Kamis, 27 September 2012

Ketika taat, Dia tidak merisaukan kemampuan


Julaibib, begitu ia bisa dipanggil. Kata ini sendiri mungkin sudah menunjukkan ciri fisiknya : kerdil, julaibib. Nama yang tak biasa dan tak lengkap. Nama ini, tentu bukan ia sendiri yang menghendaki. Tidak pula orang tuanya. Julaibib hadir ke dunia tanpa mengetahui siapa ayah dan yang mana bundanya. Demikian pula orang-orang semua tak tahu, tentang nasab julaibib. Tak kenal pula, termasuk suku apakah dia. Celakanya, bagi masyarakat yastrib, tak bernasab dan tak bersuku adalah cacat sosial yang tak terampunkan.

Julaibib yang tersisih. Tampilan fisik dan kesehariannya juga menggenapkan sulitnya manusia berdekat-dekat dengannya. Wajahnya yang jelek terkesan sangar. Pendek. Bungkuk. Hitam. Fakir. Kainnya usang. Pakaiannya lusuh. Kakinya pecah- pecah tak beralas. Tak ada rumah untuk berteduh. Tidur sembarangan berbantalkan tangan, berkasurkan pasir dan kerikil. Tak ada perabotan. Minum hanya dari kolam umum yang diciduk dengan tangkupan telapak tangan. Abu Barzah, seorang pemimpin bani aslam, sampai-sampai berkata tentang Julaibib, ”jangan pernah biarkan Julaibib masuk diantara kalian! Demi Allah jika dia berani begitu, aku akan melakukan hal yang mengerikan padanya!”

Demikianlah Julaibib.

Namun jika Allah berkehendak menurunkan rahmatNya, tak satu makhluk pun bisa menghalangi. Julaibib menerima hidayah, dan dia selalu berada di shaff terdepan dalam shalat maupun jihad. Meski hampir semua orang tetap memperlakukannya seolah ia tidak ada, tidak begitu dengan Sang Rasul, Sang rahmat bagi semesta alam. Julaibib yang tinggal di shuffah Masjid Nabawi suatu hari ditegur oleh sang Nabi, Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam. “Julaibib”, begitu lembut beliau memanggil,”Tidakkah engkau menikah?”

“Siapakah orangnya Ya Rasulullah”, kata Julaibib,”Yang mau menikahkan putrinya dengan diriku ini?.”

Julaibib menjawab dengan tetap tersenyum. Tak ada kesan menyesali diri atau menyalahkan takdir Allah pada kata-kata maupun air mukanya. Rasulullah juga tersenyum. Mungkin memang tak ada orang tua yang berkenan pada Julaibib. Tapi hari berikutnya, ketika bertemu dengan Julaibib, Rasulullah menanyakan hal yang sama.”Julaibib, tidakkah engkau menikah?” dan Julaibib menjawab dengan jawaban yang baru. Begitu, begitu, begitu. Tiga kali. Tiga hari berturut-turut.

Dan di hari ketiga itulah Sang Nabi Menggamit lengan Julaibib dan membawanya ke salah satu rumah seorang pemimpin anshar. “Aku ingin“, kata Rasulullah pada si empunya rumah, ”Menikahkan puteri kalian.”

“Betapa indahnya dan barakahnya”, begitu si wali menjawab berseri-seri, mengira bahwa Sang Nabi lah calon menantunya. “Ooh.. Ya Rasulullah, ini sungguh akan menjadi cahaya yang akan menyingkirkan temaram dari rumah kami.”

“Tetapi bukan untukku”, kata Rasulullah. Kupinang puteri kalian untuk Julaibib.”

“Julaibib?” nyaris terpekik ayah sang gadis.

“Ya. untuk Julaibib.”

“Ya Rasulullah”, terdengar helaan nafas berat. “ Saya harus meminta pertimbangan isteri saya tentang hal ini.”

“Dengan Julaibib?” isterinya berseru.”Bagaimana bisa? Julaibib yang berwajah lecak, tak bernasab, tak berkabilah, tak berpangkat, tak berharta? Demi Allah tidak. Tidak akan pernah puteri kita menikah dengan Julaibib.”

Perdebatan itu tak berlangsung lama. Sang puteri dari balik tirai berkata anggun.” Siapa yang meminta?”

Sang ayah dan sang ibu menjelaskan.

“Apakah kalian hendak menolak permintaan Rasulullah? Demi Allah, kirimkan aku padanya. Dan demi Allah, karena Rasulullah lah yang meminta, maka tiada dia akan membawa kehancuran dan kerugian bagiku.”Sang gadis shalihah membaca ayat ini;

Dan tidaklah patut bagi lelaki beriman dan perempuan beriman, apabila Allah dan rasulNya telah menetapkan sesuatu ketetapan, maka akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguh ia telah sesat, sesat yang nyata (Q.S. Al Ahzaab 33:36)

Dan sang nabi dengan tertunduk berdoa untuk sang gadis shalihah, “Ya Allah, limpahkanlah kebaikan atasnya, dalam kelimpahan yang penuh barakah. Janganlah Kau jadikan hidupnya payah dan bermasalah…”.

Doa yang indah.

Kita belajar dari Julaibib untuk tak merutuki diri, untuk tak menyalahkan takdir, untuk menggenapkan pasrah dan taat pada Allah dan RasulNya. Tak mudah menjadi orang seperti Julaibib. Hidup dalam pilihan-pilihan yang sangat terbatas. Kita juga belajar lebih banyak dari gadis yang dipilihkan Rasulullah untuk Julaibib. Belajar agar cinta kita berhenti di titik ketaatan. Meloncati rasa suka dan tak suka. Karena kita tahu, mentaati Allah dalam hal yang tak kita suka adalah peluang bagi gemilang pahala. Karena kita tahu, seringkali ketidaksukaan kita hanyalah terjemah kecil ketidaktahuan. Ia adalah bagian dari kebodohan kita.

Isteri Julaibib mensujudkan cintanya di mihrab taat. Ketika taat, dia tak merisaukan kemampuannya.

Memang pasti, ada batas-batas manusiawi yang terlalu tinggi untuk kita lampaui. Tapi jika kita telah taat kepada Allah, jangan khawatirkan itu lagi. Ia Maha Tahu batas-batas kemampuan diri kita. Dia tak akan membebani kita melebihinya. Isteri Julaibib telah taat pada Allah RasulNya. Allah Maha Tahu. Dan Rasulullah telah berdoa. Mari kita ngiangkan kembali doa itu di telinga. “Ya Allah”, lirih Sang Nabi, “Limpahkanlah kebaikan atasnya dalam kelimpahan yang penuh barakah. Janganlah Kau jadikan hidupnya payah dan bermasalah…”.

Alangkah agungnya! Urusan kita sebagai hamba memang taat kepada Allah. Lain tidak! Jika kita bertaqwa padaNya, Allah akan bukakan jalan keluar dari masalah-masalah yang di luar kuasa kita. Urusan kita adalah taat kepada Allah. Lain tidak. Maka sang gadis menyanggupi pernikahan yang nyaris tak pernah diimpikan gadis manapun itu. Juga tak pernah dalam angannya. Karena ia taat pada Allah dan RasulNya.

Tetapi bagaimanapun ada keterbatasan daya dan upaya pada dirinya. Ada tekanan-tekanan yang terlalu berat bagi seorang wanita. Dan agungnya, meski ketika taat ia tak mempertimbangkan kemampuannya, ia yakin Allah akan bukakan jalan keluar jika ia menabrak dinding karang kesulitan. Ia taat. Ia bertindak tanpa gubris. Ia yakin bahwa pintu kebaikan akan selalu terbuka bagi sesiapa yang mentaatiNya.

Maka benarlah doa Sang Nabi. Maka Allah karuniakan jalan keluar yang indah bagi semuanya. Maka kebersamaan di dunia itu tak ditakdirkan terlalu lama. Meski di dunia sang isteri shalihahdan bertaqwa, tapi bidadari telah terlampau lama merindukannya. Julaibib lebih dihajatkan langit meski tercibir di bumi. Ia lebih pantas menghuni surga daripada dunia yang bersikap tak terlalu bersahabat kepadanya.

Saat ia syahid, sang Nabi begitu kehilangan. Tapi ia akan mengajarkan sesuatu kepada para sahabatnya. Maka ia bertanya-tanya pada akhir pertempuran.”Apakah kalian kehilangan seseorang?”.

“Tidak Ya Rasulullah!”, serempak sekali. Sepertinya Julaibib. Sepertinya julaibib memang tak beda ada dan tiadanya di kalangan mereka.

“Apakah kalian kehilangan seseorang?”, Sang Nabi bertanya lagi. Kali ini wajahnya merah bersemu.

“Tidak Ya Rasulullah!” kali ini sebagian menjawab dengan was-was dan tak seyakin tadi. Beberapa menengok ke kanan dan ke kiri.

Rasulullah menghela nafasnya. “tetapi aku kehilangan Julaibib”, kata beliau.

Para sahabat tersadar.

“Carilah Julaibib!”

Maka di temukanlah dia, Julaibib yang mulia. Terbunuh dengan luka-luka, semua dari arah muka. Di seputaran menjelempah tujuh jasad musuh yang telah dia bunuh. Sang rasul, dengan tangannya sendiri mengkafani Sang Syahid. Beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menshalatkannya secara pribadi. Dan kalimat beliau untuk Julaibib akan membuat iri semua makhluk hingga hari berbangkit.”Ya Allah, dia adalah bagian dari diriku. Dan aku adalah bagian dari dirinya.”

Di jalan cinta para pejuang, biarkan cinta berhenti di titik ketaatan. Melompati rasa suka dan tak suka. Melampaui batas cinta dan benci. Karena hikmah sejati tak selalu terungkap di awal pagi. Karena seringkali kebodohan merabunkan kesan sesaat. Maka taat adalah prioritas yang kadang membuat perasaan-perasaan terkibas.

Tetapi yakinlah, di jalan cinta para pejuang, Allah lebih tahu tentang kita. Dan Dialah yang menyutradai pentas kepahlawanan para actor ketaatan. And semua akan berakhir seindah surge. Surga yang telah dijanjikanNya…


dia adalah bagian dari diriku

dan aku adalah bagian dari dirinya

-Rasulullah tentang Julaibib-





Ditulis dari buku jalan cinta para pejuang

Karya Ustad Salim A. Fillah

Semoga bermanfaat




Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua, anda pun bisa mendownloadnya dalam bentuk PDF .


Ikuti Panduan Download jika anda kesulitan untuk mendownloadnya 



Jika linknya sudah mati atau tidak bisa mendownload silahkan hubungi Pengelola



Sampai jumpa di artikel berikutnya...... 

Artikel Terkait

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes