Minggu, 27 April 2014

Menikahlah Denganku

Dalam isyarat Nabi tentang Nikah, ialah sunnah teranjur nan memuliakan. Sebuah jalan suci untuk karunia sekaligus ujian cinta-syahwati.Maka sebagai ibadah, memerlukan kesiapan dan persiapan. Ia untuk yang mampu, bukan sekedar mau. “Ba’ah” adalah parameter kesiapannya.

Maka berbahagialah mereka yang ketika hasrat hadir bergolak, sibuk mempersiapkan kemampuan, bukan sekedar memperturuntukan kemauan.  Persiapan hendaknya segera membersamai datangnya baligh, sebab makna asal “Ba’ah” dalam hadits itu adalah “Kemampuan seksual.”

Imam Asy Syaukani dalam Subulus Salam, Syarh Bulughul Maram menambahkan makna “Ba’ah” yakni: kemampuan memberi mahar dan nafkah. Mengompromikan “Ba’ah” di makna utama (seksual) dan makna tambahan (mahar, nafkah), idealnya anak lelaki segera mandiri saat baligh.

Jika kesiapan diukur dengan “Ba’ah”, maka persiapannya adalah proses perbaikan diri nan tak pernah usai. Ia terus seumur hidup.

Izinkan saya membagi Persiapan dalam 5 ranah:


  1. Ruhiyah,
  2. ‘Ilmiyah,
  3. Jasadiyah (Fisik),
  4. Maaliyah (Finansial),
  5. Ijtima’iyah (Sosial)

Persiapan perlu start awal. Salim menikah usia 20 tahun, tapi karena persiapannya dimulai umur 15 tahun, maka tak bisa disebut tergesa.Sebaliknya, ada orang yang nikah-nya umur 30 tahun, tapi persiapan penuh kesadaran baru dimulai umur 29,5 tahun. Itu namanya tergesa-gesa.

Kita mulai dari yang pertama; Persiapan Ruhiyah. Ialah nan paling mendasar. Segala persiapan lainnya berpijak pada yang satu ini. Persiapan Ruhiyah (Spiritual) ada pada soal menata diri menerima ujian dan tanggungjawab hidup nan lebih berlipat, berkelindan. (QS Ali Imran 14): Sebelum nikah ujian kita linear: pasangan hidup. Begitu berjejalin: pasangan, anak, harta, gengsi, investasi. Sebelum Nikah, grafik hidup kita analog dengan amplitudo kecil. Setelah menikah, ia digital variatif; kalau bukan nikmat, ya musibah.

Maka termakna jua dalam Persiapan Ruhiyah terkait adalah kemampuan mengelola sabar dan syukur menghadapi tantangan-tantangan itu. Sabar dan syukur itu semisal tentang pasangan; ia keinsyafan bahwa tak ada yang sempurna. Setiap orang memiliki lebih dan kurangnya. Khadijah itu lembut, penyabar, penuh pengertian, dan dukung penuh perjuangan. Tapi tak semua lelaki mampu beristeri jauh lebih tua.  ‘Aisyah: cantik, cerdas, lincah, imut. Tapi tak semua lelaki siap dengan kobar cemburunya nan sampai banting piring di depan tamu.

Persiapan Ruhiyah adalah mengubah ekspektasi menjadi obsesi. Dari harapan akan apa nan diperoleh, menuju nan apa akan dibaktikan. Jika masih terbayang sebagai berikut: lapar ada yang masakin, capek ada yang mijitin, baju kotor dicuciin. Itu ekspektasi. Bersiaplah kecewa.

Ekspektasi macam itu lebih tepat dipuaskan oleh tukang masak, tukang pijit, dan tukang cuci;) Ber-obsesilah dalam Nikah. “Apa obsesimu?”

Obsesi sebagai Persiapan Ruhiyah semisal: Bagaimana kau akan berjuang sebagai suami/isteri ayah/ibu untuk mensurgakan keluargamu? Usai itu, di antara persiapan Ruhiyah adalah menata ketundukan pada segala ketentuanNya dalam rumah tangga dan masalah-masalahnya.

Lalu persiapan ‘Ilmiyah-Tsaqafiyah (Pengetahuan) Nikah, meliput banyak hal semisal Fiqh, Komunikasi Pasangan, Parenting, Manajemen, dan lain-lain. Bukan Ustadz-pun, tiap muslim harus sampai pada batas minimal lmu syar’i nan dibutuhkan dalam berhidup, berinteraksi, berkeluarga

Lalu tentang komunikasi pasangan; seringnya masalah rumahtangga bukan krn ada maksud jahat,melainkan maksud baik nan kurang ilmu Nikah. Sungguh harus diilmui bahwa lelaki dan perempuan diciptakan berbeda dengan segala kekhasannya, untuk saling memahami dan bersinergi.

Contoh beda hadapi masalah dan tekanan; Wanita: berbagi, didengarkan, dimengerti. Lelaki: menyendiri, kontemplasi, rumuskan solusi Nikah.

Bayangkan jika perbedaan itu dibawa dalam sikap dengan asumsi: “Aku mencintaimu seperti aku ingin dicintai” Konflik pasti meraja. Suami pulang dengan masalah berat disambut isteri yang memaksa ingin tahu dan dengar problemnya, padahal ia ingin sendiri dan bersolusi.

Lihatlah Khadijah saat Muhammad pulang dari Hira’ dengan panik dan resah. Dia tak bertanya, dia sediakan ruang sendiri dan kontemplasi. Sebaliknya, isteri yang sdg ingin didengar lalu curhat ke suami, suami malah tawarkan solusi. Padahal dia hanya ingin dimengerti.

Isteri: “Mas aku capek, rumah berantakan bla-bla-bla.”

Suami: “OK, kita cari pembantu. “

Istri: “O, jadi aku dianggap pembantu?!.”

Suami: “Lho?!”

Beda lagi: Suami single tasking, bisa marah kalau isterinya nan multitasking memintanya kerjakan beberapa hal berrangkai-rangkai.

Beda lagi: Isteri sering berkalimat tak langsung nan tak difahami suami.
Istri: ”Mas, Salma belum dijemput, aku masih harus masak!”

Jawab suami: “Oh, kalau gitu biar nanti Salma pulang sendiri”

Dijamin para isteri gondok, sebab maksudnya: “Tolong jemput Salma!”

Beda. Bagi suami masalah harus disederhanakan (Spiral ke dalam). Bagi isteri, tiap detail dan keterkaitan sangat penting (Spiral keluar)

Dan banyak lagi beda yang jika tak diilmui potensial jadi masalah serius.

Next: Parenting. Waktu kita sempit; belum puas belajar jadi suami/isteri, tiba-tiba sdh jadi ayah/ibu. Maka segeralah belajar jadi Ortu. Anak adalah karunia yang hiasi hidup, amanah (lahir dalam fitrah, kembalikan ke Allah dalam fitrah), pahala, sekaligus fitnah (ujian).

Maka mengilmui hingga detail-detail kecil soal parenting adalah niscaya. Contohnya hadits: renggutan kasar pada bayi membekas di jiwa.

Uji kecil buat calon ibu dan ayah: “Apa yang anda lakukan saat anak lari-larian di depan rumah lalu gabruss, jatuh berdebam?”

Lazim: “Sudah dibilang, jangan lari-lari! Tuh, jatuh kan!” Anak belajar untuk menganggap dirinya selalu bersalah dalam hidupnya.

Lazim: “Iih, batunya nakal ya Nak! Sini Ibu balaskan!” Anak belajar salahkan keadaan sekitar untuk excuse dari kurangnya ikhtiyar.

Lazim: “Hm, nggak apa-apa, nggak sakit, cuma kayak gitu!” Ketakpekaan. Hati-hati dibalas saat kita sdh tua dan sakit-sakitan.

Alangkah bahaya tiap huruf dari lisan bg masa depan anak kita.
Latihlah dia agar lempang (tanpa dusta dan tipu) dalam taqwa (QS 4: 9)

Kita masuk persiapan Jasadiyah (Fisik) untuk. Ini jua perkara penting sebab terkait dengan keamanan, kenyamanan, dan ketenagaan. Awal-awal, periksa dan konsultasilah ke dokter atas termungkinnya segala penyakit tubuh, lebih-lebih nan terkait kesehatan reproduksi

Pernikahan itu utuh di segala sisi diri, maka menjalani terapi dan rawatan tertentu untuk membaikkan fisik adalah jua hal yang utama. Fisik kita dan pasangan bertanggungjawab lahirkan generasi penerus yang lebih baik. Maka perbaiki daya dan staminanya sejak sekarang.

Perbaiki pola asup, tata gizi seimbang. Allah akan mintai tg jawab jajan sembarangan jika ia jadi sebab jeleknya kualitas penerus Bangun kebiasaan olahraga ilmiah; tak asal gerak tapi membugarkan, menyehatkan, melatih ketahanan. Tugas fisik berlipat 3 setelahnya.

Jadi, target persiapan fisik itu 3 tingkatan;


  1. primer: sehat dan aman penyakit,
  2. sekunder: bugar dan tangkas,
  3. tersier: beauty dan charm

Selanjutnya, persiapan Maliyah (finansial), ini yang paling sering menghantui dan membuat ragu sepertinya. Padahal ianya sederhana. Konsep awal; tugas suami adalah menafkahi, BUKAN mencari nafkah. Nah, bekerja itu keutamaan dan penegasan kepemimpinan suami. Ingat dan catat: Persiapan finansial sama sekali TIDAK bicara tentang berapa banyak uang, rumah, dan kendaraan yang harus anda punya.

Persiapan finansial bicara tentang kapabilitas hasilkan nafkah, wujudnya upaya untuk itu, dan kemampuan kelola sejumlah apapun ia. Maka memulai pernikah-an, BUKAN soal apa anda sudah punya tabungan, rumah, dan kendaraan. Ia soal kompetensi dan kehendak baik menafkahi.

‘Ali ibn Abi Thalib memulai bukan dari nol, melainkan minus: rumah, perabot, dan lain-lain dari sumbangan kawan dihitung hutang oleh Nabi. Tetapi ‘Ali menunjukkan diri sebagai calon suami kompeten; dia mandiri, siap bekerja jadi kuli air dengan upah segenggam kurma.

Maka sesudah kompetensi dan kehendak menafkahi yang wujud dalam aksi bekerja -apapun ia-, iman menuntun: itu buat kaya (QS 24: 32)

Agak malu, Salim juga minus saat nikah; hutang yang terrencanakan terbayar dalam 2 tahun menurut proyeksi hasil kerja saat itu. Tetapi Allah Maha Kaya, dan menjadi pintu pengetuknya. Hadirnya isteri menjadi penyemangat; hutang itu selesai dalam 2 bulan.

Buatlah proyeksi nafkah secara ilmiah dan executable, JANGAN masukkan pertolongan Allah dalam hitungan, tapi siaplah dengan kejutanNya.

Kemapanan itu tidak abadi. Saya memilih di usia 20 saat belum mapan agar tersiapkan isteri untuk hadapi lapang maupun sempitnya.  Bahkan ketidakmapanan yang disikapi positif menurut penelitian Linda J. Waite (Psikolog UCLA), signifikan memperkuat ikatan cinta

Ketidakmapanan nan dinamis menurut penelitian Karolinska Institute Swedia, menguatkan jantung, meningkatkan angka harapan hidup. Karolinska Institute: kemapanan lemahkan daya tahan jantung terhadap serangan. Di Swedia, biasanya yang kena infark langsung wafat PNS

Persiapan yang sering terabai ialah nan kelima ini: Ijtima’iyah (Sosial). Pernikahan adalah peristiwa yang kompleks secara sosial. Sebuah pernikahan yang utuh punya visi dan misi kemasyarakatan untuk menjadi pilar kebajikan di tengah kemajemukan suatu lingkungan. Untuk itu, mereka yang akan me hendaknya mengasah keterampilan sosialnya jauh-jauh hari, sekaligus sebagai bagian pendewasaan.

Membiasakan mengkomunikasikan prinsip-prinsip nan diyakini terkait pernikahan dan kehidupan kepada Orangtua bisa jadi bagian dari latihan.

Prinsip Quran tentang hubungan dengan Ortu ialah ‘persahabatan’, Wa Shaahibhuma (QS Luqman 15). Gunakan itu untuk dewasakan diri. Maka kadang Salim menilai kedewasaan kawan yang ingin menikah dengan keberhasilannya untuk komunikasikan prinsip pada Ortu scr ma’ruf. Persiapan kemasyarakatan: kumpulkan modal sosial sebanyak-banyaknya; bahasa, ilmu sosio-antropologis, kelincahan organisasi, dan lain-lain.

Pernikahan kita harus hadir sbg pengokoh kebajikan masyarakat, bukan beban ataupun pelengkap-penderita. Utama lagi, jadi pelopor. Mulailah dengan perkenalan berkesan pada lingkungan. Saat walimah nanti; tetangga rumah tinggal setelah adalah yang plg berhak diundang. Jika harus pindah tempat tinggal, mulai juga dengan perkenalan.
Para tokoh: datangi silaturrahim. Masyarakat umum: undang tasyakuran.

Setelah itu, target besarnya adalah menjadikan pintu rumah kita sebagai yang paling pertama diketuk saat masyarakat sekitar memerlukan bantuan. Tentu berat menopangnya sendiri. Maka yang harus kita punya bukan hanya ASET, melainkan juga AKSES. Bangun jaringan saling menguatkan.

Ilmuilah bagaimana cara menguruskan jaminan kesehatan miskin, beasiswa tak mampu, biaya RS, mobil jenazah gratis, dan lain-lain demi tetangga kita.

Tampillah sebagai yang penting dan bermanfaat dalam hajat-hajat kebahagiaan maupun duka tetangga, juga rayaan-rayaan sosial-masyarakat. Tampillah sebagai yang terbaik sejangkau sesuai kemampuan; Imam Masjid, muadzin, Guru TPA, Bendahara RT, Ketua RW, Pendoa jenazah, dan seterusnya.

Tampillah sebagai nan paling besar kontribusi dalam kebaikan-kebaikan sosial: Agustusan, Syawalan, Kerja Bakti, Arisan, Pengajian, dan seterusnya. Ringkas kata untuk persiapan sosial ini adalah bermampu diri untuk menjadi pribadi dan keluarga yang aman, ramah, bermanfaat

Salim A Fillah

sumber : http://www.fimadani.com/akhi-menikahlah-denganku/

Dapatkan Buku-buku Salim A. Fillah Di sini:



Rabu, 23 April 2014

Menikahlah ! Engkau Menjadi Kaya

Menikah dalam Islam mempunyai kedudukan yang agung dan mulia. Disamping merupakan syari’at, menikah adalah syi’ar yang seharusnya dikumandangkan. Manfaat dan faedahnya sudah tidak asing oleh kita, karena dengan menikah diperoleh ketentraman hati dan ketenangan jiwa, dengan menikah tercipta cinta yang suci dan jalinan kasih sayang yang sejati. Dengan menikah lahirlah pejuang – pejuang Islam yang tangguh dan generasi – generasi Islam yang hebat. Dengan menikah terbina keluarga sakinah, harmonis penuh dengan mawaddah wa rohmah. Dengan menikah kehidupan terasa indah dan menyenangkan, dengan menikah pula penerapan sunnah dalam kehidupan semakin sempurna. Demikian pula dengan menikah kita bisa mengarungi samudera kehidupan sambil mengais pahala dan kebaikan lewat bahtera rumah tangga. Karena manfaatnya yang banyak dan faedahnya yang luar biasa inilah Alloh Yang Maha Agung dan Mulia berfirman dalam Surat An Nur : 32

                            وَأَنكِحُوا اْلأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“ Dan nikahkanlah orang – orang yang belum berpasangan diantara kalian, demikian pula hamba-hamba sahaya laki- laki maupun perempuan yang sudah layak untuk menikah. Jika mereka adalah orang – orang faqir maka niscaya Allah akan memberinya kecukupan (kemampuan) dari karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas Karunianya dan Maha Mengetahui.”

Dan Rasulullah Sholallohu ‘Alaihi Wasallam pun bersabda dalam hadist yang shohih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Tirmidzi, Imam An Nasa’i dan Imam Ibnu Majah juga Ibnu Hibban dan lainnya :
“ Ada 3 golongan yang mereka benar – banar berhaq mendapatkan pertolongannya Allah :
1. Orang yang menikah dengan tujuan ‘afaf / menjaga kehormatan diri
2. Orang yang dicatat ( orang yang berhutang) yang bertujuan membayarnya
3. Orang yang berperang fii sabiilillah.”
(HR para pemilik sunah kecuali Abu Daud)

Disamping hadits Rosulullah yang cukup terkenal yaitu :
“ Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian mempunyai kemampuan untuk menikah maka menikahlah, karena hal itu lebih bisa menjaga pandangan dan kemaluan. Dan bagi siapa yang tidak mempunyai kemampuan maka berpuasalah, sesungguhnya itu bisa sebagai tameng. “ (H.R. 7 Imam)

Maka dari nash Al-Quran maupun As Sunnah, kita dapatkan perintah atau anjuran untuk menikah, dan yakinlah Alloh akan menolong hamba – hambaNya yang beriman, apalagi tujuan kita baik dan mulia.

Kita lihat komentar – komentar para ulama ulama kita didalam menafsirkan surat An Nur ayat 32 yang kita pelajari ...
1. Berkata sahabat Abu Bakar Ash shiddiq, semoga Alloh meridhoinya
“ Taatilah apa yang diperintahkan Alloh kepada kalian berupa menikah, maka Alloh akan memenuhi apa yang dijanjikan kepada kalian berupa kecukupan / kekayaan.”
(hal ini dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir 6/59, dan Imam Asy Syaukani dalam Fathul Qodir 4/45)

2. Berkata sahabat Umar bin Khottob, semoga Allah meridhoinya :
“ Saya heran terhadap orang yang mencari kekayaan, tapi dia tidak menikah.”
( Lihat Tafsir Abu Mudhoffar As Sam’dni jilid 3 hal 525 dan 526 juga tafsir Al Baghowi jilid 3/410)

3. Berkata sahabat Abdulloh bin Mas’ud, semoga Alloh meridhoinya :
“ Carilah kekayaan dalam menikah/ dengan menikah. “
( Lihat Tafsir Ibnu Juzai jilid 2 hal 68, dan Ibnu Katsir jilid 6 : 59)

4.  Berkata Sahabat Abdulloh bin Abbas, semoga Alloh meridhoinya
“ Allah menganjurkan untuk menikahkan dan memerintahkan menikah pada orang bebas maupun yang menjadi budak, juga menjanjikan kekayaan atas itu”
(lihat tafsir Ibnu Katsir Jilid 6, hal 58)

5.  Berkata Imam Al Baghowi, semoga Alloh merahmatinya :
“ Kekayaan disini qona’ah dan ada yang mengatakan terkumpulnya 2 rizqi, rizqi milik suami dan rizqi milik istri. 3/410

6. Berkata Imam Ibnu Juzai, semoga Alloh merahmatinya:
“ Alloh menjanjikan kekayaan bagi orang – orang yang faqir yang mereka menikah dengan tujuan mencari ridho Alloh. 2/68


Dan masih banyak lagi komentar – komentar dari para ulama kita, dalam ayat ini sehingga sampai sahabat Abdullah Ibnu Mas’ud berkata :
“ Seandainya aku tahu , bahwasannya umurku didunia tidak tersisa lagi kecuali lagi 10 hari, maka sungguh aku segera menikah agar tidak bertemu Allah dalam keadaan membujang.”

Adapun hadits :
“Nikahilah wanita, karena mereka bisa mendatangkan harta “
Maka hadits ini riwayat Imam Al Bazzar dan Imam Al Hakim yang masih diperselisihkan kesohihannya.



Oleh : Ustadz Arifin Ridin Lc,
0852 9245 9759

Perhatian:
Tolong dikoreksi bersama apabila terdapat kesalahan dalam mengutip tulisan dari Ustadz Arifin Ridin Lc

Kamis, 03 April 2014

Antara Menyegerakan dan Tergesa-gesa

Rasulullah menasehatkan:
"Mintalah fatwa dari hatimu. Kebaikan itu adalah apa-apa yang tenteram jiwa padanya dan tenteram pula dalam hati. Dan dosa itu adalah apa-apa yang syak dalam jiwa dan ragu-ragu dalam hati, walaupun orang-orang memberikan fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya."

Salah satu perkara yang perlu disegerakan adalah menikah. Begitu Islam mengajarkan. Menyegerakan bagi seorang laki-laki yang telah mencapai ba'ah adalah dengan segera meminang wanita baik-baik yang ia mantap
dengannya. Ia mendatangi orangtua wanita tersebut dengan menjaga adab sambil membersihkan niat.

Rasulullah Muhammad Saw. bersabda:

"Barangsiapa yang dimudahkan baginya untuk menikah, lalu ia tidak menikah, maka tidaklah ia termasuk golonganku." (HR Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi).1

Nabi kita juga mengingatkan, "Bukan termasuk golonganku orang yang merasa khawatir akan terkungkung hidupnya karena menikah, kemudian ia tidak menikah." (HR Ath-Thabrani).

Sedang menyegerakan nikah bagi keluarga wanita adalah dengan mempercepat pelaksanaan  jika  tidak  ada  kesulitan  yang  menghalangi.  Juga,  menyederhanakan proses  agar  tidak  membebani  kedua  mempelai.  Mudah-mudahan  mereka  akan mendapatkan rumah tangga yang barakah dan diridhai Allah, keluarga yang di dalamnya terdapat anak-anak yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaaha illaLlah.

Menyegerakan nikah  insya-Allah  lebih  dekat  kepada  pertolongan  Allah  dan syafa'at Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah akan menyempurnakan setengah agama kita kalau kita menyegerakan menikah. Insya-Allah, kita akan mendapati pernikahan yang barakah. Sebuah pernikahan yang barakah akan menjadikan orang-orang yang ada di dalamnya tenteram dan saling memberi manfaat. Mereka akan memperoleh kebahagiaan dan terhindar dari hidup yang sia-sia. Seorang pemalas akan menjadi rajin, seorang peragu akan memperoleh yakin, dan seorang yang bimbang akan memperoleh keteguhan.

Nikah adalah satu di antara tiga perkara yang sunnah untuk disegerakan. Allah akan melimpahkan ridha-Nya kepada orang yang menyegerakan nikah. Mereka yang menyegerakan nikah atau membantu orang untuk menyegerakan nikah, insya-Allah akan mendapati rahmat dan perlindungan Allah kelak di yaumil-hisab. Sebab, sesungguhnya perbuatan menyegerakan nikah merupakan perkara yang disunnahkan oleh Rasulullah. Dan setiap perkara yang disunnahkan, adalah tindakan yang diridhai dan dicintai Allah.

Wallahu A'lam bishawab.

Akan tetapi, di dalam setiap perbuatan, setan berusaha untuk menggelincirkan manusia. Jika orang tidak mau melakukan kemaksiatan, setan berusaha untuk menggelincirkan manusia dengan menampakkan apa-apa yang sepintas mirip dengan perkara yang disunnahkan.

Banyak contoh tentang ini. Agama menganjurkan kita  untuk syukur nikmat, mengabarkan dan menampak-nampakkan nikmat yang kita peroleh demi mengagungkan kemurahan Allah. Dan setan berusaha untuk menyimpangkan niat kita, sehingga kita menampak-nampakkan bukan dalam rangka syukur nikmat, tetapi dalam rangka  riya' dan  sum'ah. Jika riya' adalah tindakan yang dilakukan dengan harapan orang melihat kebaikan yang ada pada diri kita, sum'ah adalah tindakan agar orang mendengarkan keunggulan kita.

Kadang orang bersikap merendah karena tawadhu', tetapi orang bisa merendah dalam rangka meninggikan diri di hadapan orang lain. Yang pertama, adalah kemuliaan akhlak yang sering dianjurkan agama. Yang kedua, adalah rekayasa kesan agar tampak sebagai orang yang memiliki kedalaman pemahaman agama.

Masih banyak yang lain. Hanya saja, kita sering tidak tahu bahwa yang ada pada hati kita bukanlah sebagaimana yang diharapkan oleh agama. Bisa jadi, kita mampu menunjukkan argumentasi (hujjah) atas apa yang kita lakukan. Kita berargumentasi melalui kekuatan nalar dan lisan yang dikaruniakan kepada kita, akan tetapi hati kita mengingkari. Sayangnya, kita pun sering tidak tahu bahwa hati kita mengingkari disebabkan pekatnya penghalang mata hati kita untuk melihat beningnya kebenaran.
Perkara nikah juga demikian. Kita disunnahkan untuk menyegerakan pernikahan. Meskipun demikian, kita bisa jadi terjatuh pada tindakan tergesa-gesa. Bersegera, akan mendekatkan orang kepada saat menikah. Penantian yang telah melewati berpuluh-puluh  malam,  insya-Allah  segera  terbayarkan  dengan  akad  nikah  yang dalam waktu dekat akan terlaksana. Sementara itu,   tergesa-gesa bisa jadi justru menjadikan tibanya saat akad nikah harus melalui waktu yang lama.

Ada perbedaan yang jauh antara pernikahan yang disegerakan dengan pernikahan yang  dilaksanakan secara  tergesa-gesa. Waktu yang  dibutuhkan dari  peminangan sampai akad nikah bisa jadi sama. Tetapi, suasana yang terbawa dalam rumahtangga sangat berbeda.

Pernikahan yang disegerakan insya-Allah penuh barakah dan diridhai Allah. Di dalamnya, Allah mencurahkan perasaan sakinah kepada suami-istri tersebut. Bahkan, suasana sakinah juga terasakan oleh seisi rumah, sanak famili yang mengetahui, serta orangtua dari  keduanya, kecuali  bagi  mereka yang  sedang merasakan  kekeruhan dalam jiwanya.

Tapi, apakah sakinah itu? Wallahu A'lam. Sepanjang pengetahuan saya, sakinah adalah  ketenangan hati,  ketenteraman  jiwa,  dan  terbebasnya diri  dari  keinginan- keinginan yang dilarang, sebab sesuatu yang  dilarang akan menimbulkan kegelisahan dan kecemasan. Mereka juga tidak begitu terganggu oleh penilaian-penilaian sesaat dari masyarakat, sebab mereka menyandarkan penilaian kepada sumber yang jernih dalam soal-soal yang diatur dan mendasarkan pada kesepakatan dan kecintaan berdua dalam soal-soal yang dilapangkan (mubah) bagi kita. Mereka mungkin akan melakukan apa yang secara sosial diharapkan, tetapi itu bukan karena terdesak oleh tekanan  norma  sosial  semata.  Melainkan  menurut  pertimbangan  kemaslahatan. Mereka mungkin akan menolak apa yang diharapkan secara sosial, tetapi itu bukan karena ingin menentang tatanan. Tetapi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berkenaan dengan madharat dan mafsadah.

Apa pengaruh sakinah bagi suami-istri yang baru memasuki jenjang pernikahan? Apakah makna sakinah dalam membina kehidupan berumahtangga, mendidik anak, dan  menetapkan  misi  setelah  mereka  mempunyai  anak  dari  pernikahan mereka? Sayang sekali kita tidak bisa membahas saat ini. Mudah-mudahan Allah  memberikan petunjuk, ilmu, dan kekuatan pada saya untuk membahasnya di waktu lain dalam kesempatan yang lebih baik. Saat ini, cukuplah saya katakan bahwa sakinah menguatkan ikatan perasaan antara suami dan istri dengan jalinan perasaan yang diliputi oleh kerinduan yang menenteramkan saat tidak bertemu dan ketenangan yang menyejukkan saat berjumpa. Sakinah menumbuhkan kelembutan dan keramahan dalam pergaulan mereka, termasuk dalam mendidik anak kelak, serta memunculkan optimisme dan kekuatan jiwa ketika menghadapi masalah sehingga mereka tidak lebih tua dari usianya.

Bagaimana suasana keluarga yang sakinah? Sayang sekali saya belum bisa menggambarkan. Hanya saja, diam-diam saya kadang terkesan ketika menjumpai hadis yang mengabarkan sebagian tandanya.
"Akan lebih sempurna ketakwaan seorang mukmin," kata Rasulullah Saw., "jika ia mempunyai seorang istri yang shalihah, jika diperintah suaminya ia patuh, jika dipandang   membuat   suaminya   merasa   senang,   jika    suaminya   bersumpah membuatnya merasa adil, jika suaminya pergi ia akan menjaga dirinya dan harta suaminya."

"Tiga kunci kebahagiaan seorang laki-laki," kata Rasulullah Saw. menunjukkan, "adalah istri shalihah yang jika dipandang membuatmu semakin sayang dan jika kamu pergi membuatmu merasa aman, dia bisa menjaga kehormatan dirinya dan hartamu; kendaraan yang baik yang bisa mengantar ke mana kamu pergi; dan rumah yang damai yang penuh kasih-sayang. Tiga perkara yang membuatnya sengsara adalah istri yang tidak membuatmu bahagia jika dipandang dan tidak bisa menjaga lidahnya, juga tidak  membuatmu  merasa  aman  jika  kamu  pergi  karena  tidak  bisa  menjaga kehormatan diri dan hartamu; kendaraan rusak yang jika dipakai hanya membuatmu lelah namun jika kamu tinggalkan tidak bisa mengantarmu pergi; dan rumah yang sempit yang tidak kamu temukan kedamaian di dalamnya."

Kita cukupkan pembicaraan sekilas tentang sakinah. Kita kembali lagi kepada pembahasan  kita  mengenai  pernikahan  yang  disegerakan  dan  pernikahan  yang tergesa-gesa.

Jika pernikahan yang disegerakan lebih dekat kepada kemaslahatan dan barakah, maka pernikahan yang tergesa-gesa lebih dekat kepada kegersangan dan kekecewaan. Pernikahan yang tergesa-gesa mendatangkan penyesalan dan ketidakbahagiaan. Ia mendapati istrinya menyusahkan dan membuatnya cepat beruban sebelum waktunya (he hmm, tapi bukan cepat beruban karena minyak rambut).

Saya teringat kepada penghujung do'a Nabi Daud 'alaihissalam, "Ya Allah, ... Hindarkanlah saya dari anak-anak yang durhaka terhadap orangtuanya; harta yang jadi bencana bagi saya maupun orang lain; tetangga yang buruk sifatnya, yaitu jika melihat  kebaikan  pada  saya  difitnahnya  dan  jika  melihat  keburukan disebarluaskannya, dan  istri  yang  menyusahkan, membuat saya  beruban sebelum waktunya."

Jika pernikahan yang barakah membuat rumah terasa damai dan penuh kasih sayang, pernikahan yang  tidak  barakah mengakibatkan rumah terasa  sempit  dan orang tidak menemukan kedamaian di dalamnya. Ukuran fisiknya barangkali luas, bahkan jauh melebihi kebutuhan. Akan tetapi, tidak ada kelapangan di dalamnya. Betapa bedanya antara luas dan lapang.

Pernikahan yang barakah insya-Allah akan kita dapati ketika kita menyegerakan nikah. Tetapi, pernikahan yang dilakukan tergesa-gesa justru bisa melahirkan kehampaan, kecuali kalau Allah menolong kita mengambil jarak dari keadaan kita sendiri, melakukan introspeksi yang teliti dan berhati-hati dalam menilai masalah. Selanjutnya, mudah-mudahan kita  bisa  menjaga lisan  (hifdhul-lisan) dari  menga- takan apa-apa yang tidak baik di hadapan Allah dan manusia mengenai pasangan hidup kita, sekalipun dia tidak tahu. Sebab ungkapan kekesalan dan kekecewaan -- apalagi sampai menutupi kebaikan yang ada padanya-- bisa menjadi do'a yang pasti dikabulkan ketika ucapan itu keluar bersamaan dengan sa'atu-nailin, yaitu saat ketika ucapan menjadi do'a, dan do'a pada saat itu pasti terkabul.

Pembicaraan mengenai ini akan semakin panjang jika diteruskan. Cukuplah kita akhiri dengan berdo'a, mudah-mudahan Allah mengarunia kita dengan kemuliaan dan kebarakahan dalam keluarga kita. Semoga dari sana lahir keturunan yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat  laa ilaaha illaLlah. Keturunan yang hukma- shabiyya rabbi radhiyyah, yang memberikan kesejukan mata dan ketenteraman jiwa di dunia hingga kelak di hari kiamat.

Selanjutnya, mari kita lihat perbedaan antara menyegerakan dan tergesa-gesa. Kita akan membicarakan masalah ini melalui dua cara. Pertama, melalui tanda-tanda hati (mudah-mudahan Allah menjernihkan hati kita). Kedua, melalui perumpamaan yang dapat dipikirkan oleh akal.

Tanda-tanda Hati

"Orang yang mempunyai niat yang tulus," kata Imam Ja'far Ash-Shadiq, guru dari Imam Abu Hanifah, "adalah dia yang hatinya tenang, terbebas dari pemikiran mengenai hal-hal yang dilarang, berasal dari upaya membuat niatmu murni untuk Allah dalam segala perkara."

Pada hari ketika harta benda dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang datang kepada Allah dengan hati yang suci. (QS 26: 88-90).

Kalau kita menyegerakan nikah karena niat yang jernih, insya-Allah hati kita akan merasakan sakinah, yaitu ketenangan jiwa saat menghadapi masalah-masalah yang harus diselesaikan. Kita merasa yakin, meskipun harapan dan kekhawatiran meliputi dada. Kita merasa tenang, meskipun ada sejumlah masalah yang membebani dan menyita perhatian.

Ketenangan dan beban masalah bukanlah dua hal yang bertentangan. Seperti seorang ibu yang telah memiliki kematangan, kedewasaan dan kasih sayang besar kepada anak serta pengharapan besar terhadap ridha Allah. Saat menghadapi persalinan, ia merasakan ketenangan hati dan keyakinan. Meskipun harus melewati perjuangan mendebarkan yang melelahkan secara fisik dan ketegangan psikis, namun ketegangan ini bukan sejenis perasaan tidak aman.

Lain halnya dengan tergesa-gesa. Ketergesa-gesaan ditandai oleh perasaan tidak aman dan hati yang diliputi kecemasan yang memburu. Seperti berdiri di depan anjing galak yang tidak pernah kita kenal, ada perasaan ingin untuk cepat-cepat berlari pergi menjauhi tempat itu. Kalau berlari, takut dikejar dan terjatuh. Kalau tetap berdiri di dekatnya, tidak ada kepastian dan ada kekhawatiran jangan-jangan anjing itu menggigit.

Inilah gambaran sekilas. Kalau belum jelas, bertanyalah kepada hati nuranimu. Mintalah fatwa kepadanya.
Rasulullah Saw. bersabda,

"Mintalah fatwa dari hatimu. Kebaikan itu adalah apa-apa yang tenteram jiwa padanya dan tenteram pula dalam hati. Dan dosa itu adalah apa-apa yang syak dalam jiwa dan ragu-ragu dalam hati, walaupun orang-orang memberikan fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya." (HR Ahmad).

Tanda-tanda Perumpamaan

Kalau suatu saat Anda naik motor dan menjumpai tikungan tajam, apa yang Anda lakukan? Apakah Anda akan segera membelokkan kemudi tanpa mengurangi kecepatan karena ingin cepat sampai? Atau, Anda mengurangi kecepatan sedikit, menelikung dengan miring, dan sesudah berbelok baru menambah kecepatan sedikit demi sedikit?

Jika Anda memilih yang pertama, sangat mungkin Anda terpental sendiri. Anda terjatuh, sehingga harus berhenti sejenak atau agak lama. Baru kemudian dapat meneruskan perjalanan.

Keinginan Anda untuk cepat sampai di tempat tujuan dengan tidak mengurangi kecepatan, apalagi justru dengan menambah kecepatan, tidak membuat Anda lebih cepat sampai dengan tenang, tenteram, dan aman. Bisa-bisa, kalau kecepatan Anda tetap  antara  sebelum  berbelok  dengan  saat-saat  berbelok,  Anda justru  terpental. Antara gaya sentrifugal dan gaya sentripetal, tidak seimbang.

Jika Anda memilih yang kedua, insya-Allah Anda akan dapat sampai lebih cepat. Awalnya  memang  mengurangi  kecepatan,   tapi   sesudah  betul-betul  memasuki tikungan dengan baik, Anda bisa menambah kecepatan. Jika Anda mengurangi kecepatan lebih banyak lagi, Anda bahkan dapat membelok tanpa harus memiringkan badan banyak-banyak.

Jalan yang lempang adalah tamsil dari masa melajang, masa ketika masih sendiri. Belokan adalah proses peralihan menuju status baru, menikah dan berumah tangga. Sedang jalan berikutnya yang dilalui setelah berbelok, adalah kehidupan keluarga setelah menikah.

Pilihan pertama adalah sikap tergesa-gesa untuk menikah, sedangkan pilihan yang kedua adalah menyegerakan.

Ada perumpamaan lain. Kita melihat perumpamaan yang dekat-dekat dengan kita. Kalau suatu saat Anda bikin kolak kacang hijau, ada beberapa bahan yang perlu Anda masukkan. Bahan yang paling pokok adalah kacang hijau dan   gula. Kalau Anda memasukkan gula bersamaan dengan kacang hijau, sesudah itu segera direbus, Anda akan mendapati kacang hijau itu tidak mau mekar. Anda tergesa-gesa. Kalau Anda memasukkan gula setelah kacang hijaunya mekar, Anda menyegerakan. Tetapi, kalau Anda lupa tidak segera memasukkan gula setelah kacang hijaunya mekar cu- kup lama, Anda akan kehilangan banyak zat gizi yang penting.  Sampai  di  sini,  saya  kira  cukup  pembahasan  mengenai  menyegerakan  dan tergesa-gesa. Mudah-mudahan Allah Ta'ala memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang  yang  menyegerakan, bukan  tergesa-gesa.  Semoga  Allah  menjadikan pernikahan kita barakah dan diridhai Allah.

Saya memohon perlindungan kepada Allah dari penjelasan yang tidak menambah kejelasan.  Mudah-mudahan apa  yang  kurang dalam  tulisan ini  menjadikan Anda berhati-hati. Mudah-mudahan apa yang terang, menjadikan Anda mempunyai keyakinan hati. Mantap dalam melangkah.


Segala Puji bagi Allah

Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan banyak karunia. Dialah Yang Awal dan Yang Akhir. Maha suci Allah dari segala persangkaan hamba-hamba-Nya. Maha Mulia Allah yang menurunkan hujan untuk mensucikan bumi dan menumbuhkan berbagai tanaman, baik yang berbuah, yang berbunga maupun yang berbuah sekaligus berbunga.

Saya bersyukur kepada Allah yang telah memberikan kekuatan dan petunjuk kepada saya untuk menulis bab ini, sekaligus buku ini secara keseluruhan. Semoga menjadi do'a yang baik. Menjadi sunnah hasanah yang diridhai.



Catatan Kaki:
1."Ini  dinisbahkan  atas  nama  Nabi  yang  Nabi  sama  sekali  terbebas  dari mengucapkan yang  demikian. Ini  hadis  dha'if."  Kata  Ustadz  Abdul  Hakim Abdats, "Hadis ini mursal, tabi'in langsung menyandarkan kepada nama Nabi, jelas tidak membawa nama sahabat."


Dikutip dari buku Kado Pernikahan
karya Muhammad Fauzil Adhim

Segera tambah ilmu menikah dengan buku:


 

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes