![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhpV8Dg2ktONvxzqrlgI2HnMdIuXSTzza7VM3zLpjUniK1rBP9yHTSB8KBnJ8RG21wOQgTKAVOFSXDs-fKsO0MtBkKwjWAJkXfGzsLNd7JXU0HmEsElHHKzBxdVBOQJlsxtfTssvn-2kWY/s1600/pengantin.jpg)
Kemandirian Ekonomi
Seorang laki-laki seharusnya
telah mampu membiayai hidupnya sendiri sejak
memasuki masa taklif, yaitu
usia 15 tahun menurut sistem penanggalan qamariyyah atau lunar system. Selambat-lambatnya
usia
18 tahun, seharusnya ia sudah berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
dengan hasil keringatnya
sendiri, walaupun orangtua masih mampu membiayai dan sekaligus masih mau membiayai. Ketika menikah, ia mempunyai
kewajiban untuk menafkahi istrinya, termasuk di
dalamnya makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal
dengan cara yang baik. Setelah
menikah, orangtua tidak mempunyai kewajiban memberi nafkah terhadap anak
perempuannya. Kebutuhan ekonomi seorang wanita menjadi tanggungan suami. Adapun kalau orangtua memberi,
itu bersifat shadaqah. Tidak wajib.
Tetapi, marilah
kita simak hadis berikut.
Rasulullah Saw. bersabda, "Sedekah
tidak halal buat orang kaya dan orang yang masih mempunyai
kekuatan dengan sempurna."
(HR Tirmidzi).
Karena itu, seorang
laki-laki hendaknya berusaha
mandiri. Apalagi ketika ia
telah mempunyai niat untuk menikah, bahkan telah meminang. Berusaha untuk memenuhi kebutuhan ekonomi diri sendiri dan keluarga adalah suatu kehormatan,
sehingga seseorang lebih bisa menegakkan kepala ketika ada sesuatu yang harus disikapi. Ketergantungan secara ekonomi kepada keluarga,
bisa melahirkan tekanan psikis dan konflik-konflik yang pelik
manakala seseorang telah menikah.
Kemandirian
ini perlu saya bahas di sini mengingat pentingnya masalah. Sebagian laki-laki berharap menikah,
akan tetapi hendak menggantungkan kebutuhan ekonominya kepada keluarga. Di antara mereka bahkan ada yang
bersikap agak apatis
terhadap usaha mencari sendiri penghasilan
yang halal, sebelum menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi. Ada pikiran untuk tetap meminta kiriman orangtua,
dan mengharapkan agar orangtua
istrinya juga tetap mengirimkan
biaya hidup setiap bulannya.
Sikap ini melemahkan keberanian untuk bertanggungjawab
terhadap istri yang dinikahinya. Tanggung jawab tidak hanya berkait dengan kewajiban
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, melainkan mencakup pula berbagai tanggung
jawab lain yang juga bersifat
penting dan mendasar
bagi kehidupan bersama
dalam rumah tangga.
Sikap ini potensial untuk menimbulkan konflik, terutama konflik
psikis bagi istri. Harga diri dan rasa percaya diri sebagai keluarga sulit untuk ditegakkan. Dengan demikian ketergantungan secara ekonomi melahirkan
ketidakberdayaan pada aspek- aspek lain yang
seharusnya
dibangun berdua dalam rumah-tangga yang mesra. Mereka mempunyai posisi yang lemah di hadapan
orangtua, mertua, saudara,
kerabat lain, dan bahkan mereka lemah di hadapan
dirinya sendiri. Kepercayaan istri terhadap
integritas pribadi suami juga kurang
bisa terbangun.
Dampak dari keadaan ini sangat
luas, khususnya terhadap
pembentukan orientasi keluarga dan kesiapannya untuk memberikan pendidikan kepada anak menurut apa yang
dipandang maslahat dan ideal. Kurang terbangunnya rasa percaya diri sekaligus harga diri sebagai keluarga, mempengaruhi
citra mereka tentang keluarga mereka sendiri. Ini mempengaruhi
mereka dalam memberi pengasuhan kepada
anak, sehingga bisa melahirkan pola-pola
sikap yang kurang sesuai dalam mengasuh anak. Sejak dari
child-abuse (kekejaman terhadap anak), pengabaian
anak sampai ketidakpekaan orangtua terhadap kebutuhan psikis anak. Kalau ditarik lagi, akan terdapat
rentetan dampak psikis yang lain. Lalu, bagaimana kalau
orangtua berinisiatif
untuk
tetap
membiayai anaknya
masing-masing agar kuliahnya
dapat diselesaikan dengan baik? Tidak masalah dan bahkan baik, sejauh suami tetap mempunyai
keinginan untuk tidak menggantungkan diri sepenuhnya kepada kiriman orangtua. Sekalipun
kenyataannya, hampir seratus
persen masih tetap berasal dari orangtua masing-masing. Tetapi niat yang kuat untuk
tidak menggantungkan sepenuhnya, merupakan bentuk adanya tanggung
jawab. Inilah yang paling
penting.
Rasulullah Saw. bersabda, "Terlaknatlah orang yang membebankan semua kebutuhannya kepada
orang lain."
Terkadang, inisiatif
menikah berasal dari orangtua
demi menyelamatkan anaknya
dari kekejaman maksiat. Mereka menawarkan
untuk tetap membiayai kuliah sampai
selesai sekaligus memberi biaya hidup. Ini adalah sikap yang baik dan terpuji. Insya-
Allah, kelak mereka akan menjumpai upayanya sebagai kemuliaan di akhirat. Allahumma amin.
Tetapi, kesediaan orangtua tertentu --ada yang bahkan mengajukan inisiatif-- untuk membiayai keluarga yang baru dibangun
oleh anak mereka, tidak bisa menjadi ukuran agar orangtuanya juga memberi perlakuan
yang sama terhadap keluarganya. Kalau pun orangtua ternyata
menjaminkan biaya hidup, mestinya ia juga tetap memiliki keinginan yang kuat
untuk
mencari nafkah yang halal dan thayyib agar yang masuk ke perut istri, kelak janin yang dikandung
istrinya hingga saatnya lahir, adalah
harta yang halal dan utama.
Islam menunjukkan sikap yang sangat menghargai kesungguhan seorang pemuda memenuhi kebutuhan ekonominya sendiri.
Rasulullah Saww. bersabda:
"Ibadah itu ada tujuh puluh bagian, yang paling utama adalah mencari (rezeki)
yang halal."
Rasulullah Saw. juga bersabda:
"Mencari rezeki yang halal adalah
kewajiban sesudah
kewajiban shalat."
Pada hadis yang lain, Rasulullah Saww. bersabda, "Tidak seorang pun makan makanan yang lebih baik daripada yang dihasilkan dari hasil kerja tangannya
(sendiri)." (HR Bukhari).
Rasulullah Saw. juga bersabda:
"Orang yang minta-minta padahal tidak begitu
menghajatkan, sama halnya dengan orang yang memungut
bara api." (HR Baihaqi
dan Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya).
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadis shahih, bahwa Rasulullah Saw. bersabda, "Selalu minta-minta
itu dilakukan oleh oleh seseorang di
antara kamu, sehingga dia akan bertemu Allah, dan tidak ada di mukanya sepotong daging." (HR Bukhari
dan Muslim).
Rasulullah Saw. juga menegaskan: "Barangsiapa merasa lelah karena bekerja sehari suntuk untuk mencari rezeki yang halal, niscaya diampuni
segala dosanya."
Ketika seseorang telah diampuni
segala dosanya, maka Allah akan mencurahkan
rahmat-Nya. Ia menjadi penjaga dan pelindung. Dan Allah adalah sebaik-baik pelindung. Kalau Allah yang memberi penjagaan, insya-Allah
kelak akan lahir dari
rahim istri anak-anak yang takwa lagi suci sebagaimana do'a suami ketika
pertama kali memegang kening
istrinya. Insya-Allah mereka akan menjadi anak yang memberi bobot
kepada bumi dengan
kalimat laa ilaaha
illaLlah. Sedang di akhirat mereka akan menjadi penolong bagi orangtuanya
selagi orangtuanya tetap beriman, meski derajat amalnya tidak sebanding dengan derajat amal anaknya.
Nanti, simaklah Ar- Ra'd ayat 23.
Oleh karena itu, ketika datang pinangan, perhatikan apakah calon suami Anda
telah mandiri. Kalau
tidak, apakah calon suami Anda selama ini telah
berusaha
mandiri dan mempunyai iktikad untuk mandiri.
Barangkali ia belum mempunyai penghasilan yang memadai. Tetapi pilihan sikapnya untuk mandiri, insya-Allah menjadi petunjuk tentang kesiapannya
memikul
tanggung jawab sebagai suami dan kelak sebagai ayah. Seorang suami yang bertanggung jawab lebih berarti dan lebih dekat dengan keselamatan dunia-akhirat
serta kemesraan keluarga. Insya-Allah,
kehadiran Anda kelak sebagai istri, memudahkan
pertolongan Allah terhadap datangnya
rezeki yang mencukupi kebutuhan-kebutuhan keluarga. Mencukupi
kebutuhannya yang besarnya barangkali tak terbayangkan
dapat dipenuhinya ketika calon suami Anda belum menikah seperti sekarang ini.
Allah akan menolong.
Insya-Allah.
Ada beberapa hadis yang menunjukkan hal ini.
Rasulullah Saw. bersabda, "Carilah oleh kalian rezeki dalam pernikahan (dalam kehidupan berkeluarga)."
(HR Imam Ad-Dailami dalam Musnad
Al-Firdaus).
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah bersabda, "Tiga orang yang akan selalu
diberi pertolongan oleh Allah adalah seorang mujahid yang selalu memperjuangkan
agama Allah Swt., seorang penulis
yang selalu memberi penawar, dan seorang yang menikah demi menjaga kehormatan dirinya." (HR Thabrani).
Dalam hadis lain
dengan derajat shahih, Rasulullah Saww. bersabda:
"Tiga golongan orang yang pasti mendapat pertolongan Allah, yaitu budak mukatab
yang bermaksud
untuk
melunasi
perjanjiannya, orang yang menikah dengan maksud memelihara
kehormatannya,
dan yang orang berjihad
di
jalan
Allah." (HR Turmudzi, An-Nasa'i, Al-Hakim
dan Daruquthni).
Di dalam Al-Qur'anul
Karim, Allah Swt. telah berfirman,
"Dan kawinkanlah orang yang sendirian
diantara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan.
Jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya." (QS An- Nur:32).
Berkenaan
dengan ayat ini, Abu
Bakar Ash-Shiddiq r.a. berkata, "Taatlah kepada Allah dalam apa yang diperintahkan
kepadamu yaitu perkawinan, maka Allah akan
melestarikan janji-Nya kepadamu
yaitu kekayaan. Allah
telah berfirman; 'jika mereka miskin, Allah akan memampukan
mereka dengan karunia-Nya'". (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim, dari Ad-Dur Al-Mantsur).
Ada perkataan dari Umar bin Khaththab yang dapat Anda renungkan.
Beliau berkata, "Sungguh aku memaksakan
diri bersetubuh dengan harapan Allah akan
mengkaruniakan dariku makhluk
yang akan bertasbih dan mengingat-Nya."
Dan Umar pun menganjurkan, "Perbanyaklah anak,
karena kalian tidak tahu dari
anak yang mana kalian mendapatkan rizki."
Akhirnya,
marilah kita menengok sebuah hadis Nabi. Luruskanlah niat dan tumbuhkan keyakinan. Mudah-mudahan dengan jernihnya
pikiran dan bersihnya
hati ketika mempertimbangkan pinangan seorang pemuda yang akhlaknya tidak engkau
ragukan, sedangkan kemampuannya memenuhi
ma'isyah saat ini masih belum mapan,
mendekatkan pada pertolongan-Nya.
Mari kita simak hadis ini, mudah-mudahan Allah memasukkan keyakinan dan
husnuzhan kepada-Nya.
Rasulullah Muhammad Saw. diriwayatkan
berkata,
"Kawinkanlah orang-orang yang masih sendirian di antara kamu, sesungguhnya Allah akan memperbaiki akhlak
mereka, meluaskan rezeki mereka,
dan menambah keluhuran mereka."
Allah Maha Luas Pertolongan-Nya. Maha Luas.
Ada Ladang Amal Shalih
Pernikahan adalah keagungan yang diberikan Tuhan kepada manusia.
Di dalamnya ada keindahan dan ketenteraman. Di dalamnya
ada
rasa
cinta kepada
kekasih yang menemukan tamannya. Di dalamnya juga ada ladang
amal shalih.
Jodoh ada di tangan Tuhan. Kadang-kadang seorang wanita mendapatkan
pendamping yang sekilas
menurut pandangan mata zhahir manusia, tidak sepadan ilmu maupun ibadahnya. Wanitanya sangat khusyuk dalam beribadah, kuat menegakkan shalat malam --barangkali seperti Rabi'ah Asy-Syamiyah-- dan
tinggi ilmu agamanya. Sedangkan laki-laki
yang menikahinya, ternyata
tidak sebanding dalam hal ilmu
maupun ibadah.
Sebaliknya juga bisa terjadi. Laki-lakinya sangat luas pengetahuannya mengenai kitab-kitab yang berisi ilmu-ilmu agama. Bekas shalatnya tampak di kening.
Tetapi istrinya sekilas tidak mencapai kedudukan yang sederajat karena ilmu dan ibadahnya
yang kurang. Ada pertanyaan,
mengapa demikian? Jawab saya sederhana, wallahu a'lam
bishawab. Allah Maha Bijaksana. Ia mengetahui kebaikan-kebaikan besar yang tidak nampak dalam penglihatan mata akal kita. Sebagian dari pernikahan semacam itu adalah ujian, kecuali jika mereka memang memilih bukan atas dasar agama.
Mereka menikahi laki-laki atau wanita yang tidak sepadan
karena mengejar kemuliaan,
harta, atau martabat. Tentang
ini
Rasulullah
telah memperingatkan agar kita tidak terjerumus ke dalamnya.
Tetapi, adakalanya pernikahan semacam ini berlangsung
tidak karena dorongan- dorongan rendah seperti itu. Pernikahan
yang sepintas tidak seimbang itu, membuka
ladang amal shalih yang tidak bisa dilakukan oleh mereka yang belum menikah. Tugas suami memang memberi pendidikan dan pengarahan kepada
istri. Tetapi ketika istri mempunyai
pengetahuan agama yang lebih banyak, dia dapat mengajarkan
kepada suaminya apa-apa yang belum diketahui suaminya,
dengan niat berbakti kepada suami dalam rangka mencari ridha Allah. Insya-Allah, pada pernikahan yang semacam ini Allah melimpahkan barakah dan kelak memberikan
keturunan yang memberi bobot kepada
bumi dengan kalimat
laa ilaaha
illaLlah.
Seorang istri yang mengajarkan
beberapa pengetahuan agama kepada suaminya, perlu berhati-hati agar tidak terjatuh kepada
sikap meninggikan diri di hadapan suami. Sehingga ia tidak mendengarkan kata-kata suaminya
dan tidak menaati. Juga, seorang wanita shalihah perlu menjaga diri benar-benar agar sikapnya tidak menjauhkan
suami dari ibunya sedemikian sehingga si suami lebih mendengar kata-kata istrinya dan mengabaikan nasehat
ibunya.
Seorang suami yang memiliki ilmu agama yang lebih tinggi dari istri, dapat
menjadi pegangan bagi istri untuk bertanya hal-hal
yang tidak diketahuinya. Suami yang demikian
ini perlu memiliki sifat yang penuh kasih-sayang,
membimbing dan
ridha ketika mendidik dan mengarahkan istrinya. Mudah-mudahan
istri dapat belajar kepada suaminya bagaimana memberikan
pengajaran dan pendidikan kepada anak- anak
yang lahir dari rahimnya, kelak ketika Allah telah menjadikan dia merelakan
rasa sakitnya untuk melahirkan.
Setiap
ilmu yang
sampai
kepada manusia dan
diamalkan, maka
Allah
mengalirkan pahala kepada yang menyampaikan
tanpa mengurangi pahala yang
melaksanakan sedikit pun. Kalau
amalan suami yang diridhai Allah berawal dari ilmu yang
disampaikan istri, maka baginya pahala sebanyak
yang dilakukan oleh suami tanpa terkurangi. Demikian juga sebaliknya, istri yang mengerjakan kebajikan setelah
mendapatkan pendidikan dari suaminya,
maka Allah akan mencatat kebaikan
yang sama. Insya-Allah, di sinilah ilmu akan barakah sampai anak-cucu.
Kalau suami-istri itu adalah ahli ibadah, insya-Allah mereka dapat saling membantu dalam ketakwaan.
Kalau istri sudah menjadikan
shalat malam sebagai perhiasan hidupnya,
sedangkan suami masih belum terbiasa, istri dapat membiasakan suaminya untuk mulai menegakkan
shalat malam. Demikian pula bagi seorang suami,
ia dapat membimbing istri untuk melakukan shalat malam di rumah. Adapun
kalau keduanya belum terbiasa untuk shalat malam, mereka dapat saling
membantu. Ada banyak hadis yang dapat kita renungkan,
misalnya hadis yang diriwayatkan oleh Nasa'i, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban di dalam shahihnya
serta al-Hakim, bahwa Rasulu-llah bersabda, "Barangsiapa bangun malam dan membangunkan istrinya kemudian keduanya shalat dua raka'at --Nasa'i menambahkan, berjama'ah-- maka
keduanya ditulis di antara orang-orang lelaki dan orang-orang
perempuan yang banyak berzikir". (Al-Hakim berkata: shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim.
Muhammad Nashiruddin Al-Albani menyatakan, hadis ini shahih).
Pembahasan lebih lanjut insya-Allah kita lakukan pada
bab Keindahan Yang Lebih Besar, di bagian dua jendela kedua buku ini. Saat
ini, yang penting adalah memeriksa sikap calon
suami yang datang
meminang Anda. Sikap dan semangat yang baik, insya-Allah lebih dapat mengantarkan suami-istri kepada jalan kebaikan.
Betapa banyak orang yang mempunyai
pengetahuan luas, tetapi kurang memiliki keyakinan.
Jadi, inilah jawaban saya atas pertanyaan
sebagian akhwat mengenai (calon) suami
yang ilmu agamanya
kurang atau suami yang ilmu agamanya
jauh lebih tinggi. Di
luar itu, saya ingin menambahkan.
Kita tidak
bisa mengukur tinggi
tidaknya derajat ketakwaan seseorang. Ada kalanya
seseorang mencapai derajat
yang tinggi bukan karena banyaknya ibadah yang dilakukan
maupun luasnya pengetahuan yang dimiliki. Ia mencapai derajat yang lebih tinggi karena kejujurannya
dalam berdagang maupun hati yang tidak pernah memiliki prasangka buruk kepada saudaranya
sesama muslim, misalnya.
Allahu A'lam bishawab wallahul musta'an.
Nikah dan Menuntut Ilmu
Islam memandang pernikahan sebagai kemuliaan
yang sangat tinggi derajatnya.
Allah menyebut ikatan pernikahan sebagai
mitsaqan-ghalizha (perjanjian yang sangat berat). Hanya tiga kali istilah ini disebutkan
dalam Al-Qur'an, dua lainnya berkenaan dengan tauhid. Sedang tauhid
adalah inti agama.
Islam menganjurkan ummatnya untuk menikah. Demikian tingginya
kedudukan pernikahan dalam Islam, sehingga menikah
merupakan jalan penyempurnaan separuh agama. Rasulullah Saw. bersabda, "Apabila
seorang hamba telah berkeluarga,
berarti dia telah menyempurnakan
separuh dari agamanya. Maka takutlah kepada Allah terhadap separuh yang lainnya." (HR Ath-Thabrani).
Islam juga meletakkan penghormatan yang sangat tinggi
terhadap ilmu dan orang yang menuntutnya. Banyak sekali hadis shahih maupun hasan yang
menunjukkan keutamaan menuntut ilmu. Dalam surat Al-Mujadilah,
Allah Swt. telah berfirman, "Allah mengangkat
derajat
orang-orang beriman dan orang-orang berilmu beberapa derajat."
Shafwan bin 'Assal al-Muradi r.a. mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda, "Selamat datang kepada penuntut ilmu, sesungguhnya penuntut ilmu dikitari oleh para malaikat
dengan sayap-sayapnya kemudian sebagian mereka menaiki sebagian yang lain hingga mencapai langit dunia karena
kecintaan
mereka kepada apa yang ia tuntut."
(HR Ahmad dan Thabrani).
"Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim," kata Rasulullah Saw. dalam hadis shahih yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya. Menuntut
ilmu wajib atas setiap muslim, laki-laki
maupun perempuan, sejak lahir hingga masuk ke liang lahat. Menikah juga diarahkan
untuk tetap utuh dalam keluarga
yang sakinah mawaddah warahmah sampai kematian menjemput mereka. Mudah-mudahan keduanya
akan mendapati pernikahan
sebagai jalan yang diridhai Allah
dan mengantarkan kepada
keselamatan dari pedihnya
siksa api neraka.
Pernikahan dan menuntut ilmu diharapkan untuk seumur hidup. Maka mestinya keduanya berjalan seiring. Menuntut ilmu seharusnya lebih memberikan
kesiapan dan bekal bagi penuntutnya
untuk menikah, serta menegakkan
kehangatan keluarga. Menuntut ilmu seharusnya mendorong seseorang
untuk lebih bersemangat
menikah, dan lebih
yakin
terhadap janji
Allah kepada
orang
yang
menikah demi menyelamatkan kehormatannya dari lawan jenis yang masih belum halal. Sementara menikah, seharusnya membuat orang lebih matang dalam berilmu. Seharusnya,
....ya seharusnya...!
Seharusnya, pernikahan dan mencari ilmu bisa berjalan beriringan. Tidak saling mengacaukan. Insya-Allah, pernikahan tidak menjadikan orang tidak bisa menuntut ilmu. Kurangnya gairah menuntut ilmu, bukanlah karena melakukan pernikahan.
Rasanya, agak mustahil Allah menyerukan
dua hal yang sama-sama mulia, tetapi sifatnya justru saling bertentangan (Mudah-mudahan anggapan saya ini tidak salah).
Kalau kita mau lebih jujur sedikit saja, insya-Allah
kita akan mendapati bahwa
masalahnya bukan terletak pada status pernikahannya. Sesekali tengoklah rumah kost mahasiswa di Yogya. Anda akan menemukan jam Belajar Masyarakat,
Pukul 19.00-
21.00. Tapi, ini bukan
jam
belajar
mahasiswa, sebab
ujian
masih jauh. Padahal
mereka hidup sejahtera dengan shadaqah tetap dari orangtua.
Dengan demikian,
mudah-mudahan
keinginan mencari ilmu tidak
membuat
Anda mempersulit pernikahan. Pertimbangkanlah
masak-masak madharat dan mafsadahnya jika Anda berat untuk menerima pinangan semata-mata karena ingin
tetap menuntut ilmu, sedangkan Anda telah memiliki kesiapan dan mempunyai bekal yang cukup. Saya khawatir,
menunda-nunda pernikahan karena alasan ini sementara mental telah siap, justru
melahirkan madharat. Antara lain kompleks psikis
yang berat.
Sekali saat, luangkanlah waktu untuk merenungkan
masalah ini sejenak. Pikirkanlah secara jernih. Apalagi
pada masa-masa yang rawan fitnah seperti sekarang ini.
Ukhty fillah, marilah kita berdo'a
semoga Allah menjernihkan hati kita setelah
kita berkali-kali jatuh dalam kekeruhan jiwa dan pekatnya zhan yang kurang baik.
Mengenai Syarat Nikah
Terkadang, kata Syaikh Abu Bakr Jabir Al-Jazairi,
seorang wanita mensyaratkan kepada orang yang meminangnya dengan persyaratan tertentu
agar bisa menikahinya.Syarat itu adakalanya menegakkan dan memperkuat akad nikah. Adakalanya merusak
akad nikah, misalnya tidak boleh menjima' sebelum lulus kuliah. Adakalanya, wanita mengajukan persyaratan yang keluar
dari masalah tersebut seluruhnya.
Syarat nikah adakalanya berasal dari keinginan calon mempelai wanita. Tetapi, adakalanya berasal dari kehendak orangtua
atau
anggota keluarga lain. Keinginan itu
kemudian dibebankan kepada anak gadisnya agar mempersyaratkan
kepada calon suami yang akan menikahinya.
Islam membolehkan
wanita mengajukan syarat-syarat nikah kepada calon
suaminya ketika melakukan akad. Jika Anda termasuk yang berkeinginan untuk mengajukan beberapa persyaratan kepada orang yang meminang Anda, silakan baca
bab "Di manakah Wanita-wanita
Barakah Itu?" di bagian satu jendela pertama buku
ini. Saya berharap kepada Allah, mudah-mudahan
saya
bisa membahas masalah ini lebih
mendalam. Adapun tinjauan
menurut fiqih, silakan periksa buku-buku
lain yang telah menjelaskan masalah
ini dengan sangat baik.
Wallahu A'lam bishawab.
Pada bab ini, cukuplah saya kutipkan
sebuah hadis. Rasulullah
bersabda, "Seorang wanita yang penuh barakah dan mendapat anugerah Allah adalah yang maharnya murah, mudah menikahinya, dan akhlaknya baik. Namun sebaliknya,
wanita yang celaka adalah yang mahal maharnya,
sulit menikahinya, dan buruk akhlaknya."
Dari 'Aisyah r.a.,
bahwa Rasulullah bersabda, "Nikah yang paling besar
barakahnya adalah yang paling kecil maharnya."
Nikah yang paling besar barakahnya bukan yang sangat
besar
maharnya,
sehingga menimbulkan decak kagum pada tetangga dan kenalan, serta perasaan takut
dan gemetaran pada orang-orang berikutnya yang mau nikah. Nikah yang paling besar
barakahnya bukan yang paling banyak hadiahnya, sehingga menimbulkan
perasaan malu bagi saudara-saudara dan kerabat yang menikah tanpa hadiah sebesar itu dari calon
suaminya.
Jadi, begitulah. Selebihnya, wallahu A'lam bishawab.
Menyampaikan Isi Hati Kepada
Ibu
Anda mungkin mempunyai pandangan mengenai pernikahan yang agak berbeda dengan
yang banyak dipahami masyarakat,
khususnya orangtua. Anda menghendaki
tata cara yang menurut Anda lebih Islami, misalnya. Sementara
yang demikian ini masih kurang
dikenal.
Perbedaan pandangan itu bisa jadi karena Anda telah belajar lebih banyak, bisa
jadi karena pengetahuan Anda masih kurang sehingga belum bisa bersikap di tengah- tengah. Jika tidak dikomunikasikan,
perbedaan ini bisa mendatangkan masalah.
Membicarakannya jauh-jauh hari, bahkan ketika pinangan
belum tiba, insya-Allah lebih dekat
dengan kemaslahatan dan membuahkan
kesejukan bagi semua pihak. Demikian juga pandangan mengenai
suami yang baik dan insya-Allah
dapat membahagiakan Anda. Suami yang
dapat menjadi teman hidup
dan menyiapkan perbekalan menuju kampung
akhirat.
Atau...? Anda mungkin telah mempunyai perasaan
tentang siapa kiranya laki-laki
yang paling sesuai di hati Anda untuk teman pulang ke kampung
akhirat, seandainya ada
orang-orang yang ingin bersungguh-sungguh menemani Anda. Barangkali, seperti
Syafura putri Nabi Syuaib,
di dalam hati Anda telah tertambat harapan kepada seseorang yang menurut Anda tsiqah (bisa dipercaya).
Sementara Anda gelisah, apa
yang paling maslahat (membawa kebaikan) untuk dilakukan.
Atau, ada rahasia-rahasia lain yang tidak layak bagi saya untuk mengetahuinya,
padahal masalah itu sangat berarti bagi Anda.
Ada bagian-bagian rahasia hati yang dapat Anda simpan
sendiri. Meskipun demikian, ada sejumlah rahasia hati yang sebaiknya
Anda kemukakan pada orang
terdekat, selagi belum datang pinangan. Sampaikan rahasia hati Anda yang menyangkut masalah penting dalam hidup Anda kepada ibu. Jika malu, Anda bisa
menyampaikan kepada nenek. Bisa juga kepada tante atau kakak wanita yang telah memiliki pengalaman
hidup. Mereka insya-Allah dapat bersikap bijaksana.
Sehingga kalau ada masalah yang Anda anggap pelik, mudah-mudahan Allah memudahkan jalan keluarnya.
Kalau orangtua melihat ada madharat
dan mafsadat yang mungkin terjadi dalam masalah
Anda, insya-Allah mereka
dapat memikirkan jalan keluarnya.
Sehingga, Anda akan mendapat pemecahan
terbaik.
Mereka telah memiliki pengalaman hidup. Bagi anak perempuan, seorang ayah memiliki hak perwalian. Tidak sah nikah tanpa wali. Ada berbagai hadis yang menunjukkan hal ini. Silakan Anda periksa.
Semoga Allah Swt. memberikan hidayah dan ilmu kepada kita, sehingga kita menjadi orang-orang
yang yakin. Orang-orang yang memahami hikmah
di balik disyariatkannya wali pernikahan seorang anak gadis.
Komunikasikanlah rahasia hati Anda, termasuk pandangan
Anda tentang pernikahan. Komunikasikanlah secara lemah lembut dengan pembicaraan yang memuliakan mereka. Sehingga ketika masanya tiba, insya-Allah
semua berjalan dengan penuh kemaslahatan, barakah dan melegakan semua pihak.
Allahu A'lam bishawab.
Komunikasikanlah baik-baik. Mudah-mudahan
semuanya berujung pada kebaikan dunia-akhirat. Allahumma
amin.
Jangan Buka Pintu Lagi
Suatu ketika seorang akhwat
datang dengan membawa masalah. Seorang
laki- laki yang baik agamanya,
begitu menurut akhwat tersebut, telah meminangnya
dan dengan tangan terbuka diterima. Tetapi
karena
sesuatu dan lain hal (sekedar
menirukan gaya panitia
ketika menyampaikan kabar tentang pembicara yang tidak bisa
datang), pernikahan belum bisa
diselenggarakan segera.
Masih perlu waktu untuk melengkapi keperluan nikah.
Dalam masa penantian, secara informal
ada ikhwan lain datang dengan maksud
untuk meminang. Ketika diberitahu bahwa telah ada yang meminang dan sekarang sedang dalam penantian,
ikhwan kita ini mengatakan tak masalah. Bukankah belum ada akad nikah? Kalau nanti di tengah jalan ternyata peminang pertama jadi menikahi, maka dia akan mundur
dengan senang hati. Karena itu, tak ada salahnya
kan kalau mencoba-coba untuk menjajagi kemungkinan menikah?
Toh, kalau peminang pertama
memang serius
bisa mundur sewaktu-waktu. Sementara kalau tidak jadi, dia bisa maju.
Tapi, mencabut perasaan dan keputusan ternyata tak semudah mencabut
duri dalam daging.
Sekarang
keduanya
berkeinginan untuk segera menikah dengan
sahabat kita ini dan kedua-duanya siap untuk segera melangsungkan pernikahan. Persoalan ini semakin sulit dipecahkan karena
sahabat kita merasa
kedua-duanya baik. Selain itu, sangat
tidak mudah untuk
menyuruh salah
satu mundur karena
keduanya sudah melangkah agak jauh. Ikhwan
yang pertama telah meminta
dan orangtua kedua belah pihak telah saling mengadakan pembicaraan.
Pembaca,
Ketika persoalan ini dihadapkan kepada saya, tidak ada jalan keluar yang saya tawarkan kepada saudara kita ini. Saya berada dalam perasaan yang tidak jelas. Saya hanya teringat pesan Rasulullah shallaLlahu
'alaihi wasallam agar tidak meminang
wanita yang sedang berada dalam pinangan
saudaranya. Perintah yang ada dalam
hadis Nabi itu ditujukan kepada kaum laki-laki. Tetapi, saya rasa (ya, saya rasa) wanita pun perlu membantu saudaranya --yakni laki-laki Muslim-- agar tak
meminangnya ketika ia sedang berada dalam pinangan, terutama
ketika pinangan itu telah positif dinyatakan diterima.
Marilah sejenak kita tengok hadis Nabi Saw. ini. Nabi kita yang mulia telah mengingatkan:
Dari 'Uqbah bin 'Amir r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, "Orang mukmin
adalah saudara orang mukmin yang lain. Maka tidak halal bagi seorang
mukmin menjual barang yang
sudah
dibeli
saudaranya, dan
tidak
halal
pula
meminang
wanita yang sudah dipinang saudaranya, sehingga saudaranya
itu meninggalkannya." (HR Jama'ah).
Rasulullah juga bersabda:
Dan dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. beliau bersabda, "Jangan hendaknya lelaki meminang wanita yang telah dipinang orang lain, sehingga
orang itu melangsungkan perkawinan atau meninggalkannya
(tidak jadi)." (HR Ahmad dan
Muslim).
Apa arti pesan Rasulullah itu bagi kita? Jawaban pertama adalah wallahu A'lam bishawab. Saya tidak tahu apa-apa
tentang soal ini. Sesudah
itu, mari kita periksa apa
hikmah di balik peringatan untuk tidak meminang
pinangan saudaranya sesama Mukmin ini. Mari kita ingat perkataan Ummul Mukminin 'Aisyah radhiyallahu 'anha mengenai pernikahan sebelum kita melangkah
lebih dalam. Kata 'Aisyah
r.a., "Pernikahan itu sangat sensitif, dan tergantung
kepada pribadi masing-masing untuk
mendapatkan kemuliaannya."
Pernikahan itu
sangat sensitif. Hampir
setiap hal yang bersangkutan dengan nikah sangat sensitif. Hampir setiap tahap dan proses peka terhadap munculnya sikap maupun perasaan-perasaan tertentu secara
khusus, baik yang
dinyatakan ataupun tidak. Apa saja yang ada dalam proses menuju pernikahan
maupun fase-fase awal pernikahan, mudah
membangkitkan perasaan
yang
kuat,
negatif
maupun
positif.
Padahal, lembaga pernikahan sangat agung. Lembaga pernikahan sangat mempengaruhi
bagaimana orang-orang yang ada di dalamnya serta anak-anak yang dilahirkan kelak akan tumbuh. Secara umum, lembaga pernikahan sebagian besar masyarakat akan menentukan corak masyarakat yang terbentuk.
Kekecewaan
dalam pernikahan, terutama
proses-proses paling awal dari
pernikahan, sangat mudah mempengaruhi sikap orang yang bersangkutan terhadap lawan jenis, ikatan pernikahan, kepercayaan terhadap sesama manusia, dan bahkan
agama --khususnya dalam perkara
mengimani prinsip-prinsip agama. Secara khusus, cacat
dalam proses awal --di antaranya perasaan
dilecehkan karena keluarga calon
istri menerima pinangan dari orang lain-- dapat
mengakibatkan sikapnya kelak
kepada istri dan anak-anaknya menjadi tidak baik. Sedangkan
bagi peminang kedua --
seandainya kelak menikah dengan peminang kedua-- sikap keluarga/calon istri juga merupakan tanda yang yang tidak baik. Kepercayaan sulit dibangun. "Benar, saat ini
saya yang menang. Tapi apa yang dapat menjamin bahwa istri
saya ini nanti akan memiliki kesetiaan,
sedangkan ludah yang sudah ditumpahkan saja ia masih mau menjilat kembali."
Ini salah
satu kemungkinan saja.
Kemungkinan
yang lain boleh jadi bukan sesuatu yang pasti buruk. Tuhan Sangat Kuasa untuk menentukan peristiwa yang sama sekali lain dibanding
perhitungan-perhitungan 'aqliyyah (akal) manusia.
Hanya saja, sejauh yang mampu saya baca, itulah kemungkinan yang bisa terjadi.
Mudah-mudahan kejadiannya tidak sampai seperti itu. Pintu-pintu Allah masih terbuka, seandainya hati kita mampu mengetuk-Nya. Mudah-mudahan Allah memperbaiki keadaan kita dan menghapus kesalahan-kesalahan
kita dengan memperjalankan diri kita beserta keturunan kita ke dalam golongan orang-orang yang suka berbuat
baik. Mu-dah-mudahan Allah kelak mematikan
kita, orangtua kita, teman hidup
kita, saudara-saudara kita, sahabat-sahabat kita serta orang-orang yang dekat kita dalam keadaan memperoleh ampunan
dan ridha Allah.
Setiap kita mempunyai kemungkinan untuk melakukan kesalahan, bahkan yang
lebih besar lagi. Mudah-mudahan kita bisa merenungkan lebih dalam tentang urusan agama kita, setahap demi setahap.
Mengapa Engkau Persulit Dirimu?
Banyak saudara-saudara kita yang harus berkeringat deras untuk bisa mencapai
pernikahan. Banyak yang bingung harus bagaimana
lagi
agar desakan untuk menikah
bisa surut, sementara puasa sudah dijalaninya dengan istiqamah. Banyak yang harus melewatkan malam-malamnya dengan perasaan gelisah yang memuncak,
sehingga kadang harus diteduhkan dengan air mata, demi menenangkan
hati dari kerinduan bersanding
dengan teman hidup. Banyak yang terbangun
dari tidurnya yang tidak
nyenyak untuk merintih kepada Tuhan, "Ya Allah, hadirkanlah bagiku istri yang menjadi penyejuk
mataku dari sisi-Mu."
Atau, "Ya Allah,
hampir-hampir tak kuat hamba-Mu ini menahan
keinginan untuk menikah. Ya Allah, inilah
hamba-Mu mengadu kepada-Mu."
Banyak yang resah. Dan kemudian Allah menolongnya. Tetapi ada juga yang dimudahkan
jalannya oleh Allah untuk menikah. Di saat ada orang-orang yang harus jatuh bangun menghadapi
kesulitan, ia dengan ringan dilapangkan jalan untuk menikah. Pada saat ada sejumlah orang yang dihimpit kesedihan
karena keinginan untuk menikah semasa masih kuliah tak bisa terlaksana,
justru ada yang menyembunyikan pernikahan karena alasan-alasan yang tak
prinsip. Padahal
kita dianjurkan untuk segera mengumumkan
pernikahan. Walimah, salah satu fungsinya
adalah untuk mengabarkan kepada masyarakat
tentang pernikahan
kita. Adakanlah walimah walau hanya dengan seekor kambing.
Kalau tak mampu, dengan menyembelih seekor ayam
pun
bisa,
yang
penting kabar
pernikahan kita tersampaikan. Bahkan
lazim di sebagian masyarakat Jawa
Timur walimah
nikah diselenggarakan tanpa memotong kambing ataupun
ayam.
Mengumumkan nikah bisa merupakan
bentuk syukur kita kepada Allah yang telah menyempurnakan setengah dari agama kita. Juga untuk
menghindarkan saudara-
saudara kita dari fitnah dan tindakan memfitnah kita. Alhasil, mengapa kau
sembunyikan pernikahanmu jika tidak ada alasan yang prinsip
untuk membuatmu harus
merahasiakan pernikahanmu? Mengapa...?
Berbicara tentang walimah, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian. Di sebagian masyarakat, pernikahan sudah bukan lagi bentuk syukur kepada
Allah
dengan mengharap do'a barakah dari
para tamu untuk mempelai berdua. Pesta pernikahan sudah menjadi pertaruhan
status sosial, sehingga perhitungan-perhitungan
penilaian sosial menjadi sangat diperhatikan.
Dan demi prestise maupun mempertahankan gegap-gempita acara, sebuah pernikahan yang Islami harus
tercoreng oleh cacat yang bisa mengurangi barakah (mudah-mudahan Allah mengampuni). Demi mendapatkan hasil
rias
yang menakjubkan (kita ini memang suka membesarkan diri sendiri,
ya) atau menjaga agar riasan tidak luntur, kadang ada yang secara sengaja meninggalkan
shalat. Kadang pengantin harus repot dengan riasan-riasan yang
memenuhi wajah dan kepalanya
ketika ia tetap shalat, karena
prosesi merias tetap dilaksanakan menjelang
waktu shalat.
Ironis sekali. Di saat Allah menyempurnakan
setengah dari agama kita dengan memberi kemudahan
bagi kita untuk menikah,
kita justru mengecilkan asma' Allah. Padahal setiap shalat ketika selalu bertakbir. "Hanya Engkaulah ya Allah Yang Maha
Besar dan Maha Lebih Besar...."
Masih banyak yang bisa kita bicarakan
tentang masalah ini. Tapi karena bab ini
bukan tentang walimah, maka pembahasan lebih lanjut tentang masalah ini kita tunda
dulu. Insya-Allah kita akan mendiskusikannya nanti pada bab Memasuki Malam Zafaf
di jendela kedua buku ini.
Sebelum saya akhiri
bab kita ini, saya masih ingin
mengingat satu hal lagi berkenaan dengan walimah. Di masyarakat kita, akhir-akhir
ini mulai terjadi kecenderungan menjadikan
walimah untuk "investasi". Penyelenggaraan
walimah secara sengaja diorientasikan hampir semata-mata
untuk mendapatkan uang yang
mencukupi untuk kebutuhan hidup beberapa saat. Seorang akhwat bahkan mengeluh, orangtua mengizinkan dia menikah sebelum lulus dengan catatan pesta nikah harus diadakan besar-besaran
dengan perhitungan bahwa dari
pesta
nikah
itu
akan
terkumpul banyak sekali
uang.
Dari
uang yang
terkumpul ini nanti bisa didepositokan,
sehingga bunganya bisa diambil setiap bulan untuk biaya hidup
keluarga baru itu sehari-hari.
Jalan pikiran semacam ini kelihatan tepat dan runtut. Tetapi semakin besar
dan mewah pesta pernikahan yang dilangsungkan, tidak menjadi jaminan
sama sekali bahwa akan semakin besar juga isi amplop yang akan diberikan oleh para tamu. Apalagi dalam situasi seperti sekarang.
Oleh karena itu, mengadakan
walimah besar- besaran dengan perhitungan seperti itu, saya khawatikan
justru akan meninggalkan
kekecewaan yang besar
manakala uang
yang
didapat
tidak
cukup
untuk didepositokan. Lebih-lebih kalau sampai "tekor" (merugi) dalam jumlah yang besar,
sedangkan modal penyelenggaraan walimah diperoleh dari hutang, sehingga
yang tersisa dari pesta pernikahan
itu boleh jadi justru tangis dan kesedihan yang panjang. Hari-hari selanjutnya, kecemasan tentang bagaimana melunasi hutang
akan terus mengejar. Mudah-mudahan tidak
sampai kehabisan nafas.
Artinya apa? Pesta pernikahan janganlah justru menjatuhkan kita ke dalam
madharat
dan mafsadah yang
besar. Jangan karena perhitungan tentang isi amplop, kita justru menjadi tidak percaya
kepada Allah; tidak percaya bahwa Allah menjamin rezeki
kita setiap bulan,
bahkan setiap hari, setiap jam dan setiap detik. Janganlah pesta pernikahan menjadikan
kita berubah, dari berharap kepada rezeki Allah beralih
mengharapkan bunga dari deposito bank (padahal bank saja tidak bisa menjamin nasibnya sendiri dari kebangkrutan). Saya teringat dengan teman saya. Di daerahnya, sudah mulai lazim dalam undangan nikah dicantumkan permintaan agar tidak membawa kado, cukup amplop saja. Karena sudah disarankan oleh shahibul bayt (tuan rumah)
untuk membawa amplop saja,
berangkatlah mereka
ke pesta pernikahan
itu
dengan
menyiapkan amplop masing-masing. Keluarga mempelai wanita pun berbahagia bahwa tamu- tamunya membawa
amplop.
Tapi malang tak dapat ditolak. Untung tak bisa diraih. Setelah dibuka,
banyak amplop yang kosong (“Tidak salah mereka,” kata istri saya. “Kan mereka disuruh bawa
amplop?”).
"Masih untung kalau isi uang seratus perak. Ini kosong
sama sekali," kata teman saya cerita.
Di luar itu, ada persoalan lebih mendasar yang membuat sikap mencari
dana untuk didepositokan itu tidak tepat. Persoalan itu bukan terletak pada perhitungan-
perhitungan ekonomi yang ternyata
kemungkinannya untuk "impas"
atau "rugi" memang sangat besar.
Persoalan yang lebih mendasar ada pada
masalah adab, akhlak, aqidah dan khususnya
persangkaan kita kepada Allah serta keadaan hati kita tentang apa yang seharusnya
dicita-citakan dalam menikah. Andaikan ternyata
hasil akhir pesta nikah itu kerugian, lalu menyebabkan hutang membengkak, saya
khawatir pengantin yang baru menikah beserta orangtua dan anggota keluarga yang lain
senantiasa disibukkan oleh impian-impian, di
samping kecemasan-kecemasan berkenaan dengan masalah hutang.
Dikutip dari buku Kado Pernikahan Untuk Istriku
Karya Muhammad Fauzil Adhim