Rabu, 26 Februari 2014

Kisah Rosulullah dengan Anak Yatim

Suatu ketika, pada Hari Raya Idul Fitri, Rasulullah seperti biasanya berkunjung ke rumah-rumah warga. Dalam kunjungannya itu, Rasulullah melihat semua orang bahagia. Anak-anak bermain dengan mengenakan pakaian hari raya. Namun, tiba-tiba pandangan Rasulullah tertuju pada seorang anak kecil yang sedang duduk bersedih.
Anak kecil ini memakai pakaian penuh tambalan dan sepatu rusak. Rasulullah lalu bergegas mengham pirinya. Melihat kedatangan Rasulullah, anak kecil itu menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangannya dan menangis tersedusedu. Rasulullah lantas meletakkan tangannya di atas kepala anak kecil itu dan dengan penuh kasih sayang, lalu bertanya, “Anakku, mengapa kamu menangis? Hari ini adalah hari raya bukan?”
Anak itu menjawab, “Pada hari raya yang suci ini semua anak menginginkan agar dapat merayakan bersama orang tuanya dengan bahagia. Anak-anak bermain dengan riang gembira. Aku lalu teringat pada ayahku, itu sebabnya aku menangis. Ketika itu hari raya terakhir bersamanya. Ia membelikanku sebuah gaun berwarna hijau dan sepatu baru. Waktu itu aku sangat bahagia. Lalu suatu hari ayahku pergi berperang bersama Rasulullah. Ia bertarung bersama Rasulullah bahu-membahu dan kemudian ia meninggal. Sekarang ayahku tidak ada lagi. Aku telah menjadi seorang anak yatim. Jika aku tidak menangis untuknya, lalu siapa lagi?
Mendengar cerita itu, seketika hati Rasulullah diliputi kesedihan. Dengan penuh kasih sayang ia lalu membelai kepala anak kecil dan berkata, Anakku, hapuslah air matamu. Angkatlah kepalamu dan dengarkan apa yang akan kukata kan kepadamu. Apakah kamu ingin agar aku menjadi ayahmu? Dan apakah kamu juga ingin agar Fatimah menjadi kakak perempuanmu dan Aisyah menjadi ibumu? Bagaimana pendapatmu tentang usul dariku ini?
Anak kecil itu langsung berhenti menangis. Ia memandang dengan penuh takjub orang yang berada tepat di hadapannya. Namun, entah mengapa ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya dapat menganggukkan kepalanya sebagai tanda menerima tawaran Rasulullah. Kemudian, anak kecil itu bergandengan tangan dengan Rasulullah menuju ke rumah.
Sesampainya di rumah, wajah dan kedua tangan anak kecil itu lalu dibersihkan. Ia kemudian diberi pakaian yang indah dan makanan, serta uang. Lalu ia diantar keluar agar dapat bermain bersama anakanak lainnya.



Hadist-hadist tentang akhlak Nabi Muhammad Saw.



Selasa, 25 Februari 2014

Mahar

1. Definisi Mahar

Mahar berasal daripada perkataan Arab. Di dalam al-Quran istilah mahar disebut dengan al-sadaq, al-saduqah, al-nihlah, al-ajr, al-faridah dan al-‘aqd. Menurut istilah syara’ mahar ialah suatu pemberian yang wajib diberikan oleh suami kepada isteri dengan sebab pernikahan.
Terdapat banyak dalil yang mewajibkan mahar kepada istri di antaranya adalah firman Allah dalam surah al-Nisa’ ayat 4 :

“Dan berikanlah kepada perempuan-perempuan (istri) akan mas kawin mereka itu sebagai  pemberian (yang  wajib). Kemudian  jika  mereka  menyerahkan  kepada  kamu sebagian dari mas kawinnnya, maka makanlah (gunakanlah) pemberian tersebut sebagai nikmat yang baik lagi lezat “


Firman Allah Ta’ala dalam surah al-Nisa ayat 24:

“Mana-mana perempuan yang kamu nikmati percampuran dengannya (setelah dia menjadi isteri kamu) maka berikanlah mereka maharnya sebagai satu ketetepan yang difardhu (diwajibkan oleh Allah Taala)”

Pemberian mahar suami sebagai lambang kesungguhan suami terhadap istri. Selain itu juga mencerminkan kasih sayang dan kesediaan suami  hidup bersama istri serta  sanggup berkorban demi  kesejahteraan rumah  tangga  dan  keluarga. Ia  juga merupakan penghormatan seorang suami terhadap istri.

Walau bagaimanapun mahar tidaklah termasuk di antara rukun-rukun nikah atau syarat sahnya sesuatu pernikahan. Sekiranya pasangan yang akan menikah tanpa menentukan jumlah mahar, pernikahan tersebut tetap sah tetapi suami diwajibkan membayar mahar misil ( yang sepadan). Ini berdasarkan satu kisah yang terjadi pada zaman Rasulullah s.a.w. di mana seorang perempuan telah menikah tanpa disebutkan maharnya. Tidak lama kemudian suaminya meninggal dunia sebelum sempat bersama dengannya (melakukan persetubuhan) lalu Rasulullah mengeluarkan hukum supaya perempuan tersebut diberikan mahar misil yang sepadan untuknya.

2. Pemberian Mahar

Memberi  mahar  kepada  isteri  hukumnya  wajib.  Menurut  Abu  Hanifah,  isteri berhak mendapat mahar apabila akad nikahnya sah. Manakala dalam mazhab Syafi’e pula  diwajibkan mahar  bukan  disebabkan akad  nikah  yang  sah  saja  tetapi  juga dengan persetubuhan. Sekiranya akad nikah tersebut fasid (tidak sah), suami tidak wajib memberi mahar kepada isteri melainkan setelah berlakunya persetubuhan.

3. Kadar Mahar

Islam tidak menetapkan kadar yang paling maksimal dan minimal dalam menentukan mahar bagi seorang wanita. Mahar bergantung kepada uruf iaitu keadaan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Sungguh pun demikian, Islam menganjurkan agar kita mengambil jalan tengah yaitu tidak meletakkan mahar terlalu tinggi dan tidak pula terlalu rendah. Rasulullah s.a.w. menggalakkan kita agar mempermudahkan mahar sebagaimana dalam sabdanya :

perempuan yang berkah perkawinannya ialah yang mudah (rendah) tentang perbelanjaan (mahar).
( Riwayat Ahmad dan al-Hakim )

Walau bagaimanapun suami boleh memberikan mahar yang tinggi kepada isteri
berdasarkan kepada ayat al-Quran dalam surah al-Nisa’ ayat 20 :

“ Kamu  telah memberikan kepada salah seorang daripada mereka harta yang banyak “

Minggu, 23 Februari 2014

Mempertimbangkan Pinangan Bagian 2

Kemandirian Ekonomi

Seorang laki-laki seharusnya telah mampu membiayai hidupnya sendiri sejak memasuki masa taklif, yaitu usia 15 tahun menurut sistem penanggalan qamariyyah atau lunar system. Selambat-lambatnya usia 18 tahun, seharusnya ia sudah berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan hasil keringatnya sendiri, walaupun orangtua masih mampu membiayai dan sekaligus masih mau membiayai. Ketika menikah, ia mempunyai kewajiban untuk menafkahi istrinya, termasuk di dalamnya makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal dengan cara yang baik. Setelah menikah, orangtua tidak mempunyai kewajiban memberi nafkah terhadap anak perempuannya. Kebutuhan ekonomi seorang wanita menjadi tanggungan suami. Adapun kalau orangtua memberi, itu bersifat shadaqah. Tidak wajib.

Tetapi, marilah kita simak hadis berikut.  Rasulullah Saw. bersabda, "Sedekah tidak halal buat orang kaya dan orang yang masih mempunyai kekuatan dengan sempurna." (HR Tirmidzi).

Karena itu, seorang laki-laki hendaknya berusaha mandiri. Apalagi ketika ia telah mempunyai niat untuk menikah, bahkan telah meminang. Berusaha untuk memenuhi kebutuhan ekonomi diri sendiri dan keluarga adalah suatu kehormatan, sehingga seseorang lebih bisa menegakkan kepala ketika ada sesuatu yang harus disikapi. Ketergantungan secara ekonomi kepada keluarga, bisa melahirkan tekanan psikis dan konflik-konflik yang pelik manakala seseorang telah menikah.

Kemandirian  ini  perlu  saya  bahas  di  sini  mengingat  pentingnya  masalah. Sebagian laki-laki berharap menikah, akan tetapi hendak menggantungkan kebutuhan ekonominya kepada keluarga. Di antara mereka bahkan ada yang bersikap agak apatis terhadap usaha mencari sendiri penghasilan yang halal, sebelum menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi. Ada pikiran untuk tetap meminta kiriman orangtua, dan mengharapkan agar orangtua istrinya juga tetap mengirimkan biaya hidup setiap bulannya.

Sikap ini melemahkan keberanian untuk bertanggungjawab terhadap istri yang dinikahinya. Tanggung jawab tidak hanya berkait dengan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, melainkan mencakup pula berbagai tanggung jawab lain yang juga bersifat penting dan mendasar bagi kehidupan bersama dalam rumah tangga.

Sikap ini potensial untuk menimbulkan konflik, terutama konflik psikis bagi istri. Harga diri dan rasa percaya diri sebagai keluarga sulit untuk ditegakkan. Dengan demikian ketergantungan secara ekonomi melahirkan ketidakberdayaan pada aspek- aspek  lain  yang  seharusnya  dibangun  berdua  dalam  rumah-tangga  yang  mesra. Mereka mempunyai posisi yang lemah di hadapan orangtua, mertua, saudara, kerabat lain, dan bahkan mereka lemah di hadapan dirinya sendiri. Kepercayaan istri terhadap integritas pribadi suami juga kurang bisa terbangun.

Dampak dari keadaan ini sangat luas, khususnya terhadap pembentukan orientasi keluarga dan kesiapannya untuk memberikan pendidikan kepada anak menurut apa yang dipandang maslahat dan ideal. Kurang terbangunnya rasa percaya diri sekaligus harga diri sebagai keluarga, mempengaruhi citra mereka tentang keluarga mereka sendiri. Ini mempengaruhi mereka dalam memberi pengasuhan kepada anak, sehingga bisa melahirkan pola-pola sikap yang kurang sesuai dalam mengasuh anak. Sejak dari child-abuse (kekejaman terhadap anak), pengabaian anak sampai ketidakpekaan orangtua terhadap kebutuhan psikis anak. Kalau ditarik lagi, akan terdapat rentetan dampak psikis yang lain. Lalu,  bagaimana kalau  orangtua berinisiatif  untuk  tetap  membiayai  anaknya masing-masing agar kuliahnya dapat diselesaikan dengan baik? Tidak masalah dan bahkan baik, sejauh suami tetap mempunyai keinginan untuk tidak menggantungkan diri sepenuhnya kepada kiriman orangtua. Sekalipun kenyataannya, hampir seratus persen masih tetap berasal dari orangtua masing-masing. Tetapi niat yang kuat untuk tidak menggantungkan sepenuhnya, merupakan bentuk adanya tanggung jawab. Inilah yang paling penting.

Rasulullah Saw. bersabda, "Terlaknatlah orang yang membebankan semua kebutuhannya kepada orang lain."

Terkadang, inisiatif menikah berasal dari orangtua demi menyelamatkan anaknya dari kekejaman maksiat. Mereka menawarkan untuk tetap membiayai kuliah sampai selesai sekaligus memberi biaya hidup. Ini adalah sikap yang baik dan terpuji. Insya- Allah, kelak mereka akan menjumpai upayanya sebagai kemuliaan di akhirat. Allahumma amin.

Tetapi, kesediaan orangtua tertentu --ada yang bahkan mengajukan inisiatif-- untuk membiayai keluarga yang baru dibangun oleh anak mereka, tidak bisa menjadi ukuran agar orangtuanya juga memberi perlakuan yang sama terhadap keluarganya. Kalau pun orangtua ternyata menjaminkan biaya hidup, mestinya ia juga tetap memiliki keinginan yang kuat untuk mencari nafkah yang halal dan thayyib agar yang masuk ke perut istri, kelak janin yang dikandung istrinya hingga saatnya lahir, adalah harta yang halal dan utama.

Islam menunjukkan sikap yang sangat menghargai kesungguhan seorang pemuda memenuhi kebutuhan ekonominya sendiri. Rasulullah Saww. bersabda:

"Ibadah itu ada tujuh puluh bagian, yang paling utama adalah mencari (rezeki)
yang halal."

Rasulullah Saw. juga bersabda:

"Mencari rezeki yang halal adalah kewajiban sesudah kewajiban shalat."

Pada hadis yang lain, Rasulullah Saww. bersabda, "Tidak seorang pun makan makanan yang lebih baik daripada yang dihasilkan dari hasil kerja tangannya (sendiri)." (HR Bukhari).

Rasulullah Saw. juga bersabda:

"Orang  yang  minta-minta padahal  tidak  begitu  menghajatkan, sama  halnya dengan orang yang memungut bara api." (HR Baihaqi dan Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya).

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadis shahih, bahwa Rasulullah Saw. bersabda, "Selalu minta-minta itu dilakukan oleh oleh seseorang di antara kamu, sehingga dia akan bertemu Allah, dan tidak ada di mukanya sepotong daging." (HR Bukhari dan Muslim).

Rasulullah Saw. juga menegaskan: "Barangsiapa merasa lelah karena bekerja sehari suntuk untuk mencari rezeki yang halal, niscaya diampuni segala dosanya."

Ketika seseorang telah diampuni segala dosanya, maka Allah akan mencurahkan rahmat-Nya. Ia menjadi penjaga dan pelindung. Dan Allah adalah sebaik-baik pelindung. Kalau Allah yang memberi penjagaan, insya-Allah kelak akan lahir dari rahim istri anak-anak yang takwa lagi suci sebagaimana do'a suami ketika pertama kali memegang kening istrinya. Insya-Allah mereka akan menjadi anak yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaaha illaLlah. Sedang di akhirat mereka akan menjadi penolong bagi orangtuanya selagi orangtuanya tetap beriman, meski derajat amalnya tidak sebanding dengan derajat amal anaknya. Nanti, simaklah Ar- Ra'd ayat 23.

Oleh karena itu, ketika datang pinangan, perhatikan apakah calon suami Anda telah  mandiri. Kalau  tidak,  apakah calon suami  Anda  selama  ini  telah  berusaha mandiri dan mempunyai iktikad untuk mandiri.

Barangkali ia belum mempunyai penghasilan yang memadai. Tetapi pilihan sikapnya untuk mandiri, insya-Allah menjadi petunjuk tentang kesiapannya memikul tanggung jawab sebagai suami dan kelak sebagai ayah. Seorang suami yang bertanggung jawab lebih berarti dan lebih dekat dengan keselamatan dunia-akhirat serta kemesraan keluarga. Insya-Allah, kehadiran Anda kelak sebagai istri, memudahkan pertolongan Allah terhadap datangnya rezeki yang mencukupi kebutuhan-kebutuhan keluarga. Mencukupi kebutuhannya yang besarnya barangkali tak terbayangkan dapat dipenuhinya ketika calon suami Anda belum menikah seperti sekarang ini.

Allah akan menolong. Insya-Allah.

Ada beberapa hadis yang menunjukkan hal ini.

Rasulullah Saw. bersabda, "Carilah oleh kalian rezeki dalam pernikahan (dalam kehidupan berkeluarga)." (HR Imam Ad-Dailami dalam Musnad Al-Firdaus).

Dari   Abu Hurairah r.a.,   Rasulullah bersabda, "Tiga orang yang akan selalu diberi pertolongan oleh Allah adalah seorang mujahid yang selalu memperjuangkan agama Allah Swt., seorang penulis yang selalu memberi penawar, dan seorang yang menikah demi menjaga kehormatan dirinya." (HR Thabrani).

Dalam hadis lain dengan derajat shahih, Rasulullah Saww. bersabda:

"Tiga golongan orang yang pasti mendapat pertolongan Allah, yaitu budak mukatab  yang  bermaksud  untuk  melunasi  perjanjiannya,  orang  yang  menikah dengan  maksud  memelihara  kehormatannya,  dan  yang  orang  berjihad  di  jalan Allah." (HR Turmudzi, An-Nasa'i, Al-Hakim dan Daruquthni).

Di dalam Al-Qur'anul Karim, Allah Swt. telah berfirman, "Dan kawinkanlah orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.


Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya." (QS An- Nur:32).

Berkenaan dengan ayat ini, Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. berkata, "Taatlah kepada Allah dalam apa yang diperintahkan kepadamu yaitu perkawinan, maka Allah akan melestarikan janji-Nya kepadamu yaitu kekayaan. Allah telah berfirman; 'jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya'". (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim, dari Ad-Dur Al-Mantsur).

Ada perkataan dari Umar bin Khaththab yang dapat Anda renungkan. Beliau berkata, "Sungguh aku memaksakan diri bersetubuh dengan harapan Allah akan mengkaruniakan dariku makhluk yang akan bertasbih dan mengingat-Nya."

Dan Umar pun menganjurkan, "Perbanyaklah anak, karena kalian tidak tahu dari anak yang mana kalian mendapatkan rizki."

Akhirnya, marilah  kita  menengok sebuah hadis Nabi. Luruskanlah niat  dan tumbuhkan keyakinan. Mudah-mudahan dengan jernihnya pikiran dan bersihnya hati ketika mempertimbangkan pinangan seorang pemuda yang akhlaknya tidak engkau ragukan, sedangkan kemampuannya memenuhi ma'isyah saat ini masih belum mapan, mendekatkan pada pertolongan-Nya.

Mari kita simak hadis ini, mudah-mudahan Allah memasukkan keyakinan dan
husnuzhan kepada-Nya.

Rasulullah Muhammad Saw. diriwayatkan berkata,

"Kawinkanlah orang-orang yang masih sendirian di antara kamu, sesungguhnya Allah akan memperbaiki akhlak mereka, meluaskan rezeki mereka, dan menambah keluhuran mereka."

Allah Maha Luas Pertolongan-Nya. Maha Luas.



Ada Ladang Amal Shalih

Pernikahan adalah keagungan yang diberikan Tuhan kepada manusia. Di dalamnya  ada  keindahan  dan  ketenteraman. Di  dalamnya  ada  rasa  cinta  kepada kekasih yang menemukan tamannya. Di dalamnya juga ada ladang amal shalih.

Jodoh ada di tangan Tuhan. Kadang-kadang seorang wanita mendapatkan pendamping yang sekilas menurut pandangan mata zhahir manusia, tidak sepadan ilmu maupun ibadahnya. Wanitanya sangat khusyuk dalam beribadah, kuat menegakkan shalat malam --barangkali seperti Rabi'ah Asy-Syamiyah-- dan tinggi ilmu agamanya. Sedangkan laki-laki  yang menikahinya, ternyata tidak sebanding dalam hal ilmu maupun ibadah.

Sebaliknya juga bisa terjadi. Laki-lakinya sangat luas pengetahuannya mengenai kitab-kitab yang berisi ilmu-ilmu agama. Bekas shalatnya tampak di kening. Tetapi istrinya sekilas tidak mencapai kedudukan yang sederajat karena ilmu dan ibadahnya yang kurang. Ada pertanyaan, mengapa demikian? Jawab saya sederhana, wallahu a'lam bishawab. Allah Maha Bijaksana. Ia mengetahui kebaikan-kebaikan besar yang tidak nampak dalam penglihatan mata akal kita. Sebagian dari pernikahan semacam itu adalah ujian, kecuali jika mereka memang memilih bukan atas dasar agama. Mereka menikahi laki-laki atau wanita yang tidak sepadan karena mengejar kemuliaan, harta, atau  martabat.  Tentang  ini  Rasulullah  telah  memperingatkan  agar  kita  tidak terjerumus ke dalamnya.

Tetapi, adakalanya pernikahan semacam ini berlangsung tidak karena dorongan- dorongan rendah seperti itu. Pernikahan yang sepintas tidak seimbang itu, membuka ladang amal shalih yang tidak bisa dilakukan oleh mereka yang belum menikah. Tugas suami memang memberi pendidikan dan pengarahan kepada istri. Tetapi ketika istri  mempunyai  pengetahuan  agama  yang  lebih  banyak,  dia  dapat  mengajarkan kepada suaminya apa-apa yang belum diketahui suaminya, dengan niat berbakti kepada suami dalam rangka mencari ridha Allah. Insya-Allah, pada pernikahan yang semacam ini Allah melimpahkan barakah dan kelak memberikan keturunan yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat  laa ilaaha illaLlah.

Seorang istri yang mengajarkan beberapa pengetahuan agama kepada suaminya, perlu berhati-hati agar tidak terjatuh kepada sikap meninggikan diri di hadapan suami. Sehingga ia tidak mendengarkan kata-kata suaminya dan tidak menaati. Juga, seorang wanita  shalihah  perlu  menjaga diri  benar-benar agar  sikapnya  tidak  menjauhkan suami dari ibunya sedemikian sehingga si suami lebih mendengar kata-kata istrinya dan mengabaikan nasehat ibunya.

Seorang suami yang memiliki ilmu agama yang lebih tinggi dari istri, dapat menjadi pegangan bagi istri untuk bertanya hal-hal yang tidak diketahuinya. Suami yang demikian ini perlu memiliki sifat yang penuh kasih-sayang, membimbing dan ridha ketika mendidik dan mengarahkan istrinya. Mudah-mudahan istri dapat belajar kepada suaminya bagaimana memberikan pengajaran dan pendidikan kepada anak- anak yang lahir dari rahimnya, kelak ketika Allah telah menjadikan dia merelakan rasa sakitnya untuk melahirkan.

Setiap   ilmu   yang   sampai   kepada   manusi dan   diamalkan,   maka   Allah mengalirkan pahala kepada yang menyampaikan tanpa mengurangi pahala yang melaksanakan sedikit pun. Kalau amalan suami yang diridhai Allah berawal dari ilmu yang disampaikan istri, maka baginya pahala sebanyak yang dilakukan oleh suami tanpa terkurangi. Demikian juga sebaliknya, istri yang mengerjakan kebajikan setelah mendapatkan pendidikan dari suaminya, maka Allah akan mencatat kebaikan yang sama. Insya-Allah, di sinilah ilmu akan barakah sampai anak-cucu.

Kalau suami-istri itu adalah ahli ibadah, insya-Allah mereka dapat saling membantu dalam ketakwaan. Kalau istri sudah menjadikan shalat malam sebagai perhiasan hidupnya, sedangkan suami masih belum terbiasa, istri dapat membiasakan suaminya untuk mulai menegakkan shalat malam. Demikian pula bagi seorang suami, ia dapat membimbing istri untuk melakukan shalat malam di rumah.  Adapun kalau keduanya belum terbiasa untuk shalat malam, mereka dapat saling membantu. Ada banyak hadis yang dapat kita renungkan, misalnya hadis yang diriwayatkan oleh Nasa'i, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban di dalam shahihnya serta al-Hakim, bahwa Rasulu-llah bersabda, "Barangsiapa bangun malam dan membangunkan istrinya kemudian keduanya shalat dua raka'at --Nasa'i menambahkan, berjama'ah-- maka keduanya ditulis di antara orang-orang lelaki dan orang-orang perempuan yang banyak berzikir". (Al-Hakim berkata: shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim. Muhammad Nashiruddin Al-Albani menyatakan, hadis ini shahih).

Pembahasan lebih lanjut insya-Allah kita lakukan pada   bab Keindahan Yang Lebih Besar, di bagian dua jendela kedua buku ini. Saat ini, yang penting adalah memeriksa sikap calon suami yang datang meminang Anda. Sikap dan semangat yang baik, insya-Allah lebih dapat mengantarkan suami-istri kepada jalan kebaikan. Betapa banyak orang yang mempunyai pengetahuan luas, tetapi kurang memiliki keyakinan.

Jadi, inilah jawaban saya atas pertanyaan sebagian akhwat mengenai (calon) suami yang ilmu agamanya kurang atau suami yang ilmu agamanya jauh lebih tinggi. Di  luar itu, saya ingin menambahkan. Kita  tidak bisa mengukur tinggi tidaknya derajat ketakwaan seseorang. Ada kalanya seseorang mencapai derajat yang tinggi bukan karena banyaknya ibadah yang dilakukan maupun luasnya pengetahuan yang dimiliki. Ia mencapai derajat yang lebih tinggi karena kejujurannya dalam berdagang maupun hati yang tidak pernah memiliki prasangka buruk kepada saudaranya sesama muslim, misalnya. Allahu A'lam bishawab wallahul musta'an.



Nikah dan Menuntut Ilmu

Islam memandang pernikahan  sebagai kemuliaan yang sangat tinggi derajatnya. Allah menyebut ikatan pernikahan sebagai mitsaqan-ghalizha (perjanjian yang sangat berat). Hanya tiga kali istilah ini disebutkan dalam Al-Qur'an, dua lainnya berkenaan dengan tauhid. Sedang tauhid adalah inti agama.

Islam menganjurkan ummatnya untuk menikah. Demikian tingginya kedudukan pernikahan dalam Islam, sehingga menikah merupakan jalan penyempurnaan separuh agama.  Rasulullah  Saw.  bersabda,    "Apabila  seorang  hamba  telah  berkeluarga, berarti dia telah menyempurnakan separuh dari agamanya. Maka takutlah kepada Allah terhadap separuh yang lainnya." (HR Ath-Thabrani).

Islam juga meletakkan penghormatan yang sangat tinggi terhadap ilmu dan orang yang menuntutnya. Banyak sekali hadis shahih maupun hasan yang menunjukkan keutamaan menuntut  ilmu. Dalam surat Al-Mujadilah, Allah Swt. telah  berfirman, "Allah mengangkat   derajat   orang-orang beriman dan orang-orang berilmu beberapa derajat."

Shafwan bin 'Assal al-Muradi r.a. mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda,    "Selamat  datang  kepada  penuntut  ilmu,  sesungguhnya penuntut  ilmu dikitari oleh para malaikat dengan sayap-sayapnya kemudian sebagian mereka menaiki sebagian yang lain hingga mencapai langit dunia karena  kecintaan mereka kepada apa yang ia tuntut." (HR Ahmad dan Thabrani).
"Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim," kata Rasulullah Saw. dalam hadis shahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya. Menuntut ilmu wajib atas setiap muslim, laki-laki maupun perempuan, sejak lahir hingga masuk ke liang lahat. Menikah juga diarahkan untuk tetap utuh dalam keluarga yang   sakinah mawaddah warahmah sampai kematian menjemput mereka. Mudah-mudahan keduanya akan mendapati pernikahan sebagai jalan yang diridhai Allah dan mengantarkan kepada keselamatan dari pedihnya siksa api neraka.

Pernikahan dan menuntut ilmu diharapkan untuk seumur hidup. Maka mestinya keduanya berjalan seiring. Menuntut ilmu seharusnya lebih memberikan kesiapan dan bekal bagi penuntutnya untuk menikah, serta menegakkan kehangatan keluarga. Menuntut ilmu seharusnya mendorong seseorang untuk lebih bersemangat menikah, dan   lebih   yakin   terhadap   janji   Alla kepada   orang   yang   menikah   demi menyelamatkan kehormatannya dari lawan jenis yang masih belum halal. Sementara menikah, seharusnya membuat orang lebih matang dalam berilmu. Seharusnya, ....ya seharusnya...!

Seharusnya, pernikahan dan mencari ilmu bisa berjalan beriringan. Tidak saling mengacaukan. Insya-Allah, pernikahan tidak menjadikan orang tidak bisa menuntut ilmu.  Kurangnya gairah  menuntut ilmu,  bukanlah karena  melakukan  pernikahan. Rasanya, agak mustahil Allah menyerukan dua hal yang sama-sama mulia, tetapi sifatnya justru saling bertentangan (Mudah-mudahan anggapan saya ini tidak salah).

Kalau kita mau lebih jujur sedikit saja, insya-Allah kita akan mendapati bahwa masalahnya bukan terletak pada status pernikahannya. Sesekali tengoklah rumah kost mahasiswa di Yogya. Anda akan menemukan jam Belajar Masyarakat, Pukul 19.00-
21.00.  Tapi,  ini  bukan  jam  belajar  mahasiswa, sebab  ujian  masih  jauh.  Padahal mereka hidup sejahtera dengan shadaqah tetap dari orangtua.

Dengan  demikian,  mudah-mudahan  keinginan  mencari  ilmu  tidak  membuat Anda mempersulit pernikahan. Pertimbangkanlah masak-masak madharat dan mafsadahnya jika Anda berat untuk menerima pinangan semata-mata karena ingin tetap menuntut ilmu, sedangkan Anda telah memiliki kesiapan dan mempunyai bekal yang cukup. Saya khawatir, menunda-nunda pernikahan karena alasan ini sementara mental telah siap, justru melahirkan madharat. Antara lain kompleks psikis yang berat.

Sekali saat, luangkanlah waktu untuk merenungkan masalah ini sejenak. Pikirkanlah  secara  jernih.    Apalagi  pada  masa-masa  yang  rawan  fitnah  seperti sekarang ini.

Ukhty fillah, marilah kita berdo'a semoga Allah menjernihkan hati kita setelah kita berkali-kali jatuh dalam kekeruhan jiwa dan pekatnya zhan yang kurang baik.



Mengenai Syarat Nikah

Terkadang, kata Syaikh Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, seorang wanita mensyaratkan kepada orang yang meminangnya dengan persyaratan tertentu agar bisa menikahinya.Syarat itu adakalanya menegakkan dan memperkuat akad nikah. Adakalanya merusak akad nikah, misalnya tidak boleh menjima' sebelum lulus kuliah. Adakalanya, wanita mengajukan persyaratan yang keluar dari masalah tersebut seluruhnya.

Syarat nikah adakalanya berasal dari keinginan calon mempelai wanita. Tetapi, adakalanya berasal dari kehendak orangtua atau anggota keluarga lain. Keinginan itu kemudian dibebankan kepada anak gadisnya agar mempersyaratkan kepada calon suami yang akan menikahinya.

Islam membolehkan wanita mengajukan syarat-syarat nikah kepada calon suaminya  ketika  melakukan  akad.  Jika  Anda  termasuk  yang  berkeinginan untuk mengajukan beberapa persyaratan kepada orang yang meminang Anda, silakan baca bab "Di manakah Wanita-wanita Barakah Itu?" di bagian satu jendela pertama buku ini. Saya berharap kepada Allah, mudah-mudahan saya bisa membahas masalah ini lebih mendalam. Adapun tinjauan menurut fiqih, silakan periksa buku-buku lain yang telah menjelaskan masalah ini dengan sangat baik.

Wallahu A'lam bishawab.

Pada bab ini, cukuplah saya kutipkan sebuah hadis. Rasulullah bersabda, "Seorang wanita yang penuh barakah dan mendapat anugerah Allah adalah yang maharnya murah, mudah menikahinya, dan akhlaknya baik. Namun sebaliknya, wanita yang celaka adalah yang mahal maharnya, sulit menikahinya, dan buruk akhlaknya."

Dari 'Aisyah r.a., bahwa Rasulullah bersabda, "Nikah yang paling besar barakahnya adalah yang paling kecil maharnya."

Nikah  yang  paling  besar  barakahnya  bukan  yang  sangat  besar  maharnya, sehingga menimbulkan decak kagum pada tetangga dan kenalan, serta perasaan takut dan gemetaran pada orang-orang berikutnya yang mau nikah. Nikah yang paling besar barakahnya bukan yang paling banyak hadiahnya, sehingga menimbulkan perasaan malu bagi saudara-saudara dan kerabat yang menikah tanpa hadiah sebesar itu dari calon suaminya.

Jadi, begitulah. Selebihnya, wallahu A'lam bishawab.



Menyampaikan Isi Hati Kepada Ibu

Anda mungkin mempunyai pandangan mengenai pernikahan yang agak berbeda dengan yang banyak dipahami masyarakat, khususnya orangtua. Anda menghendaki tata cara yang menurut Anda lebih Islami, misalnya. Sementara yang demikian ini masih kurang dikenal.

Perbedaan pandangan  itu bisa jadi karena Anda telah belajar lebih banyak, bisa jadi karena pengetahuan Anda masih kurang sehingga belum bisa bersikap di tengah- tengah. Jika tidak dikomunikasikan, perbedaan ini bisa mendatangkan masalah. Membicarakannya jauh-jauh hari, bahkan ketika pinangan belum tiba, insya-Allah lebih dekat dengan kemaslahatan dan membuahkan kesejukan bagi semua pihak. Demikian juga pandangan mengenai suami yang baik dan insya-Allah dapat membahagiakan Anda. Suami yang  dapat menjadi teman  hidup  dan  menyiapkan perbekalan menuju kampung akhirat.

Atau...? Anda mungkin telah mempunyai perasaan tentang siapa kiranya laki-laki yang paling sesuai di hati Anda untuk teman pulang ke kampung akhirat, seandainya ada orang-orang yang ingin bersungguh-sungguh menemani Anda. Barangkali, seperti Syafura putri Nabi Syuaib, di dalam hati Anda telah tertambat harapan kepada seseorang yang menurut Anda tsiqah (bisa dipercaya). Sementara Anda gelisah, apa yang paling maslahat (membawa kebaikan) untuk dilakukan.

Atau, ada rahasia-rahasia lain yang tidak layak bagi saya untuk mengetahuinya, padahal masalah itu sangat berarti bagi Anda.

Ada  bagian-bagian rahasia  hati  yang  dapat  Anda  simpan  sendiri.  Meskipun demikian, ada sejumlah rahasia hati yang sebaiknya Anda kemukakan pada orang terdekat, selagi belum datang pinangan. Sampaikan rahasia hati Anda yang menyangkut masalah penting dalam hidup Anda kepada ibu. Jika malu, Anda bisa menyampaikan kepada nenek. Bisa juga kepada tante atau kakak wanita yang telah memiliki pengalaman hidup. Mereka insya-Allah dapat bersikap bijaksana. Sehingga kalau ada masalah yang Anda anggap pelik, mudah-mudahan Allah memudahkan jalan keluarnya.

Kalau orangtua melihat ada madharat dan mafsadat yang mungkin terjadi dalam masalah Anda, insya-Allah mereka dapat memikirkan jalan  keluarnya. Sehingga, Anda akan mendapat pemecahan terbaik.

Mereka telah memiliki pengalaman hidup. Bagi anak perempuan, seorang ayah memiliki hak perwalian. Tidak sah nikah tanpa wali. Ada berbagai hadis yang menunjukkan hal ini. Silakan Anda periksa. Semoga Allah Swt. memberikan hidayah dan ilmu kepada kita, sehingga kita menjadi orang-orang yang yakin. Orang-orang yang memahami hikmah di balik disyariatkannya wali pernikahan seorang anak gadis.

Komunikasikanlah rahasia hati Anda, termasuk pandangan Anda tentang pernikahan. Komunikasikanlah secara lemah lembut dengan pembicaraan yang memuliakan mereka. Sehingga ketika masanya tiba, insya-Allah semua berjalan dengan penuh kemaslahatan, barakah dan melegakan semua pihak.

Allahu A'lam bishawab.

Komunikasikanlah   baik-baik.   Mudah-mudahan   semuanya   berujung   pada kebaikan dunia-akhirat. Allahumma amin.



Jangan Buka Pintu Lagi

Suatu ketika seorang akhwat datang dengan membawa masalah. Seorang laki- laki yang baik agamanya, begitu menurut akhwat tersebut, telah meminangnya dan dengan  tangan  terbuka  diterima.  Tetapi  karena  sesuatu  dan  lain  hal  (sekedar menirukan gaya panitia ketika menyampaikan kabar tentang pembicara yang tidak bisa  datang), pernikahan belum bisa  diselenggarakan segera. Masih perlu waktu untuk melengkapi keperluan nikah.

Dalam masa penantian, secara informal ada ikhwan lain datang dengan maksud untuk meminang. Ketika diberitahu bahwa telah ada yang meminang dan sekarang sedang dalam penantian, ikhwan kita ini mengatakan tak masalah. Bukankah belum ada  akad  nikah?  Kalau  nanti  di  tengah  jalan  ternyata  peminang  pertama  jadi menikahi, maka dia akan mundur dengan senang hati. Karena itu, tak ada salahnya kan kalau mencoba-coba untuk menjajagi kemungkinan menikah? Toh, kalau peminang pertama memang serius  bisa  mundur sewaktu-waktu. Sementara kalau tidak jadi, dia bisa maju.

Tapi, mencabut perasaan dan keputusan ternyata tak semudah mencabut duri dalam  daging.  Sekarang  keduanya  berkeinginan  untuk  segera  menikah  dengan sahabat kita  ini  dan kedua-duanya siap untuk segera melangsungkan pernikahan. Persoalan ini semakin sulit dipecahkan karena sahabat kita merasa kedua-duanya baik.  Selain  itu,  sangat tidak  mudah untuk  menyuruh salah  satu  mundur karena keduanya sudah melangkah agak jauh. Ikhwan yang pertama telah  meminta  dan orangtua kedua belah pihak telah saling mengadakan pembicaraan.

Pembaca,

Ketika persoalan ini dihadapkan kepada saya, tidak ada jalan keluar yang saya tawarkan kepada saudara kita ini. Saya berada dalam perasaan yang tidak jelas. Saya hanya teringat pesan Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wasallam agar tidak meminang wanita yang sedang berada dalam pinangan saudaranya. Perintah yang ada dalam hadis Nabi itu ditujukan kepada kaum laki-laki. Tetapi, saya rasa (ya, saya rasa) wanita pun perlu membantu saudaranya --yakni laki-laki Muslim-- agar tak meminangnya ketika ia sedang berada dalam pinangan, terutama ketika pinangan itu telah positif dinyatakan diterima.

Marilah sejenak kita tengok hadis Nabi Saw. ini. Nabi kita yang mulia telah mengingatkan:



Dari 'Uqbah bin 'Amir r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, "Orang mukmin adalah saudara orang mukmin yang lain. Maka tidak halal bagi seorang mukmin menjual  barang  yang  sudah  dibeli  saudaranya, dan  tidak  halal  pula  meminang wanita  yang  sudah  dipinang  saudaranya,  sehingga  saudaranya  itu meninggalkannya." (HR Jama'ah).

Rasulullah juga bersabda:

Dan dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. beliau bersabda, "Jangan hendaknya lelaki meminang wanita yang telah dipinang orang lain, sehingga orang itu melangsungkan perkawinan atau meninggalkannya (tidak jadi)." (HR Ahmad dan Muslim).

Apa arti pesan Rasulullah itu bagi kita? Jawaban pertama adalah wallahu A'lam bishawab. Saya tidak tahu apa-apa tentang soal ini. Sesudah itu, mari kita periksa apa hikmah di balik peringatan untuk tidak meminang pinangan saudaranya sesama Mukmin ini. Mari kita ingat perkataan Ummul Mukminin 'Aisyah radhiyallahu 'anha mengenai pernikahan sebelum kita melangkah lebih dalam. Kata 'Aisyah r.a., "Pernikahan itu sangat sensitif, dan tergantung kepada pribadi masing-masing untuk mendapatkan kemuliaannya."

Pernikahan itu  sangat sensitif. Hampir setiap  hal  yang bersangkutan dengan nikah sangat sensitif. Hampir setiap tahap dan proses peka terhadap munculnya sikap maupun perasaan-perasaan tertentu  secara  khusus, baik  yang  dinyatakan ataupun tidak. Apa saja yang ada dalam proses menuju pernikahan maupun fase-fase awal pernikahan,  mudah  membangkitkan perasaan  yang  kuat,  negatif  maupun  positif. Padahal, lembaga pernikahan sangat agung. Lembaga pernikahan sangat mempengaruhi bagaimana orang-orang yang ada di dalamnya serta anak-anak yang dilahirkan kelak akan tumbuh. Secara umum, lembaga pernikahan sebagian besar masyarakat akan menentukan corak masyarakat yang terbentuk.

Kekecewaan dalam pernikahan, terutama proses-proses paling awal dari pernikahan, sangat mudah mempengaruhi sikap orang yang bersangkutan terhadap lawan jenis, ikatan pernikahan, kepercayaan terhadap sesama manusia, dan bahkan agama --khususnya dalam perkara mengimani prinsip-prinsip agama. Secara khusus, cacat dalam proses awal --di antaranya perasaan dilecehkan karena keluarga calon istri menerima pinangan dari orang lain-- dapat mengakibatkan sikapnya kelak kepada istri dan anak-anaknya menjadi tidak baik. Sedangkan bagi peminang kedua -- seandainya kelak menikah dengan peminang kedua-- sikap keluarga/calon istri juga merupakan tanda yang yang tidak baik. Kepercayaan sulit dibangun. "Benar, saat ini saya yang menang. Tapi apa yang dapat menjamin bahwa istri saya ini nanti akan memiliki kesetiaan, sedangkan ludah yang sudah ditumpahkan saja ia masih mau menjilat kembali."

Ini  salah  satu  kemungkinan saja.  Kemungkinan yang  lain  boleh  jadi  bukan sesuatu yang pasti buruk. Tuhan Sangat Kuasa untuk menentukan peristiwa yang sama sekali lain dibanding perhitungan-perhitungan 'aqliyyah (akal) manusia. Hanya saja, sejauh yang mampu saya baca, itulah kemungkinan yang bisa terjadi.

Mudah-mudahan kejadiannya tidak sampai seperti itu. Pintu-pintu Allah masih terbuka, seandainya hati kita mampu mengetuk-Nya. Mudah-mudahan Allah memperbaiki keadaan kita dan menghapus kesalahan-kesalahan kita dengan memperjalankan diri kita beserta keturunan kita ke dalam golongan orang-orang yang suka  berbuat  baik.  Mu-dah-mudahan Allah  kelak  mematikan  kita,  orangtua kita, teman hidup kita, saudara-saudara kita, sahabat-sahabat kita serta orang-orang yang dekat kita dalam keadaan memperoleh ampunan dan ridha Allah.

Setiap kita mempunyai kemungkinan untuk melakukan kesalahan, bahkan yang lebih besar lagi. Mudah-mudahan kita bisa merenungkan lebih dalam tentang urusan agama kita, setahap demi setahap.



Mengapa Engkau Persulit Dirimu?

Banyak saudara-saudara kita yang harus berkeringat deras untuk bisa mencapai pernikahan. Banyak yang bingung harus bagaimana lagi agar desakan untuk menikah bisa surut, sementara puasa sudah dijalaninya dengan istiqamah. Banyak yang harus melewatkan malam-malamnya dengan perasaan gelisah yang memuncak, sehingga kadang harus diteduhkan dengan air mata, demi menenangkan hati dari kerinduan bersanding dengan teman hidup. Banyak yang terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak untuk merintih kepada Tuhan, "Ya Allah, hadirkanlah bagiku istri yang menjadi penyejuk mataku dari sisi-Mu."

Atau, "Ya Allah, hampir-hampir tak kuat hamba-Mu ini menahan keinginan untuk menikah. Ya Allah, inilah hamba-Mu mengadu kepada-Mu."

Banyak yang resah. Dan kemudian Allah menolongnya. Tetapi ada juga yang dimudahkan jalannya oleh Allah untuk menikah. Di saat ada orang-orang yang harus jatuh bangun menghadapi kesulitan, ia dengan ringan dilapangkan jalan untuk menikah. Pada saat ada sejumlah orang yang dihimpit kesedihan karena keinginan untuk menikah semasa masih kuliah tak bisa terlaksana, justru ada yang menyembunyikan pernikahan karena alasan-alasan yang tak  prinsip. Padahal kita dianjurkan untuk segera mengumumkan pernikahan. Walimah, salah satu fungsinya adalah untuk mengabarkan kepada masyarakat tentang pernikahan kita. Adakanlah walimah walau hanya dengan seekor kambing. Kalau tak mampu, dengan menyembelih   seekor   ayam   pun   bisa,   yang   penting   kabar   pernikahan   kita tersampaikan. Bahkan lazim  di  sebagian masyarakat  Jawa  Timur  walimah  nikah diselenggarakan tanpa memotong kambing ataupun ayam.

Mengumumkan nikah bisa merupakan bentuk syukur kita kepada Allah yang telah menyempurnakan setengah dari agama kita. Juga untuk menghindarkan saudara- saudara kita dari fitnah dan tindakan memfitnah kita. Alhasil, mengapa kau sembunyikan pernikahanmu jika tidak ada alasan yang prinsip untuk membuatmu harus merahasiakan pernikahanmu? Mengapa...?

Berbicara tentang walimah, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian. Di sebagian  masyarakat,  pernikahan  sudah  bukan  lagi  bentuk  syukur  kepada  Allah dengan mengharap do'a barakah dari para tamu untuk mempelai berdua. Pesta pernikahan sudah menjadi pertaruhan status sosial, sehingga perhitungan-perhitungan penilaian sosial menjadi sangat diperhatikan.

Dan demi prestise maupun mempertahankan gegap-gempita acara, sebuah pernikahan yang Islami harus tercoreng oleh cacat yang bisa mengurangi barakah (mudah-mudahan   Allah   mengampuni).   Dem mendapatkan   hasil   rias   yang menakjubkan (kita ini memang suka membesarkan diri sendiri, ya) atau menjaga agar riasan tidak luntur, kadang ada yang secara sengaja meninggalkan shalat. Kadang pengantin harus repot dengan riasan-riasan yang memenuhi wajah dan kepalanya ketika ia tetap shalat, karena prosesi merias tetap dilaksanakan menjelang waktu shalat.

Ironis sekali. Di saat Allah menyempurnakan setengah dari agama kita dengan memberi kemudahan bagi kita untuk menikah, kita justru mengecilkan asma' Allah. Padahal setiap shalat ketika selalu bertakbir. "Hanya Engkaulah ya Allah Yang Maha Besar dan Maha Lebih Besar...."

Masih banyak yang bisa kita bicarakan tentang masalah ini. Tapi karena bab ini bukan tentang walimah, maka pembahasan lebih lanjut tentang masalah ini kita tunda dulu. Insya-Allah kita akan mendiskusikannya nanti pada bab Memasuki Malam Zafaf di jendela kedua buku ini.

Sebelum saya akhiri bab kita  ini, saya masih ingin mengingat satu hal  lagi berkenaan dengan walimah. Di masyarakat kita, akhir-akhir ini mulai terjadi kecenderungan menjadikan  walimah  untuk  "investasi".  Penyelenggaraan walimah secara  sengaja diorientasikan hampir semata-mata  untuk mendapatkan uang yang mencukupi untuk kebutuhan hidup beberapa saat. Seorang akhwat bahkan mengeluh, orangtua mengizinkan dia menikah sebelum lulus dengan catatan pesta nikah harus diadakan  besar-besaran  dengan  perhitungan  bahwa  dari  pesta  nikah  itu  akan terkumpul   banyak   sekali   uang.   Dari   uang   yang   terkumpul   ini   nant bisa didepositokan, sehingga bunganya bisa diambil setiap bulan untuk biaya hidup keluarga baru itu sehari-hari.

Jalan pikiran semacam ini kelihatan tepat dan runtut. Tetapi semakin besar dan mewah pesta pernikahan yang dilangsungkan, tidak menjadi jaminan sama sekali bahwa akan semakin besar juga isi amplop yang akan diberikan oleh para tamu. Apalagi dalam situasi seperti sekarang. Oleh karena itu, mengadakan walimah besar- besaran dengan perhitungan seperti itu, saya khawatikan justru akan meninggalkan kekecewaan   yang   besar   manakala   uang   yang   didapat   tidak   cukup   untuk didepositokan. Lebih-lebih kalau sampai "tekor" (merugi) dalam jumlah yang besar, sedangkan modal penyelenggaraan walimah diperoleh dari hutang, sehingga yang tersisa dari pesta pernikahan itu boleh jadi justru tangis dan kesedihan yang panjang. Hari-hari selanjutnya, kecemasan tentang  bagaimana melunasi  hutang  akan  terus mengejar. Mudah-mudahan tidak sampai kehabisan nafas.

Artinya apa? Pesta pernikahan janganlah justru menjatuhkan kita ke dalam madharat dan mafsadah yang besar. Jangan karena perhitungan tentang isi amplop, kita justru menjadi tidak percaya kepada Allah; tidak percaya bahwa Allah menjamin rezeki kita setiap bulan, bahkan setiap hari, setiap jam dan setiap detik. Janganlah pesta pernikahan menjadikan kita berubah, dari berharap kepada rezeki Allah beralih mengharapkan bunga dari deposito bank (padahal bank saja tidak bisa menjamin nasibnya sendiri dari kebangkrutan). Saya teringat dengan teman saya. Di daerahnya, sudah mulai lazim dalam undangan nikah dicantumkan permintaan agar tidak membawa kado, cukup amplop saja.  Karena sudah disarankan oleh shahibul bayt (tuan rumah) untuk membawa amplop  saja,  berangkatlah  mereka  ke  pesta  pernikahan  itu  dengan  menyiapkan amplop masing-masing. Keluarga mempelai  wanita pun berbahagia bahwa tamu- tamunya membawa amplop.

Tapi malang tak dapat ditolak. Untung tak bisa diraih. Setelah dibuka, banyak amplop yang kosong (“Tidak salah mereka,” kata istri saya. “Kan mereka disuruh bawa amplop?).

"Masih untung kalau isi uang seratus perak. Ini kosong sama sekali," kata teman saya cerita.


Di luar itu, ada persoalan lebih mendasar yang membuat sikap mencari dana untuk didepositokan itu tidak tepat. Persoalan itu bukan terletak pada perhitungan- perhitungan ekonomi yang ternyata kemungkinannya untuk "impas" atau "rugi" memang sangat besar. Persoalan yang lebih mendasar ada pada masalah adab, akhlak, aqidah dan khususnya persangkaan kita kepada Allah serta keadaan hati kita tentang apa yang seharusnya dicita-citakan dalam menikah. Andaikan ternyata hasil akhir pesta  nikah  itu  kerugian, lalu  menyebabkan hutang  membengkak, saya  khawatir pengantin yang baru menikah beserta orangtua dan anggota keluarga yang lain senantiasa disibukkan oleh impian-impian, di samping kecemasan-kecemasan berkenaan dengan masalah hutang.


Dikutip dari buku Kado Pernikahan Untuk Istriku
Karya Muhammad Fauzil Adhim



 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes