Kamis, 27 Maret 2014

Penantian

Ummul Mukminin 'Aisyah r.a. mengatakan:
"Pernikahan itu sangat sensitif dan tergantung kepada pribadi masing-masing untuk mendapatkan kemuliaannya."

Menikah adalah kesucian. Sangat besar kemuliaan di dalamnya. Sangat tinggi  kedudukannya dalam  Islam,  sehingga  Al-Qur'an  menyebutnya sebagai mitsaqan-ghaliza (perjanjian yang sangat berat). Hanya tiga kali
kata ini disebut, dua untuk perjanjian tauhid. Maka, pernikahan yang diridhai Allah akan dipenuhi oleh doa malaikat yang menjadi saksi pernikahan.

Ketika akad nikah terjadi, halal apa-apa yang sebelumnya diharamkan. Apa yang sebelumnya merupakan maksiat dan bahkan dosa besar, sejak saat itu telah menjadi kemuliaan, kehormatan dan besar sekali pahala di sisi Allah. Pernikahan telah mengubah pintu-pintu dosa dan kekejian menjadi jalan kemuliaan dan kesempurnaan manusia dalam beragama. Allah menyempurnakan setengah agama ketika seseorang melakukan pernikahan.

Namun demikian, sebelum akad ada proses. Selama proses inilah setan berusaha memanfaatkan momentumnya untuk menggoda dan merusak, sehingga pernikahan bergeser jauh dari makna dan tujuannya.

Proses menuju akad nikah banyak memberi pengaruh terhadap hubungan antara suami dan istri kelak setelah menikah. Demikian juga, hubungan antara dua keluarga, yaitu  keluarga  istri  dan  keluarga  suami,  banyak  dipengaruhi  oleh  proses  dari
peminangan hingga akad berlangsung. Persepsi dan penerimaan masing-masing anggota keluarga, banyak dipengaruhi oleh persoalan-persoalan qalbiyyah (hati, ter- masuk niat) ketika proses sedang berlangsung. Oleh karena itu, setelah peminangan, yang perlu kita jaga adalah segala hal yang dapat merusak makna dan tujuan pernikahan, yang mungkin muncul selama proses berlangsung. Sebagian proses berjalan dengan mudah dan sederhana. Sebagian harus menempuh proses yang pelik dan  rumit.  Sebagian  berlangsung  cepat  dalam  waktu  singkat,  sebagian  harus menunggu dalam waktu yang cukup lama.

Proses  pernikahan manakah  yang  terbaik?  Yang  terbaik  adalah  yang  paling maslahat dan barakah, serta jauh dari mafsadah (kerusakan) dan bibit-bibit kekecewaan yang menjauhkan orang dari rasa syukur. Proses pernikahan yang mendatangkan maslahat dan barakah bisa jadi berlangsung dengan mudah, bisa pula berlangsung melalui jalan yang pelik. Allah Maha Tahu apa yang paling maslahat bagi Anda. Ketika hujan lebat sedang turun dan petir menggelegar sambut- menyambut, kalau Anda tidak berhati-hati, bisa tersambar oleh petir yang nyasar. Kalau Anda menjaga diri, istiqamah,  dan tawakal, insya-Allah Anda akan mendapati hujan sebagai pensucian bumi hati Anda. Sedang petir membawa muatan listrik yang menerangi.

Sesungguhnya, sepanjang yang saya ketahui, salah satu pandangan Islam tentang pernikahan adalah sederhana dalam proses dan sederhana dalam pelaksanaan. Anda harus memperhatikan keadaan hati Anda ketika akan melaksanakan. Sebab, di sinilah setan berusaha untuk menyimpangkan niat dan tujuan Anda. Islam menganjurkan kita untuk menyegerakan menikah, tetapi setan bisa mengambil bentuk yang mirip ketika kita tidak mau menunda-nunda tanpa alasan. Setan mengarahkan kita untuk bersikap tergesa-gesa. Khusus pembahasan mengenai menyegerakan dan tergesa-gesa, insya- Allah akan kita bicarakan pada bab berikutnya, Antara Menyegerakan dan Tergesa- gesa.

---

Kita seringkali tidak bisa membedakan, apakah kita melakukan sesuatu
karena persangkaan kita yang baik kepada Allah ataukah justru karena persangkaan kita
yang kurang tepat kepada-Nya.

---


Setan berusaha untuk merebut masa sebelum menikah, masa yang sangat rawan. Masa ini bisa menyesatkan manusia jika tidak berhati-hati. Dengan demikian boleh jadi ia mendapati pernikahannya kelak tidak sebagaimana harapannya, meskipun -- barangkali-- pasangan hidupnya sudah berperilaku yang sesuai dengan tuntunan Islam
dan bahkan melakukan kebajikan-kebajikan dalam rumah tangga. Na'udzubillahi min dzalik. Semoga Allah menjauhkan kita dari hal-hal yang demikian.

Ada dua hal yang perlu kita jaga sejak berangkat meminang (atau, sejak datangnya pinangan bagi seorang gadis) sampai dengan pelaksanaan akad-nikah. Pertama, menyangkut persangkaan kita kepada Allah. Ini yang paling rawan. Kedua, persangkaan dan persepsi kita terhadap pernikahan dan calon pasangan hidup kita. Masalah kedua ini, banyak kaitannya dengan masalah pertama. Jika masalah yang pertama tidak baik, masalah yang kedua sangat mungkin untuk ikut tidak baik.




Persangkaan Kepada Allah

Orang yang tampak bersungguh-sungguh ketika berdoa, bisa jadi karena keyakinannya bahwa Allah itu dekat. Allah Maha Mendengar doa orang-orang yang berpengharapan  kepada-Nya.  Ia  yakin  bahwa  Allah  memperhatikan  orang  yang datang kepada-Nya untuk mengadukan keluh-kesahnya atau memohon pertolongan- Nya. Karena kemuliaan-Nya, maka adalah kelayakan bagi manusia untuk berdoa secara sungguh-sungguh sekaligus berhati-hati agar terjauh dari berdoa yang tidak layak, sekalipun Allah Sangat Luas Pemberian-Nya.

Meskipun demikian, bisa jadi orang tampak sangat bersungguh-sungguh ketika berdoa, sampai wajahnya berkerut-kerut dan ekspresinya berubah, justru karena ketidakyakinannya. Ia mengkhusyuk-khusyukkan diri ketika berdoa, justru karena keyakinannya yang tipis bahwa Allah Maha Mengabulkan doa orang-orang yang berpengharapan kepada-Nya. Ia menyangatkan diri ketika memohon kepada Allah karena  khawatir keinginannya tidak  tercapai,  padahal ia  tahu  Allah  Maha  Besar Kekuasaan-Nya.

Sungguh, sangat jauh perbedaan antara kesungguhan doa orang yang yakin dan kesungguhan orang yang berdoa justru karena kurang yakin terhadap kemurahan Allah. Orang yang sangat besar keyakinannya kepada Allah ketika berdoa bisa jadi sampai menangis, mengingat-ingat besarnya karunia Allah dan kecilnya amanah yang sudah  ia  tunaikan.  Orang  yang  berdoa  karena  kurngnya  keyakinan,  juga  bisa menangis. Tetapi jauh sekali perbedaannya. Dan berbeda sekali persangkaannya kepada Allah. Padahal, Allah Swt. berfirman dalam sebuah hadis Qudsi:

"Aku   menuruti   persangkaan   hamba-Ku   kepada-Ku."  (HR   Bukhari   dan
Muslim).

Kita seringkali tidak bisa membedakan, apakah kita melakukan sesuatu karena persangkaan kita  yang baik kepada Allah ataukah karena persangkaan kita  yang kurang tepat kepada Allah Azza wa Jalla. Kita sering tidak bisa membedakan, kecuali setelah mengambil jarak dari masalah itu dengan pertolongan Allah. Dan datangnya pertolongan Allah, adakalanya sesuai dengan persangkaan kita mengenai pertolongan, bisa  pula  sebaliknya,  justru  nampak  berkebalikan  dengan  apa  yang  kita  anggap sebagai cara menolong. Sungguh, rugi orang yang menyangka pertolongan Allah
sebagai pengabaian-Nya. Semoga kita terhindar dari prasangka yang tidak diridhai- Nya.

Pernikahan adalah salah satu amanah Allah bagi manusia yang beriman kepada- Nya.  Pernikahan  adalah  ketundukan  kita  kepada-Nya,  sekalipun  Allah  memberi tempat  kepada  perasaan-perasaan manusiawi. Justru,  Allah-lah yang  memberikan perasaan-perasaan dan dorongan itu kepada manusia. Sementara itu, setan berusaha untuk memanfaatkan momentum menjelang nikah, selama proses menuju pernikahan, justru untuk mengangkuhkan diri seolah Allah tidak memperhatikan. Padahal tidak ada yang bisa disembunyikan dari pengetahuan dan "penglihatan" Allah.

Pernikahan  adalah  amanah  Allah.  Dan  Allah  tidak  pernah  zalim  kepada makhluk-Nya. Tidak pernah Allah memberikan amanah kepada manusia, kecuali Ia akan memberikan sarana untuk memenuhi amanah. Allah tidak pernah zalim. Maha Suci Allah dari kezaliman.

Setiap amanah telah dicukupi dengan sarana yang dengan itu orang bisa melaksanakan amanah-Nya, dalam hal ini melaksanakan pernikahan. Walaupun demikian,  manusia  sering  melakukan  kezaliman  kepada  dirinya  sendiri  maupun kepada Allah dengan prasangka-prasangka buruk kepada-Nya. Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya yang luas ampunan dan kasih sayang-Nya.

Astaghfirullahal'adzim. Laa ilaaha illa  Anta, subhanaka innii  kuntu minazh- zhalimin.

Masya Allah. Manusia seringkali tergesa-gesa dan penuh keluh-kesah karena dangkalnya ilmu dan pendeknya jangkauan akalnya terhadap rahmat Allah. Ketika membutuhkan gerimis untuk mendinginkan bumi hatinya, ia mengeluh dan kadang bahkan cepat memberikan penilaian yang salah ketika Allah mengirimkan mendung. Padahal, mendung yang tebal itu membawa muatan air yang melimpah, lebih dari sekedar yang ia butuhkan. Ketika ia tidak melihat mendung, dan hanya merasakan teriknya matahari, ia lupa bahwa matahari pun adalah rahmat. Berkait dengan keinginannya, matahari mempercepat penguapan air laut menjadi awan yang selanjutnya akan menjadi hujan. Tetapi manusia sangat pendek jangkauan akalnya, tergesa-gesa dan mudah mengeluh.

Semoga Allah mengampuni kezaliman kita dan menggantikan dengan hati yang bersyukur.

Masalah-masalah berkenaan dengan prasangka yang kurang baik terhadap Allah, tidak  hanya  ketika  berhadapan dengan apa  yang  oleh  anggapan lahiriah  sebagai kesulitan. Keadaan-keadaan yang dirasa mudah, juga perlu dijaga agar kemudahan yang diberikan oleh Allah tidak menjatuhkan kita ke dalam keadaan "mengabaikan" rahmat Allah. Seolah-olah, kitalah yang menyebabkan kemudahan. Manusia memang rawan terhadap sikap takabur, menyombongkan diri di hadapan orang lain dan di hadapan dirinya sendiri.

Mudah-mudahan kita bisa menjaga persoalan-persoalan qalbiyyah selama proses menuju pernikahan berlangsung. Semoga Allah subhanahu wa ta'ala menyelamatkan
kita dari urusan hati yang menjerumuskan. Semoga Allah mensucikan niat kita dalam melangkah ke jenjang pernikahan. Saya sangat mengharap kepada Allah niat terbaik saat melangsungkan akad-nikah. Mudah-mudahan Allah menjadikan pernikahan kita barakah  dan  diridhai  Allah  hingga  kelak  kita  menghadap-Nya  di  yaumil-akhir. Mudah-mudahan Allah Swt. mengaruniai kita keturunan yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat  laa ilaaha illaLlah.

Inilah yang kita perlu jaga. Kita perlu menata hati ketika menjalani urusan- urusan selama proses berlangsung, termasuk ketika nanti mengadakan walimah. Mudah-mudahan kebersahajaannya maupun kemeriahannya, kita laksanakan di atas niat serta jalan yang diridhai Allah. Semoga barakah dunia akhirat. Allahumma amin.

Segala puji bagi Allah dalam segala keadaan.




Persangkaan dan Persepsi Terhadap Calon

Proses pernikahan ada yang berlangsung cepat, ada yang membutuhkan waktu lama. Mengenai waktu yang dibutuhkan selama proses, saya teringat kepada doa keluar rumah yang artinya, "Dengan menyebut nama Allah atas jiwaku, hartaku, dan agamaku. Ya Allah, jadikanlah aku ridha dengan apa yang Engkau tetapkan dan jadikanlah barakah apa yang telah Engkau takdirkan. Sehingga, tidak kepingin aku untuk menyegerakan apa yang Engkau tunda, dan menunda apa yang Engkau segerakan."

Ada satu catatan. Pernikahan termasuk salah satu dari tiga perkara yang dianjurkan untuk disegerakan. Jika tidak ada hal yang merintangi, mempercepatnya adalah lebih baik. Mempercepat proses pernikahan termasuk salah satu kebaikan dan lebih dekat dengan kemaslahatan, barakah, dan ridha Allah. Insya-Allah, pertolongan Allah sangat dekat. Apa-apa yang menghalangi langkah untuk menyegerakan, akan dimudahkan dan dilapangkan. Sesungguhnya Allah tidak zalim   terhadap apa-apa yang  diserukan-Nya.  Allah  tidak  zalim  terhadap  hamba-Nya,  betapa  pun  Allah Mutlak Kekuasaan-Nya. Kitalah yang sering zalim kepada Allah.

Laa ilaaha illa Anta, subhanaka innii kuntu minazh-zhalimin. Rabbana zhalamna anfusana waillam taghfirlana lanaa kuunanna minal khosirin.

Ya Allah, ampunilah hamba atas kezaliman hamba sendiri.

Mempercepat  proses  pernikahan  adalah  lebih  baik,  tetapi  hendaknya  tidak terjatuh pada sikap tergesa-gesa. Selama proses berlangsung, kita membutuhkan informasi dan pembicaraan berkaitan dengan rencana pernikahan. Adakalanya, kita mendapatkan informasi mengenai beberapa hal dari keluarga calon, perantara, atau orang lain. Adakalanya, kita mendapatkan keterangan tentang beberapa hal dari calon pendamping secara langsung.

Selama masa ini kita sangat peka terhadap berbagai informasi yang kita terima, disebabkan   oleh   besarnya   harapan   untuk   menyegerakan   ataupun   besarnya
kekhawatiran. Bisa juga oleh sebab-sebab lain yang bersifat qalbiyyah (hati). Kadang- kadang, orang mengalami deprivasi (kebutuhan yang sangat, seperti orang yang lapar) yang menyebabkannya menjadi lebih peka terhadap jenis-jenis informasi tertentu. Pada saat Anda sedang mengalami deprivasi makanan, Anda akan cepat mengira orang yang sedang memukul-mukulkan besi kecil sebagai penjual nasi goreng sedang lewat.

Masa menjelang nikah adalah masa yang sensitif. Apa yang berlangsung selama masa ini, bagaimana memaknainya, mempengaruhi bagaimana kedua manusia itu kelak akan menghayati pernikahannya. Proses antara pinangan dengan pelaksanaan akad,  hingga  detik-detik akadnya, bisa  menjernihkan niat-niat  yang  masih  keruh sehingga  pada  saat  keduanya  melakukan  shalat  berjama'ah  segera  setelah  akad, mereka banyak beristighfar, memohon pertolongan Allah untuk melimpahkan kebarakahan dan menjauhkan dari keburukan, serta merasakan syukur yang dalam karena telah terhindar dari ancaman maksiat. Tetapi, proses menuju pernikahan bisa juga mengeruhkan niat-niat, sekalipun sekilas tampak mendapat pembenaran agama. Padahal manusia mendapatkan hasil dari perbuatannya sesuai dengan apa yang diniatkan.

Pada masa ini, di antara sekian banyak hal yang mungkin harus diselesaikan, masalah lisan adalah yang paling peka dan paling rawan. Sebab, masalah memperlakukan lisan ini mempengaruhi keseluruhan masalah lain, termasuk dalam hubungan suami-istri setelah menikah. Bahkan termasuk bagaimana menghayati hubungan intim suami-istri. Wallahu A'lam bishawab wastaghfirullahal 'adzim. Saya mohon perlindungan Allah dari kekejian lisan saya sendiri.

Ada dua hal yang perlu dijaga dalam memperlakukan lisan selama proses berlangsung (juga sesudahnya). Pertama, menjaga lidah dalam mengucapkan kata- kata (hifdhul-lisan). Kedua, menjaga persepsi kita terhadap apa yang kita dengar dari lisan orang lain.

Ada dua bagian manusia yang dapat menjaminkan surga atau menjerumuskan ke neraka, yaitu lisan dan kemaluan. Nikah adalah proses menjaga kesucian kemaluan kita dari tindakan yang tidak diridhai Allah (mudah-mudahan kita termasuk orang yang menikah demi menjaga kesucian farji). Melalui nikah, apa yang sebelumnya merupakan dosa besar, menjadi ibadah yang dimuliakan. Nikah adalah kesucian. Tetapi, lisan dapat menjadikannya keruh.

Dari Sahl bin Sa'd As-Sa'di r.a., bahwa Rasulullah Saw. bersabda,

"Barangsiapa yang menjamin kepadaku akan menjaga apa yang ada di antara kedua  rahangnya  (mulut)  dan  apa  yang  ada  di  antara  kedua  kaki  pahanya (kemaluan) niscaya aku menjamin surga untuknya." (HR Bukhari).

Suatu ketika Uqbah bin Amir r.a. bertanya, "Ya Rasulullah, apakah keselamatan
itu?"



Beliau menjawab, "Tahanlah lisanmu, kerasanlah di rumahmu, dan tangisilah
dosamu." (HR Tirmidzi).
Saya tidak bisa menjelaskan bab ini lebih lanjut. Cukuplah saya akhiri bab ini dengan beberapa hadis. Mudah-mudahan Allah Swt. mengampuni kesalahan- kesalahan niat  dalam  menikah disebabkan oleh  ketidaktahuan kita,  dan meluruskannya dengan  menyemayamkan niat  terbaik  yang  diridhai-Nya. Mudah- mudahan kelak kita akan mendapati pernikahan kita dan keturunan kita seluruhnya barakah dan diridhai Allah 'Azza wa Jalla. Allahumma amin.

Al-Maqdisi mengetengahkan sebuah hadis, bahwa Rasulullah Saw. bersabda, "Berikan  penafsiran  terbaik  tentang  apa  yang  engkau  dengar,  dan  apa  yang diucapkan saudaramu, sampai  engkau  menghabiskan semua  kemungkinan dalam arah itu."

Suatu ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya mengenai hadis, "Jika engkau mendengar sesuatu yang mungkin diucapkan oleh saudaramu, berikan interpretasi yang terbaik sampai engkau tidak dapat menemukan alasan untuk melakukannya."

Menanggapi  pertanyaan  tersebut,  Imam  berkata,  "Carilah  alasan  untuknya dengan mengatakan mungkin dia berkata begini, atau mungkin maksudnya begini."

Tabayyun (meminta penjelasan) adalah bentuk lain upaya untuk mendapatkan interpretasi sesuai dengan yang dimaksudkan oleh orang yang mengucapkannya. Bisa jadi kita mendengar langsung dengan orang yang berbicara, tetapi kita menangkapnya tidak sebagaimana dimaksud. Di sinilah tabayyun (mengecek kebenaran informasi) diperlukan.

Rasulullah Saw. juga diriwayatkan pernah bersabda,

"Janganlah salah satu di antara kamu sekalian ber-imma'ah, yang jika orang lain baik maka engkau baik, dan jika mereka jelek maka engkau ikut jelek pula. Akan tetapi hendaklah engkau tetap konsisten terhadap (keputusan) dirimu. Jika orang- orang baik, maka engkau juga baik, dan jika mereka jelek, hendaklah engkau menjauhinya keburukan-keburukan mereka." (HR Tirmidzi).

Apakah imma'ah itu?  Kita  minta Muhammad Hashim Kamali, seorang guru besar ilmu fiqih pada International Islamic University, Malaysia, untuk menjelaskan. Menurut Muhammad Hashim Kamali, imma'ah adalah, "Memuji atau mencela orang lain tanpa alasan, tetapi semata-mata karena dia melihat orang lain melakukan hal itu."

Kita imma'ah ketika kita dengan cepat menyimpulkan ucapan orang lain hanya dari mendengar selintas. Kita juga imma'ah kalau kita segera memberikan pujian karena   mendengar   kabar   sekedarnya   mengenai   dia.   Apalagi   kalau   sampai menjatuhkan kesimpulan dengan sangat yakin tentang seseorang hanya dari rumor -- entah, apakah masih termasuk imma'ah atau bukan.

Alhasil, dengan kriteria seperti itu, rasanya hampir setiap hari kita terperosok ke dalam imma'ah. Kadang-kadang tersadar sesudah lewat, tetapi melakukan kesalahan lagi beberapa menit sesudah sadar.
Saya mohon ampunan kepada Allah atas berbagai perbuatan imma'ah yang saya lakukan karena ketidaktahuan saya atau karena kecerobohan saya. Saya meminta maaf kepada Anda jika saya pernah gegabah menyimpulkan ucapan Anda, padahal saya belum memeriksanya.

Apapun, kita mengharap pertolongan Allah semoga kemudahan dalam proses menumbuhkan kehangatan dan keakraban setelah menikah. Adapun kesulitan dalam proses, melahirkan kesetiaan, kedalaman cinta, dan kelurusan niat setelah melaksanakan akad nikah. Bagi mereka ketenteraman, mawaddah wa rahmah hingga hari kiamat kelak. Allahumma amin.

Rahmat Allah datang dalam berbagai bentuk.

Di kutip dari buku kado pernikahan untuk istriku
karya Muhammad Fauzil Adhim

Dapatkan ilmu sebelum menikah di buku Barakallahu Laka



Senin, 03 Maret 2014

Mencari informasi tentang calon Kita dan Perantara

Suatu ketika, Amirul Mukminin Umar bin Khaththab r.a. ingin menilai seorang laki-laki yang datang kepada beliau memohon agar diberi jabatan dalam pemerintahan. Umar r.a. berkata kepadanya, "Bawa orang yang mengenalmu ke sini!"
Lelaki itu pulang dan kembali membawa seorang teman. Lalu Umar r.a. bertanya kepada orang itu, "Apakah kau kenal orang ini?"
"Ya."
"Apakah  kau  tetangganya,  dan  tahu  keadaan  yang  sebenarnya?"  Umar  r.a. bertanya.
"Tidak," kata orang itu.
"Apakah kau pernah menemaninya dalam perjalanan, sehingga kau tahu pasti perangai dan akhlaknya..."
"Tidak."
"Apakah kau pernah berhubungan masalah uang dengan orang itu, sehingga kau tahu bahwa dia sangat takut memakan barang yang haram?"
"Tidak".
"Apakah kau hanya mengenalnya di masjid ketika dia berdiri dan duduk di masjid?"
"Ya".
"Enyahlah kau dari sini. Kau tidak mengenalnya...!"
Lalu Umar r.a. menoleh kepada laki-laki yang datang kepadanya itu dan berkata,
"Bawa lagi orang yang benar-benar mengenalmu ke sini."
Dalam riwayat lain dikatakan, ada seseorang berkata kepada Amirul Mukminin Umar r.a. bahwa di fulan itu seorang yang jujur. Maka Amirul Mukminin bertanya, "Apakah kau pernah menempuh perjalanan bersamanya?"
"Tidak".
"Apakah  pernah  terjadi  permusuhan  antara  kau  dan  dia?"  tanya  Umar  bin
Khaththab. "Tidak."
"Apakah kau pernah memberinya amanat?" "Tidak."
"Kalau  begitu,"  kata  Umar  r.a.,  "kau  tidak  mengenalnya  selain  melihatnya
mengangkat dan menundukkan kepalanya di masjid."

Kisah percakapan Umar bin Khaththab ini saya angkat dari buku Memilih Jodoh dan Tatacara Meminang dalam Islam (GIP, 1995) karya Husein Muhammad Yusuf ketika membicarakan tema cara memilih suami yang baik.

Dalam dua riwayat tersebut, Umar memeriksa apakah orang yang dihadapkan kepadanya memenuhi syarat untuk menjadi sumber informasi mengenai seseorang. Dalam proses pernikahan, pihak calon pengantin perempuan seringkali membutuhkan sumber informasi. Kadang, sumber informasi ini sekaligus menjadi perantara (comblang) yang mengusahakan pertemuan dua pihak menjadi satu keluarga. Sering juga, calon pengantin membutuhkan informasi dari berbagai sumber informasi di luar perantara.

Selama proses menuju pernikahan, orang membutuhkan sumber informasi. Pertama, untuk memperoleh keterangan mengenai aspek-aspek pribadi calon suami/istri. Kedua, orang yang membutuhkan sumber informasi, bisa untuk memperoleh   keterangan   tentang   persoalan-persoalan   temporer    (sesaat)   dan situasional. Tentang persoalan kedua ini, insya-Allah kita akan membahasnya pada bab berikutnya Selama Proses Berlangsung, segera setelah bab ini selesai.

Memperantarai dua orang untuk menikah mendapat kedudukan mulia  dalam Islam. Membantu dua orang yang berkeinginan untuk menikah, sehingga Allah mempertemukan mereka sebagai suami istri yang sah di hadapan Allah, insya-Allah lebih  dekat  kepada  ridha  Allah.  Ada  berbagai  keterangan  mengenai  keutamaan menjadi perantara nikah, insya-Allah termasuk menjadi sumber informasi bagi me- reka yang mau menikah. Tetapi bukan bagian saya untuk membahas masalah ini, mengingat belum adanya ilmu pada saya tentang ini. Selain itu, saya belum tepat untuk membicarakan masalah ini. Wallahu A'lam bishawab wastaghfirullahal 'adzim.

Cukuplah saya kutipkan nasehat Sayyidinina 'Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhahu. Beliau mengatakan, "Sebaik-baik syafaat adalah memperantarai dua orang untuk menikah, di mana dengan itu Allah mengumpulkan mereka berdua."

Selanjutnya, saya ingin membahas beberapa hal penting bagi mereka yang meniatkan  diri  untuk  memperantarai  pernikahan.  Demikian  juga  bagi  sumber informasi   yang   dimintai   keterangan   oleh   salah   satu   pihak   calon   pengantin. Pembahasan ini saya harapkan juga bisa bermanfaat bagi mereka yang akan menikah,
sehingga mereka memperoleh maslahat dan barakah yang besar dalam pernikahan. Mudah-mudahan Allah 'Azza wa Jalla memberi petunjuk kepada saya tentang ini, memperjalankan saya dengan kekuasaan-Nya untuk menepati petunjuk-Nya, dan menjauhkan saya dari kekeliruan-kekeliruan saya sendiri.


Pertama,
Memberi Informasi Objektif

Perantara maupun sumber informasi seyogyanya memberikan informasi yang objektif. Ia memberi keterangan yang bersifat informatif sehingga dapat bermanfaat bagi calon pengantin maupun keluarganya untuk menilai calon pasangannya.

Adakalanya,   sebagian   informasi   tidak   informatif,   tidak   bernilai   sebagai informasi. Justru, kadang malah menimbulkan penilaian (persepsi) yang salah tentang calonnya. Tidak informatifnya keterangan yang diberikan, kadang karena kurangnya deskripsi (penggambaran) mengenai informasi yang abstrak.

Kalau Anda mengatakan "dia  wanita yang baik" ketika  ada  seseorang yang memiliki "maksud" bertanya, maka perlu Anda tunjukkan perilaku-perilaku dan sikap yang membuat Anda menyimpulkan dia sebagai wanita yang baik. Tanpa penjelasan, peminang bisa salah persepsi sehingga ia menemui kekecewaan-kekecewaan yang beruntun  setelah  menikah.  Padahal,  andaikata  ia  memperoleh  keterangan  yang objektif dan informatif, insya-Allah dia justru mendapati istrinya sebagai wanita yang menyejukkan, sekalipun ada kekurangan-kekurangan.

Kedua,
Tidak Persuasif

Kita sebaiknya tidak memberi keterangan yang bersifat persuasif (membujuk). Keterangan yang persuasif, apalagi jika sengaja mempersuasi agar kedua orang itu berhasil  dipertemukan,  dapat  memunculkan  kondisi  psikis  yang  tidak menguntungkan.

Pertama, informasi persuasif (bersifat membujuk, promosi) dapat memunculkan harapan (atau malah angan-angan) yang terlalu tinggi mengenai calonnya. Ini menjadikannya kurang peka terhadap kebaikan-kebaikan pasangannya kelak setelah menikah, karena secara  tak  sadar selalu  membandingkan dengan harapan semula sebelum menikah. Ia lebih peka terhadap kekurangan, meskipun sedikit, sementara kebaikannya sebenarnya banyak.

Keadaan ini mudah menimbulkan kekecewaan atau bahkan kecenderungan untuk melakukan penolakan psikis terhadap pasangannya. Padahal, semakin tidak bisa mensyukuri kebaikan pasangannya, semakin besar penderitaan psikisnya. Sementara
untuk mengambil jarak dari masalah, lebih sulit karena sudah mengalami distorsi kognitif.

Sebagian informasi persuasif ini berasal dari buku-buku yang lebih banyak menjanjikan keindahan yang akan didapatkan ketika menikah, tetapi kurang banyak membahas pada bagaimana keduanya harus memperjuangkan keluarganya. Ketiadaan misi dan lebih banyak persuasi, menumbuhkan harapan yang tidak seimbang.

Kedua, informasi yang persuasif mengarahkan harapan orang tentang keindahan- keindahan yang akan diberikan pasangan hidupnya. Bukan apa yang kelak perlu ia lakukan kepada pasangannya. Ini menjadikannya mudah merasa kurang terhadap apa yang telah diberikan oleh pasangannya. Bahkan, ketika pasangannya telah banyak memberikan keindahan-keindahan, kehangatan dan penghormatan, ia tidak merasakannya  sebagai  kebaikan  yang  layak  disyukuri.  Ia  menerimanya  sebagai sekedar kewajaran yang  memang sudah seharusnya ia  terima.  Tuntutan terhadap pasangan lebih mudah muncul dalam dirinya. Susahnya, tuntutan itu sering tidak dinyatakannya karena  ia  merasa  bahwa  mengenai  hal  itu  "seharusnya dia  sudah mengerti".

K.H. Jalaluddin Rakhmat menceritakan, bila sepasang suami-isteri saling mencintai, lama kelamaan wajahnya akan saling mirip satu dengan yang lain. Terjadi perubahan fisiologis di antara mereka. Ini disebabkan oleh perubahan psikologis. Karena itu, kata Kang Jalal, mulailah dari perubahan akhlak, nanti fisik mengikuti.

Wallahu A'lam. Tetapi ada yang patut dicatat dari cerita Kang Jalal. Suami-istri yang saling mencintai akan saling menemukan kesamaan-kesamaan. Kalau mereka menjumpai perbedaan, insya-Allah mereka akan berusaha mempersamakan atau menoleransi perbedaan. Ada sebuah keluarga yang setiap membuat sayur, harus selalu dipisahkan dua ketika suami di rumah. Istrinya suka masakan yang manis, sedang suaminya suka asin. Tetapi keduanya hidup harmonis.

Tetapi ketika harapan terhadap pasangan terlalu tinggi, ia akan peka terhadap perbedaan-perbedaan. Sementara perbedaan yang ada melahirkan kesenjangan psikis maupun komunikasi.

Sesungguhnya, kalau kita selalu mencari perbedaan pada diri pasangan sebagai kekurangan, maka tidak ada orang yang sama persis dengan kita kecuali dengan diri kita sendiri. Tetapi, kalau kita mencari kesamaan-kesamaan sebagai kebaikan atau untuk introspeksi, insya-Allah kita akan menjumpai kesamaan pada pasangan kita sebanyak yang kita cari. Wallahua'lam wallahul musta'an.

Ketiga, orang justru menjadi takut menikah karena membandingkan persepsinya (penilaiannya) mengenai calon dengan keadaan dirinya. Seorang ikhwan bisa bisa merasa minder dan "ngeri", karena menganggap akhwat yang ia harapkan terlalu tinggi derajatnya dan "hampir-hampir mencapai kesempurnaan". Alhasil, ia  tidak berani meminang atau menerima pinangan justru karena pengaruh informasi yang persuasif. Padahal, keadaan yang sesungguhnya tidak demikian.
Dalam kasus ini, informasi persuasif justru bisa mendekatkan kepada madharat.
Allahua'lam wastaghfirullahal 'adzim.

Ketiga,
Memberi Informasi Menurut Apa yang Diketahui

Nilai keutamaan orang yang memperantarai pernikahan atau pun yang menjadi sumber informasi, insya-Allah terletak pada usaha untuk memberi keterangan yang tepat. Bukan pada banyaknya informasi yang dapat ia sampaikan. Seyogyanya, kita menjauhkan diri dari memberi informasi yang bersifat qila wa qila (katanya sih katanya, kononnya konon). Informasi mengenai hal-hal fisik, seharusnya ia ketahui dari melihat langsung.

Bagi Anda yang ingin mengetahui keadaan fisik calon, masalah ini perlu mendapat perhatian. Wajah dan  telapak  tangan,  dapat  Anda  lihat  sendiri. Tetapi mengenai bagian  fisik  lainnya,  Anda  perlu  meminta  orang  lain  jika  Anda  ingin mengetahuinya. Contoh terbaik dalam hal ini adalah Rasulullah Saw.

Imam Ahmad, Imam Thabrani, Imam Hakim, dan Imam Baihaqi pernah meriwayatkan sebuah hadis dari Anas bin Malik r.a. Suatu ketika, Rasulullah Saw. pernah mengutus Ummu Sulaim r.a. kepada seorang wanita (yang akan dilamar). Rasulullah mengatakan, "Perhatikanlah urat di atas tumitnya dan ciumlah bau lehernya."

Dalam riwayat lain  disebutkan, Rasulullah Saw. berkata, "Ciumlah bau gigi
(depannya) di sepanjang lebar mulutnya."

Keempat,
Lebih Melihat Pada Usaha

Memperantarai dua orang untuk menikah, menurut Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhahu merupakan sebaik-baik syafaat. Nilai usaha orang yang memperantarai, insya-Allah terletak pada kesungguhannya dalam mengusahakan. Berhasil atau tidak, baginya pahala orang menikahkan dua orang saudara sesama Muslim.

Karena itu,  seorang perantara hendaknya lebih  memperhatikan kemaslahatan dalam mengusahakan, bukan berorientasi pada keberhasilan mempertemukan. Kegagalan mempertemukan insya-Allah bukan keburukan, jika Anda mengusahakan pada kemaslahatan. Kesudahan bagi keduanya insya-Allah baik.

Sebaliknya, keberhasilan mempertemukan tetapi kurang memperhatikan kemaslahatan-kemaslahatan, terma-suk dalam memberi informasi, bisa justru menghasilkan madharat. Mudah-mudahan Allah Swt. memasukkan kita  ke dalam
golongan orang-orang yang selamat dan bahagia. Bukan golongan orang-orang yang tersesat dan menderita.

Kelima,
Moderat dan Tidak Menyudutkan

Adakalanya orang yang diperantarai menghadapi beberapa pilihan. Menentukan pilihan untuk masalah yang menyangkut kehidupan selama  di  dunia dan sampai akhirat ini, bukan perkara mudah. Butuh kejernihan agar tidak terombang-ambing oleh desakan hawa nafsu yang jahat. Butuh kejernihan, agar hati semakin berih dan lurus ketika mengambil keputusan. Tidak justru merusak niat. Padahal, niat adalah masalah mendasar dalam mengambil keputusan.

Seorang perantara yang menjumpai keadaan seperti ini,  hendaknya berusaha untuk  bersikap  moderat.  Sikap  moderat  (al-wasthiyyah)  insya-Allah  lebih  dekat kepada kemaslahatan dan ridha Allah. Sekalipun ia berdiri untuk memperantarai salah satu  orang  yang  sedang  dipertimban-kan,  ia  sebaiknya  bersikap  netral. Kecenderungan hati barangkali sulit dihapuskan. Tetapi, insya-Allah akan baik kalau ia mencoba memilih berdiri di tengah-tengah dalam ucapan. Ini akan membuahkan ketenangan. Dan ketenangan lebih dekat kepada kejernihan.

Adakalanya sebagian orang bersikap kurang moderat. Ia cenderung mengarahkan pikiran orang yang diperantarai, sekalipun barangkali tidak disadari. Kadang-kadang bahkan mengarahkan kepada "sikap negatif" yang memojokkan, sehingga orang yang diperantarai merasa tertekan. Merasa berada pada situasi yang riskan. Atau, menyebabkan orang yang diperantarai tertekan secara  emosional. Padahal, dalam saat-saat seperti itu, yang ia butuhkan adalah kejernihan dan ketenangan agar lebih dekat kepada tawakal dan ridha Allah. Pada saat-saat seperti ini orang yang hendak menikah sangat perlu menjaga prasangka dan keyakinannya terhadap Allah Swt.

Moderat lebih dekat dengan keseimbangan. Saya pernah mendengar seorang perantara memberikan pertanyaan yang bernada memojokkan, "Apa sudah ada tanda- tanda penolakan dari pihak sana?"

Pertanyaan yang semacam ini juga termasuk tidak netral dan bisa menyebabkan ketidakamanan secara  emosional,  "Bagaimana,  apa  sudah  ada  kecenderungan ke pihak yang di sini? Barangkali sudah ada kepastian kalau tidak jadi."

Pertanyaan-pertanyaan sejenis, juga keterangan-keterangan lain yang tidak berimbang,   membawa   orang   yang   diperantarai   kepada   situasi   yang   tidak mengenakkan emosi. Keputusan yang hampir jadi sesuai yang dikehendaki perantara, bisa justru mentah kembali karena pertanyaan atau pun pernyataan yang menyudutkan secara emosional.
Saya ingat kisah Sayyidina 'Ali karamallahu wajhahu. Semua musuhnya tahu kalau Sayyidina 'Ali sudah mengangkat pedang, sulit mengelak dari tebasannya ketika berhadapan di medan peperangan.

Suatu ketika, seorang musuh berada pada situasi terdesak. Ia berhadapan dengan Sayyidina 'Ali. Merasa terdesak dan tak ada pilihan lain, ia meludahi Sayyidina 'Ali. Pedang  yang  hampir  menebas,  ternyata  tidak  jadi  menghilangkan  nyawanya. Mengapa Sayyidina 'Ali mengurungkan tebasan pedangnya? Beliau tidak ingin mengayunkan pedangnya karena hati yang terusik oleh ludah.

Sikap seorang ustadz berikut agaknya bisa dicontoh. Ketika ada orang mengajukan masalahnya, ia menunjukkan sisi baik dari keduanya secara berimbang. Kekurangan   pada   salah   satu   pihak,   ditunjukkan   sebagai   kesempatan   untuk memperoleh kemuliaan akhirat, dan diimbangi dengan kelebihan yang mungkin ada. Sementara kekurangan pihak lainnya, dijelaskan dengan cara yang sama secara seimbang dan adil.

Keenam,
Memotivasi Jika Mampu

Sebagian perantara maupun sumber informasi, selain memberikan keterangan yang diperlukan juga memberi motivasi. Ini baik, agar orang bersemangat dan tetap optimis menghadapi tantangan dan kesulitan yang ada. Jika orang yang diperantarai masih ragu-ragu, motivasi dapat membuatnya yakin dan mantap untuk segera melangkah ke jenjang pernikahan. Ia dapat memikirkan kesulitan-kesulitan yang ada secara tenang, sehingga Allah memudahkannya keluar dari masalah. Insya-Allah.

Meskipun demikian, seorang perantara maupun sumber informasi perlu berhati- hati dalam memberikan motivasi (targhiib). Syukur, jika motivasi yang diberikan lebih  dapat  menumbuhkan keyakinan  terhadap  pertolongan  Allah.  Sesungguhnya Allah itu dekat dan sangat luas karunia-Nya. Juga berkenaan dengan firman Allah Swt, "Fa idza 'azzamta, fa tawakkal 'alaLlah." Maka, jika kamu telah membulatkan tekad, bertawakkallah kepada Allah.

Jika Anda dapat memotivasi orang ke arah yang demikian, insya-Allah kelak Anda akan mendapatkan syafa'at dan keutamaan di akhirat. Sementara itu, di mata manusia sikap demikian merupakan kemuliaan.

Akan tetapi, jika Anda memotivasi dengan menonjolkan aspek-aspek pada diri calon yang mungkin menjadikannya lebih terpengaruh, saya khawatir kesudahannya malah tidak baik. Sikap ini rawan terhadap impression management (pengelolaan kesan). Dan impression management mendekati manipulasi informasi, tidak menunjukkan sebagian informasi untuk lebih menonjolkan informasi yang dianggap penting. Ini menimbulkan kesan dan harapan. Kalau tidak sesuai dengan yang diangankan, dapat menimbulkan kekecewaan di belakang hari.
Menceritakan aspek-aspek yang ada pada diri calon, boleh dilakukan. Tetapi hendaknya tetap memperhatikan, agar keterangan tersebut tidak mendorong munculnya persepsi yang keliru dan harapan yang tidak tepat. Bersyukur, jika sumber informasi atau perantara dapat memberikan keterangan mengenai diri calon sekaligus mengarahkan pada kelurusan niat. Ada ladang amal shalih di dalamnya.

Perantara untuk Menawarkan Maksud Seorang Wanita

Jika seorang wanita bermaksud menawarkan diri dan meminta bantuan kepada Anda untuk memperantarai, ada persoalan yang perlu mendapat perhatian. Perantara adalah penghubung antara maksud mulia seorang wanita dengan laki-laki yang diharapkan. Sekaligus, ia menjadi orang pertama yang memberi keterangan kepada pihak laki-laki mengenai wanita yang mempunyai maksud.

Perantara  perlu  berhati-hati  dalam  mengemukakan  alasan  wanita  tersebut memilih laki-laki yang dimaksudkan. Ia perlu menjaga agar sikap dan keterangannya, tidak menimbulkan pandangan yang keliru dari laki-laki yang dimaksud terhadap wanita yang menginginkannya. Ini terutama berkait dengan wanita itu, sekaligus nanti pengaruh mendasarnya pada niat laki-laki itu ketika mempertimbangkan.

Niat dan harapan, sebagaimana kita bahas di bagian awal bab ini, sangat mempengaruhi bagaimana orang menjalani kehidupannya setelah berumahtangga.

Seorang perantara sebaiknya berusaha untuk  tidak  menonjolkan aspek  fisik, terutama kecantikan dan kekayaan, dengan harapan agar laki-laki yang dimaksudkan lebih terdorong. Kalaupun wanita itu bermaksud mempercayakan hartanya kepada suaminya, perantara sebaiknya berusaha mengarahkan kepada kelurusan niat. Kisah Rabi'ah binti Ismail Asy-Syamiyah, menarik untuk disimak.

Selanjutnya,  pembicaraan  ini  saya  cukupkan  dengan  dua  hadis  Nabi  Saw. Mudah-mudahan dapat menjadi renungan. Mudah-mudahan Allah memberikan petunjuk.

Imam Thabrani meriwayatkan hadis dari Anas bin Ma-lik r.a. yang menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda, "Barangsiapa menikahi wanita karena kehormatannya (jabatannya), maka Allah hanya akan menambahkan kehinaan."

"Barangsiapa yang menikahi wanita karena hartanya, maka Allah tidak akan menambah kecuali kefakirannya."

"Barangsiapa yang  menikahi  wanita  karena  nasabnya  (kemuliaannya), maka
Allah hanya akan menambahkannya kerendahan."

"Dan barangsiapa yang menikahi seorang wanita ka-rena ingin menutupi (kehormatan)  matanya,  membentengi  farjinya,  dan  mempererat  tali  silaturrahmi, maka Allah akan memberikan barakah-Nya kepada dia (suami) dan istrinya (dalam kehidupan keluarganya)."
Ada hadis senada yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam An-Nasa'i. Di samping itu, terdapat hadis-hadis lain yang memberikan peringatan dalam soal ini. Sebagai penutup, marilah kita simak hadis riwayat  Imam Abu Daud dan At-Tirmidzi berikut.

Rasulullah Saw. bersabda, "Janganlah kalian menikahi wanita karena kecantikannya semata, boleh jadi kecantikannya itu akan membawa kehancuran.
"Dan janganlah kalian menikahi wanita karena kekayaannya semata, boleh jadi kekayaannya itu akan menyebabkan kesombongan.
"Tetapi nikahilah wanita itu karena agamanya. Sesungguhnya budak wanita yang hitam lagi cacat, tetapi taat beragama adalah lebih baik (daripada wanita kaya
dan cantik yang tidak beragama)".
Begitu.  Mudah-mudahan Allah  memberikan  kemuliaan  kepada  mereka  yang telah memperantarai dengan bijak dan adil. Mudah-mudahan Allah mengampuni kita
semua. Allahumma amin.

'Alaa kulli hal, semoga Allah memberi kekuatan dan kejernihan kepada kita jika ada yang membutuhkan informasi dari apa yang kita ketahui tentang seseorang atau ketika ada yang harus kita perantarai.
Sungguh, tidak mudah menjaga kejernihan hati. Tetapi, juga tidak mudah untuk melepaskan  diri  dari  ghurur  (keadaan terkelabui);  menyangka berhati-hati, tetapi sesungguhnya bukan. Sebagaimana juga tidak mudah melepaskan diri dari keburukan, meski kita telah tahu ada penyakit hati yang bersarang.

Hanya Allah Yang Maha Kuasa. Semoga Allah menolong kita. Dan atas segala kesalahan saya pada Anda, maafkan saya.



Dikutip dari buku Kado Pernikahan Untuk Istriku
Karya Muhammad Fauzil Adhim





 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes