseorang.
Tanda ini
lebih
kuat
daripada
tanda
lainnya, misal
pengetahuan agama dan lingkungan. Dua hal yang disebut
terakhir
ini menjadi pertimbangan
pendukung mengenai agama dan akhlak orang yang berniat menjadi
suami putri Anda.
Seorang ayah bisa mencari pengetahuan mengenai laki-laki yang meminang anak
gadisnya dengan seksama sebelum mengambil
keputusan. Antara lain, ia dapat menanyai orang yang dekat dengan calon menantunya.
Ia juga bisa menanyakan kepada orang-orang yang dapat dipercaya (tsiqah).
Sebelum membicarakan masalah lain, marilah kita renungkan peringatan Rasulullah Saw. Beliau bersabda,
“Barangsiapa yang menikahkan (putrinya) karena silau
akan kekayaan laki-laki
itu meskipun buruk agama dan akhlaknya, maka tidak pernah pernikahan
itu akan dibarakahi-Nya.”
Meminta Izin Anak
Pernikahan berkaitan
langsung dengan
perasaan anak gadis yang insya-Allah akan mendampingi suaminya seumur
hidup. Dialah nanti yang
akan
merasakan manis-indahnya pernikahan ataupun
pahit-getirnya perpisahan, kalau ternyata cinta tak
bisa tumbuh juga. Oleh karena itu, seorang ayah perlu meminta izin kepada anak
gadisnya sebelum menikahkan. Islam menolak pemaksaan orangtua atas anak gadis
agar mau
menikah
dengan
laki-laki
pilihan orangtua, sedang ia sendiri tidak menyukai. Pemaksaan dapat menjerumuskan anak kepada dosa besar. Minimal dosa
karena tidak taat pada suami, termasuk dalam melayani keinginan
suami di tempat tidur, karena tidak ada kehangatan cinta di hatinya. Padahal, penolakan istri untuk
melakukan hubungan intim termasuk perkara
yang sangat dilaknat oleh agama.
Dari Ibnu Abbas, bahwa ada seorang hamba sahaya yang masih gadis datang
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, kemudian dia melaporkan
bahwa dia dikawinkan oleh ayahnya,
padahal
dia
tidak
suka
terhadap
laki-laki
pilihan ayahnya itu. Lalu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memberikan
pilihan terhadapnya. Demikian hadis
shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud,
Ibnu Majah dan Adz-Dzaruquthni.
Dan dari ‘Aisyah,
bahwa ada seorang remaja putri dikawinkan
dengan seorang laki-laki kemudian dia berkata,
“Sesungguhnya ayah telah mengawinkanku
dengan anak saudaranya agar kehinaannya
dapat terangkat karena aku. Sedangkan aku tidak menyukainya.”
Kemudian ‘Aisyah
berkata,
“Duduklah”, sehingga Ra-sulullah shallallahu
‘alaihi
wa sallam datang. Lalu aku mengabarkannya. Kemudian Rasulullah mengutus
seseorang kepada ayahnya
untuk mengundangnya ke rumah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah menyerahkan perkara itu terhadap sang gadis
tersebut. Lalu gadis itu berkata,
“Ya Rasulullah, sebenarnya aku telah rela terhadap
apa yang telah diperbuat ayahku terhadapku, akan tetapi aku berkeinginan untuk memberitahukan kepada
wanita-wanita tentang sesuatu dalam masalah ini.” (HR An-Nasa’i).
Maka, sebelum memberi jawaban kepada peminang,
tanyakanlah kepada anak gadis Anda. Rasulullah Saw. bersabda, “Tidaklah
seorang janda
dikawinkan,
sehingga dia dimintai persetujuannya dan tidak pula seorang gadis hingga
dia
dimintai persetujuannya.”
Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimanakah persetujuannya?” Rasulullah menjawab, “Persetujuannya adalah
pada
saat
dia
diam.”
(HR Bukhari
dan Muslim).
Al-Bukhari
dan Muslim juga pernah meriwayatkan dari ‘Aisyah, dia berkata, “Ya Rasulullah, apakah wanita-wanita harus dimintai
persetujuannya jika mereka akan
dikawinkan?”
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya”.
Aku bertanya lagi, “Sesungguhnya seorang gadis jika dimintai persetujuannya, kemudian dia diam,
karena malu?” Rasulullah bersabda:
“Diamnya itu adalah
persetujuannya.” (HR Bukhari
dan Muslim).
Syaikh Yusuf Qardhawi mengingatkan, seorang gadis kadang-kadang merasa
malu
untuk menjelaskan tentang persetujuannya itu dan dia juga malu untuk menampakkan bahwa dia sudah
berkeinginan untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan diamnya itu menunjukkan
kebersihannya dari segala penyakit
yang dapat mencegahnya dari hubungan seksual, atau adanya sebab lain yang tidak baik untuk melangsungkan
pernikahan dengan laki-laki itu, di mana sebab-sebab itu tidak ada seorang pun yang mengetahuinya, kecuali dia
sendiri. Wallahu A’lam. Demikian kutipan saya dari Ruang Lingkup
Aktifitas Wanita Muslimah (Al-Kautsar, 1996).
Selain meminta izinnya, berikanlah
kesempatan kepadanya untuk mengetahui siapa calon suaminya,
terutama jika calon suami itu pilihan Anda sedang anak gadis Anda belum mengenalnya. Biarkanlah anak gadis
Anda untuk menilai sendiri
calon suaminya, apakah
ia menyukai atau tidak. Anda bisa
memberikan informasi, memberi
keterangan seperlunya tentang si calon. Tetapi sebaiknya
tidak banyak mempersuasi
(membujuk) dengan menampakkan
yang baik-baik saja. Sebab persuasi
dapat menimbulkan harapan-harapan yang akan ia peroleh ketika akad nikah telah dilak-
sanakan. Sehingga bisa jadi ia mengalami
kekecewaan justru karena terlalu tingginya harapan yang muncul lantaran persuasi Anda. Padahal, pada mulanya ia tak banyak mengharapkan hal-hal yang tidak mendasar.
Sebagian gadis menikah dengan
orang yang belum pernah dikenalnya sama sekali dan baru melihat laki-laki yang menikahinya ketika akad nikah telah selesai,
yaitu saat pertama kali memasuki kamar pengantin.
Mereka ridha dengan suaminya.
Tetapi ini tidak berlaku
umum. Sehingga Anda tidak bisa mengambilnya
sebagai hukum yang Anda terapkan begitu saja kepada anak gadis Anda. Anda perlu bersikap
tengah-tengah dan memahami kebutuhan
anak gadis Anda, kecuali jika dia telah ridha
dengan pilihan Anda tanpa mensyaratkan apa pun mengenai
laki-laki yang akan
menjadi suaminya.
Seorang gadis yang tidak diberi kesempatan
untuk mengetahui dan mempertimbangkan calon suaminya, berhak untuk memutuskan hubungan
perkawinan apabila ia tidak rela terhadap suami pilihan ayahnya. Kesempatan mengetahui ini meliputi hal-hal
yang berkenaan dengan segi lahiriah maupun
segi- segi yang lebih bersifat psikis
dan agama dari si
calon suami.
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (QS Al-Baqarah: 229).
Kasus gagalnya perkawinan karena istri belum
mengetahui
calon suaminya
pernah terjadi di masa Rasulullah. Ketika menikah, Hadiqah tidak pernah bertemu
dengan Tsabit bin Qais kecuali pada malam pengantin
mereka. Sang istri sangat terkejut dengan
suami
yang
dijumpainya pada malam
pengantin
itu
dan
secara
spontan timbul keinginan untuk berpisah.
Hadiqah berkata
kepada Rasulullah, “Tampaklah apa yang tidak
saya ketahui pada malam pengantin kami. Saya pernah melihat beberapa orang laki-laki, namun
suami saya adalah laki-laki
yang paling hitam kulitnya, pendek tubuhnya,
dan paling jelek wajahnya. Tidak ada satu kebagusan
pun yang saya temui pada dirinya.
Saya tidak mengingkari kebagusan akhlaknya
dan agamanya, ya... Rasulullah, tetapi saya takut
menjadi kafir jika tak bercerai darinya. Saya takut jika terus-menerus
maksiat padanya karena
ketidaktaatan saya pada suami, dan
saya
tahu itu menyalahi perintah
Allah Swt.”
Rasulullah Saw. memanggil Tsabit dan berkata
kepadanya, “Temui istrimu, Hadiqah dan ceraikan ia sebagaimana layaknya, biarkan mahar itu
menjadi haknya.”
Kisah Hadiqah dan Tsabit bin Qais ini juga disampaikan
oleh Imam Bukhari dalam shahihnya.
Sesungguhnya, kata Ibnu Abbas, istri Tsabit bin Qais telah menghadap kepada Nabi Saw. Ia berkata,
“Ya Rasulullah, saya tidak mencela akhlak dan agamanya,
tetapi saya tidak mau kufur dalam Islam." Maka Rasulullah Saw. bersabda, “Maukah Anda mengembalikan kebun-kebunnya?” Ia menjawab, “Ya.”
Maka Rasulullah Saw. bersabda (kepada Tsabit), “Terimalah
kebun itu, dan talaklah istrimu itu satu
kali.”
Ada hadis lain yang meriwayatkan kisah Tsabit bin Qais ini. “Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya
r.a. dalam riwayat Ibnu Majah; Sesungguhnya Tsabit bin Qais
itu adalah orang yang buruk rupa dan bentuknya,
dan istrinya berkata, “Kalau saya
tidak takut pada Allah,
tentu saya ludahi muka suami saya itu apabila mendatangi saya”. Dan dalam riwayat Ahmad dari hadis Sahal
bin Abi Hasmah,
“Dan kejadian itu adalah permulaan khulu’ dalam Islam."
Khulu’ merupakan
hak istri untuk meminta cerai karena sebab tertentu yang kuat.
Jadi, sebelum menikahkan anak gadis Anda dengan laki-laki yang meminangnya, tanyakan dulu apakah ia setuju atau tidak. Berikan kesempatan padanya untuk mengetahui calon suaminya agar lebih dapat mengekalkan hubungan kalau ia ternyata
rela dan menyukai. Ada pun kalau ia tidak menyukai,
ini lebih baik daripada
terlanjur menikah. Kalau sudah terlanjur, silaturrahmi bisa rusak.
Meminta Pertimbangan Istri
“Berkonsultasilah terhadap wanita-wanita dalam masalah
anak-anak
perempuan,” kata Rasulullah Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Abu Daud. Dalam hadis ini terdapat rawi yang majhul, tetapi banyak
hadis yang maknanya senada dengan
hadis ini. Begitu Syaikh
Yusuf Qardhawi memberi keterangan.
Al-Imam Abu Sulaiman Al-Khaththabi memberikan beberapa catatan penting dalam menyampaikan kesimpulan mengenai
hadis-hadis tersebut.
Beliau mengatakan, “Berkonsultasilah dengan kaum ibu dalam masalah
perkawinan anak-anak perempuan mereka, bukan berarti bahwa mereka mempunyai
wewenang terhadap akad nikah tersebut.
Akan tetapi dipandang
dari segi kebaikan
dan perbaikan terhadap diri mereka dan dalam segi menggauli
mereka dengan baik. Dan
karena upaya itu lebih dapat mengekalkan persahabatan dan akan dapat
menimbulkan rasa cinta kasih
di antara anak-anak gadis mereka dengan
sang suami.
Hal ini dapat terjadi jika akad nikah itu atas dasar kerelaan dari
ibu-ibu mereka dan sesuai dengan keinginan mereka. Dan jika akad pernikahan
itu di luar kerelaan ibu-ibu mereka, maka bisa jadi ibu-ibu mereka merongrong suami mereka. Dia juga akan
menimbulkan kerusakan terhadap
hati anak gadisnya. Sedangkan anak-anak perempuan, biasanya lebih cenderung
terhadap ibu-ibu mereka dan akan lebih
menerima perkataan yang datangnya dari ibu-ibu mereka.
Pernikahan itu sangat sensitif.
Apa saja yang ada dalam proses
menuju pernikahan maupun
fase-fase awal pernikahan, mudah membangkitkan perasaan
yang kuat, negatif maupun positif.---
Dengan adanya permasalahan yang seperti ini, maka berkonsultasi dengan sang ibu adalah sunnah
hukumnya dalam masalah akad pernikahan anaknya.
Wallahu A’lam.”
Beliau juga pernah berkata,
“Dan terkadang juga hal itu menjadi penting oleh
karena adanya alasan-alasan tertentu, selain apa yang telah kita sebutkan di atas. Dan
hal itu karena mungkin
seorang wanita lebih mengetahui tentang masalah- masalah khusus yang terdapat
pada diri anak-anak
perempuan, atau juga dapat mengetahui tentang kejadian-kejadian
yang rahasia, di mana (kalau) anak
perempuannya itu melangsungkan
pernikahan dengan orang tersebut, maka hal itu tidak
akan berlangsung lama atau tidak akan memberikan
kebaikan. Sedang alasan- alasan itu berada pada ibunya tersebut. Dan adanya penyakit dapat menggagalkan terlaksananya hak-hak pernikahan. Pendapat ini adalah sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Jangan
kamu kawinkan seorang gadis, kecuali
dengan seizinnya. Sedangkan persetujuannya adalah diamnya.”
Ketika bertemu Musa a.s., Syafura
sangat terkesan oleh sikap dan perilakunya. Ia tidak menunjukkan perasaannya kepada Musa
a.s. karena
rasa malu yang besar. Tetapi ia menceritakan kepada ayahnya, Nabiyullah Syu’aib a.s. Kelak, Nabi Syu’aib
menikahkan putrinya dengan
Musa a.s. yang di kemudian
hari juga menjadi
Nabi.
Putri Anda barangkali juga mempunyai
perasaan-perasaan serupa.
Ada seseorang yang memiliki tempat khusus di hatinya.
Ada laki-laki yang begitu berarti baginya, meskipun ia tidak menunjukkan
gelagat di hadapan
Anda maupun di hadapan laki- laki yang telah
memunculkan kesan membekas
dalam
jiwanya.
Ada
halangan kejiwaan yang membuatnya
tidak berani menceritakan kepada Anda. Meski masih
ada rasa malu, kadang-kadang ia berani terbuka pada ibunya atau neneknya tentang
rahasia-rahasia yang ia simpan rapat-rapat. Ia berani mengungkapkan bahwa hatinya telah terpaut dengan seorang laki-laki, yang barangkali berbeda
dengan laki-laki yang sempat dipikirkan ayahnya
untuk dijodohkan dengannya.
Dan jika laki-laki yang disukainya
itu datang untuk mengawini
anak perempuan itu,
kata Syaikh Yusuf Qardhawi, maka orang itulah yang akan didahulukan
dan diterima pinangannya. Sebagaimana yang diisyaratkan
di dalam sebuah hadis shahih:
Belum pernah terlihat bagi dua orang yang bercinta
seperti pernikahan.
Kuatnya ikatan perasaan
antara dua hati, dapat kita baca pada kisah pernikahan
Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. dengan Atikah binti Amr bin Nufail. Abu Bakar pernah mengkhawatirkan anaknya
sehingga khawatir
kalau perasaan
anaknya yang begitu kuat terhadap istrinya,
Atikah, akan mengalahkan pikiran dan agamanya. Ia kemudian menyuruh Abdurrahman
untuk menceraikan Atikah, tetapi Abdurrahman tidak sanggup melakukan. Abu Bakar terus mendesak, sampai akhirnya Abdurrahman tidak mampu menghadapi perintah ayahnya.
Tetapi perceraian tidak pernah bisa melemahkan ikatan perasaan dua orang yang diliputi kerinduan. Perpisahan tidak mematikan perasaan Zulaikha kepada Yusuf dan tetap menantikan
perjumpaan dengan Yusuf, meskipun kecantikannya telah banyak dimakan usia.
Perceraian Abdurrahman juga demikian. Ia tidak bisa melupakan kelembutan dan ketinggian akhlak Atikah. Ia mengadukan cekaman perasaannya kepada Allah dengan
bersyair:
“Demi Allah tidaklah aku melupakanmu
Walau matahari kan terbit meninggi
“Dan tidaklah terurai
air mata merpati
itu kecuali berbagi hati
“Tidak pernah kudapatkan orang sepertiku
mentalak orang seperti dia,
Dan tidaklah orang seperti dia
Ditalak karena dosanya
"Dia berakhlak mulia, beragama
dan bernabikan Muhammad, Berbudi pekerti
tinggi
bersifat
pemalu dan halus tutur katanya
Perpisahan
tidak melemahkan ikatan perasaan. Ia justru semakin kuat dengan disirami air mata. Melihat rintihan
tangis anaknya, Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak tega hatinya. Kepada anaknya ia mengatakan, "Wahai anakku, rujuklah engkau kepadanya kalau memang engkau
tidak dapat melupakannya."
Maka, rujuklah Abdurrahman
kepada Atikah, istri yang sangat dicintainya.
Mereka hidup dalam rumah tangga yang penuh dengan kebahagiaan hingga Abdurrahman mencapai syahid pada perang Tha'if. Konon, ketika mendengar
kabar syahidnya Abdurrahman, Atikah sangat sedih disebabkan dalamnya
rasa cinta kepada
Abdurrahman. Tetapi kecintaannya terhadap Abdurrahman, tidak menghalanginya untuk melepas Abdurrahman pergi berjihad.
Inilah ketinggian Atikah. Wallahu A'lam bishawab.
Ikatan perasaan demikian kuat. Anak gadis Anda barangkali telah terpaut hatinya kepada seseorang yang ia rela terhadapnya.
Ia berharap dapat menemani hidupnya sebagai istri shalihah,
sekalipun ia belum
pernah
bertegur
sapa. Ia mempunyai perasaan itu, mempunyai
cita-cita tentang rumah tangga yang akan dibangunnya.
Sekali saat, barangkali ia menceritakan
isi hatinya kepada neneknya, kepada ibunya saat ia menemukan kesempatan untuk berbicara dari hati ke hati, kepada saudara perempuan yang lebih tua, atau kepada bibinya. Seringkali, seorang gadis mempercayakan rahasia hatinya kepada mereka. Karena itu, bertanyalah kepada mereka agar keputusan Anda lebih dekat
kepada maslahat dan jauh dari madharat dan
mafsadah
(kerusakan).
Musyawarah
Banyak hadis yang menunjukkan keutamaan musyawarah.
Al-Qur'an juga memberi perhatian kepada pentingnya musyawarah.
Allah Swt berfirman, "Dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah." (QS Ali Imran: 159).
Ada musyawarah. Kemudian,
ada tawakal yang mengikuti. Yang disebut
terakhir ini seringkali tertinggal, tidak mengikuti hasil musyawarah.
Tak mudah memang. Karena itu, silakan Anda mencari sendiri
pembahasan mengenai tawakal
ini.
Ada syarat-syarat musyawarah. Musyawarah dengan orang yang memenuhi syarat, dapat memberi manfaat dan lebih dekat dengan maslahat dan
keselamatan akhirat, bahkan keselamatan dunia. Tetapi musyawarah
dengan orang yang tidak memenuhi syarat, justru
lebih dekat kepada
madharat dan mafsadat. Imam Abu
'Abdillah mengingatkan, musyawarah dengan
orang yang tidak
memenuhi syarat
lebih besar bahayanya dibanding
manfaatnya.
Pembahasan lebih lanjut tentang musyawarah, silakan Anda cari di buku lain.
Saya kira, cukuplah pembahasan saya tentang
musyawarah. Semoga bermanfaat.
Catatan bagi Wanita yang Dipinang
"Suatu hari yang lain," begitu cerita seorang akhwat dalam suratnya, "Allah mempertemukan saya dengan seorang akhwat yang sedih dengan setumpuk
masalahnya. Dengan sedih ia berkata,
'Alangkah enaknya kalau saat ini ada
suami...'
Mengapa? Dan bagaimana suami dapat meringankan kesedihannya?"
"Mengapa suami? Karena adanya keyakinan
bahwa suami dapat membimbing untuk mencintai
Allah. Dan karena pendekatan suami lebih dari hati ke hati, dengan kasih sayang, maka lebih menyentuh untuk dilakoni.”
"Masalahnya, bagaimana kriteria
suami yang seperti itu?”
Saya kadang-kadang menerima pertanyaan tentang bagaimana memilih suami
yang baik, suami yang dapat membimbing istri dalam menjalani
kehidupan bersama sebagai satu keluarga yang saling
mencintai.
Pada
suatu seminar, pertanyaan mengenai ini berkembang ke arah yang lebih mendasar lagi. Pertanyaan itu dikaitkan dengan janji Allah bahwa wanita yang baik adalah bagi laki-laki yang baik
dan begitu pula sebaliknya.
Allah Swt berfirman:
"Dan perempuan-perempuan yang
keji
adalah
diperuntukkan bagi laki-laki yang keji, dan laki-laki
yang keji juga diperuntukkan
bagi perempuan yang keji,
sedangkan perempuan-perempuan yang baik diperuntukkan bagi laki-laki yang baik dan
laki-laki yang baik juga diperuntukkan
bagi perempuan-perempuan yang baik..." (QS An-Nur:26).
Pembahasan
tentang ini memerlukan ruang yang khusus. Pada kesempatan ini insya-Allah saya membahas sedikit saja sejauh yang saya mampu. Dan sesungguhnya, pengetahuan yang haq hanya di sisi Allah. Wallahul Musta'an.
Sekarang, ketika pinangan telah datang,
apa
yang
perlu
engkau
perhatikan
sebagai bahan pertimbangan.
Agama Calon Suami
Baik laki-laki maupun
perempuan,
diperingatkan agar memilih pendamping hidup atas dasar agama calonnya.
Sebagian orang menempatkan peringatan ini dalam
derajat yang paling ringan. Asal seagama, dianggap telah memenuhi ketentuan
untuk memilih berdasarkan agama calonnya. Sebagian orang bertanya, "Kenapa agama?"
"Kadang-kadang, orang yang agamanya baik memperlakukan istri dengan cara yang
buruk. Sikapnya kepada orang lain juga tidak menyenangkan. Padahal,
ia rajin ke masjid, shalat, puasa, dan banyak mengikuti
kegiatan-kegiatan keagamaan. Tetapi, mereka tidak
memperlakukan istri dan anak-anaknya dengan baik."
"Sebaliknya, orang-orang yang tidak begitu mengenal agama, sikapnya kepada istri justru sangat baik. Perhatiannya kepada istri, besar sekali. Kadang mereka malah bisa
menjadi sahabat yang enak diajak bicara
oleh
istri dan anak-anaknya."
Pertanyaannya, apakah yang dimaksud dengan beragama? Apakah mereka yang
lebih utama agamanya adalah mereka
yang luas pengetahuan agamanya? Jika ini yang
dimaksud, sesungguhnya para orientalis memiliki pengetahuan agama yang lebih luas daripada kebanyakan kita saat ini. Penulis kamus bahasa
Arab
yang
menjadi
pegangan standar sekarang, Al-Munjid, adalah Louis Ma'luf, seorang orientalis.
Kalau begitu, bagaimana menentukan ukuran bahwa calon suami yang datang meminang termasuk
laki-laki yang beragama? Wallahu A'lam bishawab.
Agama meliputi tauhid yang merupakan
intinya dan syari'at sebagai aturan-aturan
baku yang lebih bersifat zhahir. Tauhid
hidup dalam iman. Iman adalah perkara
qalbiyyah
(rahasia hati). Orang tidak dapat melihat derajat iman seseorang. Orang tidak bisa menilai aqidah-qalbiyyah (urusan keyakinan dalam hati)
orang lain.
Tetapi, keyakinan
hati mempengaruhi sikap dan perilaku. Keagamaan seeorang insya-Allah dapat dilihat
melalui
amal perbuatannya. Ada berbagai petunjuk
As- Sunnah yang dapat dipakai untuk "menerka" agama dari laki-laki yang datang
meminang Anda.
Rasulullah Saw. bersabda, "Orang mukmin yang paling sempurna
imannya ialah yang paling
baik akhlaknya." (HR Ahmad dan Abu Daud).
Dalam hadis lain yang bersumber dari 'Aisyah r.a., dari Nabi dikatakan,
"Sesungguhnya kelembutan tidak menghinggapi sesuatu kecuali
memperindahnya dan tiada dicabut
dari sesuatu melainkan memperburuknya." (HR. Muslim).
Rasulullah Saw. juga bersabda:
"Sesungguhnya seorang
hamba yang berakhlak
baik akan mencapai
derajat dan kedudukan yang tinggi di akhirat,
walau ibadahnya sedikit." (HR Thabrani dengan sanad
baik).
Masih banyak hadis yang menunjukkan
tanda-tanda keimanan melalui sikap,
perilaku dan ketinggian moral. Tanda-tanda ini
yang dapat engkau perhatikan ketika seorang pemuda meminangmu. Ada tanda lain
yang
dapat
engkau
perhatikan, terutama berkait dengan tanggungjawabnya kelak sebagai
kepala rumah keluarga. Misal, bagaimana
sikapnya terhadap upaya mencari nafkah pada saat ini, sedang ia
masih menuntut ilmu di
perguruan tinggi.
Pembahasan lebih lanjut insya-Allah kita lakukan pada sub judul
Kemandirian
Ekonomi.
Seorang ulama mengatakan
bahwa, tidak mungkin mengetahui keberagamaan seseorang melalui shalat dan puasa serta sebagian ritual agama. Keimanan
dalam beragama, dapat diketahui melalui
aspek-aspek akhlak, penjagaan hak-hak orang
lain,
dan sikap menghindarkan orang lain dari kezaliman-kezaliman dirinya. Adakalanya
ketika seseorang berpuasa, sangat takut kemasukan air setetes sehingga
tidak berani berkumur. Tetapi ia tidak takut melanggar
hak-hak orang lain. Begitu KH. Abdurrahman Wahid pernah mencontohkan.
Peringatan
Imam
Abu
'Abdillah dapat Anda pertimbangkan
ketika menilai agama calon suami Anda. Beliau pernah berkata, "Janganlah
kalian tertipu dengan shalat mereka dan puasa mereka. Sesungguhnya
mungkin ada seseorang yang
mengerjakan shalat dan puasa sampai-sampai seandainya ia meninggalkannya, ia merasa takut. Tetapi, amatilah mereka dalam kebenaran
bicara dan penunaian amanat."
Ada contoh yang
ekstrem tentang
masalah ini. Abu Said Al-Khudri, salah seorang sahabat
terkenal, mengatakan bahwa Abu Bakar pernah bercerita di hadapan
Nabi. Saat itu Abu Bakar menuturkan
pengalamannya ketika melintasi padang pasir
dan melihat
seorang
lelaki
berwajah tampan sedang melakukan shalat
dengan khusyuk.
"Pergi dan bunuhlah
orang itu," tukas Nabi.
Abu Bakar segera pergi menemukan
lelaki yang itu masih dalam keadaan
seperti semula, shalat dengan khusyuk. Abu Bakar jadi ragu untuk membunuhnya. Akhirnya ia kembali.
Nabi kemudian memanggil Umar bin Khaththab.
"Pergilah ke sana dan bunuhlah
lelaki itu!" perintah
Nabi kepada Umar.
Umar pun segera pergi ke sana. Umar melihat lelaki itu sedang larut dalam ibadah. Umar tidak sampai hati membunuhnya. Akhirnya ia pun kembali menghadap
Nabi.
"Wahai Nabi, yang aku lihat adalah lelaki yang sedang shalat dengan sangat
khusyuk. Aku tidak tega
membunuhnya," ujar Umar.
Nabi akhirnya menyuruh Ali untuk membunuhnya.
Ali segera pergi ke sana, tetapi ia tidak menemukan
lelaki itu. Ali kembali
menghadap Nabi, lalu
memberitahukan hal itu kepada beliau.
Nabi berkata, "Orang itu dan kawan-kawannya membawa
Al-Qur'an hanya sampai tenggorokan. Mereka
telah keluar dari agama bagai anak panah melesat dari busurnya. Bunuhlah mereka!
Karena mereka adalah seburuk-buruk makhluk di muka bumi." (Shahih Muslim).
Ketika mendapatkan pinangan,
engkau juga bisa memperhatikan tanda-tanda membekasnya agama pada diri calon suami berkait
dengan kewajiban-kewajibannya
terhadapmu kelak.
Ketika seseorang
bertanya kepada
Rasulullah tentang hak istri, beliau
bersabda:
"Memberikan
makanan kepadanya apabila engkau makan, memberikan pakaian
apabila engkau berpakaian, jangan memukul wajah, jangan mengatakan
wajah engkau buruk, dan jangan menghukum (tidak menanyainya) kecuali di dalam rumah, yakni jangan memindahkannya
ke rumah lain kemudian tidak ditanyainya di dalam rumah tersebut." (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Hibban, dan dishahihkan oleh Al- Hakim).
Penjelasan Al-Fakhrurrazi mengenai fazhzhan dan ghalizhal-qalbi
ketika menjelaskan surat 'Ali Imran ayat 159-160, menarik untuk kita simak. Asbabun nuzul
(sebab turunnya) ayat ini sebenarnya sama dengan ayat-ayat sebelumnya surat ini, yaitu berkenaan dengan perang Uhud. Tetapi, kali ini kita akan mengambil pelajaran dari Al-Fakhrurrazi mengenai fazhzhan dan
ghalizhal-qalbi untuk mengetahui
keberagamaan calon suami,
orang
yang
akan
memimpinmu
jika
engkau menerimanya.
Kata Al-Fakhurrazi, "Kalau kita belum paham perbedaan antara fazhzhan dan
ghalizhal-qalbi, perhatikanlah contoh ini. Mungkin ada orang yang akhlaknya tidak
jelek. Tidak pernah mengganggu orang lain. Lidahnya
tidak pernah menyakiti
orang lain. Hanya saja, dalam hatinya tidak pernah ada rasa kasihan kepada orang lain. Orang ini tidak kasar, namun dalam hatinya tidak ada rasa kasih-sayang. Ia
tidak fazhzhan, tetapi ghalizhal
qalbi. Kedua sifat ini tidak boleh menempel pada diri seorang pemimpin. Dia tidak boleh berperilaku yang menganggu orang lain dan juga
tidak boleh mempunyai hati yang keras. Karena itu, “Sekiranya kamu ini
bertingkahlaku kasar dan hati kamu keras, maka orang-orang itu akan
lari darimu."
Seorang yang beragama,
tidak bersifat fazhzhan. Juga tidak ghalizhal qalbi. Jika dua sifat ini tidak ada pada dirinya,
insya-Allah dia akan memiliki akhlak yang lemah
lembut. Meskipun begitu, ada perbedaan yang besar sekali antara sifat lemah lembut
dengan menampakkan kelembutan. Mengenai hal ini, hatimu yang lebih tahu. Wallahu A'lam bishawab.
Insya-Allah, engkau juga bisa melihatnya ketika meminang. Kalau ia meminangmu dalam rangka berpoligami, engkau
dapat menilai alasannya dari
alasannya berpoligami, sikapnya
terhadap istri dan keseimbangannya
antara harapan terhadapmu dan sikapnya
terhadap istrinya terdahulu. Jika ia
berpoligami karena menurutnya istri terdahulu tidak memiliki akhlak yang baik sebagai istri, engkau dapat menilainya dari bagaimana ia mengungkapkan
hal itu kepadamu. Sebagian di
antara caranya menceritakan, merupakan tanda apakah ia akan menjaga rahasiamu
ataukah menunjukkan tidak ada rasa cemburu di hatinya kalau rahasia istrinya diketahui orang lain.
Tanda-tanda keberagamaan yang bersifat akhlaqi
insya-Allah lebih utama,
termasuk di dalamnya sikap dan semangatnya terhadap agama. Seorang yang
bersemangat dan memiliki sikap yang baik, insya-Allah
lebih mudah menyerap
ilmu- ilmu agama
yang belum ia punyai.
Akhir-akhir ini, sebagian orang
telah menyempitkan batasan
agama kepada yang dianggap sefikrah saja. Atau bahkan lebih sempit lagi se-harakah atau se-halaqah.
Padahal, kesamaan harakah atau halaqah tidak
menandakan tingkat kematangan dalam beragama. Ada banyak aspek yang perlu diperhatikan. Saya sempat khawatir, pola interaksi pada sebagian kelompok cenderung
mengarah kepada kerahiban.
Dikutip dari buku Kado Pernikahan Untuk Istriku
Karya Muhammad Fauzil Adhim
0 komentar:
Posting Komentar